Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Gaya Politik Klasi Flava di Era Angket

25 Maret 2024   08:22 Diperbarui: 25 Maret 2024   11:51 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin berisik semakin asyik. Substansi tidak diperlukan dalam drama politik hari ini. Intinya tampil dan unjuk gigi menyampaikan pendapat. Resiko politik tidak masuk hitungan. Intinya kantong terisi dan nama semakin populer. 

Faktanya memang dengan adanya demokrasi membuat banyak kalangan mudah mendapat popularitas. Tinggal pandai silat lidah atau pandai silat jabatan. 

Semua itu dimainkan dalam praktek politik praktis. Sebelumnya mendukung, tetapi di akhir kesempatan menjadi pihak yang melawan. Poinnya semua selalu mengatasnamakan rakyat. Kalau begitu, rakyat harus mengatasnamakan siapa lagi? Kalimat "mengatasnamakan rakyat" perlu direfleksikan dengan baik. Benar mengatasnamakan rakyat atau mengatasnamakan partai.

Angket layak untuk diperjuangkan sebagai satu mekanisme demokrasi prosedural. Tetapi semoga tidak ada kepentingan golongan tertentu dalam perjuangan angket. Tidak hanya hasil pemilu yang diawasi, melainkan mekanisme angket tetap diawasi. Budaya demokrasi untuk saling mengontrol satu dengan yang lain tetap harus jadi sebuah tradisi. 

Cara ini penting untuk memberikan edukasi kepada publik bahwa, satu institusi demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Layaknya atraksi Klasi Flava yang tetap membutuhkan penonton untuk menilai atraksi itu buruk atau baik. Elite bisa saja tampil atraktif, tetapi publik akan belajar mana yang cari untung. Di era ini, rakyat bukan lagi boneka yang mudah diombang-ambingkan. Rakyat butuh kepastian agar negara tetap berjalan dan kehidupan sosial tetap berlangsung.

Demokrasi sudah seperti tradisi Klasi Flava. Argumen politik tidak lagi didasarkan kepentingan demokrastis. Argumentasi hanya untuk kepentingan pragmatis. Apapun yang terjadi, intinya pihak yang didukung harus terpenuhi ambisi kekuasaannya. Baik itu yang menang pemilu atau kalah. Hampir semuanya berkaitan dengan ambisi merebut kursi. 

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa demokrasi kita sudah terlalu liberal. Bahkan bisa jadi kedepannya ruang diskusi publik hanya jadi arena saling sindir dan membuka aib. Padahal budaya kita tidak seperti itu.

Percaturan politik kita saat itu sudah masuk di ambang kegelisahan. Setiap pendapat dari elite selalu bermain pada ruang-ruang kekhawatiran. Seakan-akan publik hanya disekoki rasa takut. Takut untuk meneruskan perjuangan hak angket atau takut untuk tidak memakai hak angket. 

Setiap atraksi Klasi Flava di politik Indonesia memang selalu menarik dan bikin ngeri. Saling senggol antar elite berpengaruh besar terhadap kekerasan di level akar rumput. Saling tuding dan saling pukul menjadi buah pahit dari pohon demokrasi kita. Intimidasi menjadi cerita dongeng meskipun sering terjadi.

Demokrasi Klasi Flava meskipun menarik tetapi tetap saja menakutkan. Karena terkadang penontonnya bisa "main pukul" untuk menang. Caranya sederhana yaitu dengan mengatasnamakan rakyat. Atas nama itulah orang jadi gelap mata dan main tonjok sana-sini. Sepertinya demokrasi perlu dikembalikan ke meja konstitusi. Bukan kepada persepsi elite. Atraksi Klasi Flava jangan hanya dipandang sebagai pameran skill. 

Layaknya demokrasi, pemilu jangan lagi tergantung kepada kepentingan komunitas tertentu. Demokrasi perlu menjadi bagian mandiri dalam sikap warga negara. Kita tidak bisa terus-menerus tidur bersama hal pahit dari praktek politik praktis. Perlu ada gerakan untuk mengembalikan kesadaran politik kita yang berbasis kepada budaya orang Indonesia. Politik tetaplah politik dengan berbasis kepada kearifan lokal dan perjuangan kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun