Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Gaya Politik Klasi Flava di Era Angket

25 Maret 2024   08:22 Diperbarui: 25 Maret 2024   11:51 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilu sudah usai. Keputusan KPU telah memenangkan Prabowo dan Gibran. Tetapi riak di level elite masih bergemuruh. Beberapa pihak tidak puas dengan hasil pemilu. Tentu tidak sekedar angka statistik, melainkan sistem pemilu yang menurut mereka tidak proposional. Jalur hukum pun ditempuh. Agar bisa didengar oleh publik, mekanisme angket di DPR menjadi pilihan perjuangan. 

Tetapi lucunya, isu beredar ketua partai dan elite pendukung paslon 01 dan 03 sedang berkemas akan bertemu Prabowo-Gibran. Apakah angket hanyalah upaya untuk mencari suaka bagi para gelandangan politik? Semoga saja tidak. Sebab bisa saja tarik ulur gaya politik kita hari ini seperti atrasksi klasi flava.

Kasi Flava adalah tradisi sepak bola yang ada di benua Afrika. Dalam pertandingan tersebut, para pemain lebih mengutamakan gaya dan skil dari pada hasil.  Skil sepak bolanya sungguh atraktif. Bahkan bikin kaget. Klasi diartikan sebagai tempat atau lokasi dan Flava adalah rasa atau gaya. 

Terjemahan umumnya diartikan sebagai tempat untuk bergaya. Gaya bermain bola jalanan ala negeri Nelson Mandela ini sangat menarik dan penuh atraksi bagi penikmat bola. Tidak berbeda jauh dengan siklus politik kita hari ini.

Tidak bisa disangkal kalau demokrasi menjadi satu faham yang populer semenjak berakhirnya perang dunia ke dua. Gagasan "freedom" dengan mudah mendapat dukungan dari berbagai negara dan penduduknya. 

Dukungan ini berangkat dari kondisi masyarakat yang sebagian besar berada dalam kolonialisme dan ketertindasan, sehingga demokrasi menjadi kue empuk untuk di cerna. 

Jika dilihat lebih jauh, demokrasi memang sudah muncul semenjak Piagam Magna Carta yang membatasi monarki Inggris 15 Juni tahun 1215. Demokrasi memang asik untuk dinikmati sebagai satu konsep, tetapi prakteknya seperti memancing di air keruh.

Arena politik Indonesia bisa dilihat sebagai parade Klasi Flava yang memainkan pertandingan dengan "mengolok" lawan-lawannya. Ada keterampilan, strategi, dan komunikasi yang di tampilkan dalam pertandingan tersebut. 

Hal ini lumrah di tahun politik, dimana pemain akan mengupayakan berbagai "gaya" agar mental lawan bisa tunduk. Negara dengan kekuatan demokrasi liberal seperti Indonesia tentunya adalah lahan basah bagi tukang cari untung.  

Demokrasi kita kehilangan subtansi di karenakan elite sibuk memainkan atraksi Klasi Flava. Intinya adalah kegaduhan dan kegentingan, sehingga sinetron hak angket terus mendapat jam tayang lebih.

Demokrasi Unjuk Gigi

Semakin berisik semakin asyik. Substansi tidak diperlukan dalam drama politik hari ini. Intinya tampil dan unjuk gigi menyampaikan pendapat. Resiko politik tidak masuk hitungan. Intinya kantong terisi dan nama semakin populer. 

Faktanya memang dengan adanya demokrasi membuat banyak kalangan mudah mendapat popularitas. Tinggal pandai silat lidah atau pandai silat jabatan. 

Semua itu dimainkan dalam praktek politik praktis. Sebelumnya mendukung, tetapi di akhir kesempatan menjadi pihak yang melawan. Poinnya semua selalu mengatasnamakan rakyat. Kalau begitu, rakyat harus mengatasnamakan siapa lagi? Kalimat "mengatasnamakan rakyat" perlu direfleksikan dengan baik. Benar mengatasnamakan rakyat atau mengatasnamakan partai.

Angket layak untuk diperjuangkan sebagai satu mekanisme demokrasi prosedural. Tetapi semoga tidak ada kepentingan golongan tertentu dalam perjuangan angket. Tidak hanya hasil pemilu yang diawasi, melainkan mekanisme angket tetap diawasi. Budaya demokrasi untuk saling mengontrol satu dengan yang lain tetap harus jadi sebuah tradisi. 

Cara ini penting untuk memberikan edukasi kepada publik bahwa, satu institusi demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Layaknya atraksi Klasi Flava yang tetap membutuhkan penonton untuk menilai atraksi itu buruk atau baik. Elite bisa saja tampil atraktif, tetapi publik akan belajar mana yang cari untung. Di era ini, rakyat bukan lagi boneka yang mudah diombang-ambingkan. Rakyat butuh kepastian agar negara tetap berjalan dan kehidupan sosial tetap berlangsung.

Demokrasi sudah seperti tradisi Klasi Flava. Argumen politik tidak lagi didasarkan kepentingan demokrastis. Argumentasi hanya untuk kepentingan pragmatis. Apapun yang terjadi, intinya pihak yang didukung harus terpenuhi ambisi kekuasaannya. Baik itu yang menang pemilu atau kalah. Hampir semuanya berkaitan dengan ambisi merebut kursi. 

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa demokrasi kita sudah terlalu liberal. Bahkan bisa jadi kedepannya ruang diskusi publik hanya jadi arena saling sindir dan membuka aib. Padahal budaya kita tidak seperti itu.

Percaturan politik kita saat itu sudah masuk di ambang kegelisahan. Setiap pendapat dari elite selalu bermain pada ruang-ruang kekhawatiran. Seakan-akan publik hanya disekoki rasa takut. Takut untuk meneruskan perjuangan hak angket atau takut untuk tidak memakai hak angket. 

Setiap atraksi Klasi Flava di politik Indonesia memang selalu menarik dan bikin ngeri. Saling senggol antar elite berpengaruh besar terhadap kekerasan di level akar rumput. Saling tuding dan saling pukul menjadi buah pahit dari pohon demokrasi kita. Intimidasi menjadi cerita dongeng meskipun sering terjadi.

Demokrasi Klasi Flava meskipun menarik tetapi tetap saja menakutkan. Karena terkadang penontonnya bisa "main pukul" untuk menang. Caranya sederhana yaitu dengan mengatasnamakan rakyat. Atas nama itulah orang jadi gelap mata dan main tonjok sana-sini. Sepertinya demokrasi perlu dikembalikan ke meja konstitusi. Bukan kepada persepsi elite. Atraksi Klasi Flava jangan hanya dipandang sebagai pameran skill. 

Layaknya demokrasi, pemilu jangan lagi tergantung kepada kepentingan komunitas tertentu. Demokrasi perlu menjadi bagian mandiri dalam sikap warga negara. Kita tidak bisa terus-menerus tidur bersama hal pahit dari praktek politik praktis. Perlu ada gerakan untuk mengembalikan kesadaran politik kita yang berbasis kepada budaya orang Indonesia. Politik tetaplah politik dengan berbasis kepada kearifan lokal dan perjuangan kebudayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun