Dalam psykologi dikenal satu istilah, yaitu Ruckkehrunrunhe. Istilah ini adalah bentuk perasaan yang muncul ketika seseorang sudah lama pergi merantau akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.Â
Persis perasaan seperti ini yang tergambarkan dari warga masyarakat Ende atas kedatangan Presiden ke Kota Pancasila. Berbagai parade diselenggarakan di Kota Ende sampai pada kedatangan presiden tanggal 31 Mei 2022 di bandara H. Hasan Aroeboesman pukul 15.00 WITA.
Uforia masyarakat Ende memenuhi jalan-jalan kota kecil di tengah-tengah pulau Flores ini. Kerinduan itu sudah lama terpendam sejak Bung Karno di asingkan 14 Januari 1934 sampai 1938.Â
Dan terakhir sebagai seorang Presiden, Bung Karno datang ke Ende lagi di tahun 1951 dan 1954 untuk meresmikan rumah pengasingannya sebagai museum. Sembari meyampaikan bahwa di Ende beliau menemukan 5 butir Pancasila di sebuah pohon sukun dan sekarang disebut sebagai pohon Pancasila.Â
Persis tahun 1954 terakhir kali pemimpin negara mengunjungi Kota Ende sebagai kota lahirnya Pancasila. Tentu sangat dalam kerinduan masyarakat Ende kepada pemimpinnya untuk mengunjungi "kampung halaman" lahirnya Pancasila.
Blusukan Winirai, Teknik Megobati Rasa Rindu
Siapa sangka pukul 21.00 WITA diluar agenda yang telah direncanakan, Jokowi mengunjungi beberapa rumah warga di Lorong Winiai Gang Kaget, Kabupaten Ende (Liputan6.com). Jokowi memang seperti itu, selalu melakukan blusukan di rumah-rumah warga tanpa direncanakan.Â
Teknik blusukan ini selalu di pakai beliau kepada semua tempat yang dikunjungi. Ini memang metode populer semenjak Jokowi menjadi Wali Kota Solo. Kedekatan antara pemimpin dan rakyatnya melalui blusukan terasa sampai di Ende semenjak Bung Karno terakhir kali datang. Dan kedekatan itu sangat dirindukan oleh masyarakat Ende.
Dalam pemahaman politik, blusukan lebih merujuk pada pendekatan langsung kepada kontituen atau konstituen potensial (Zaenal,2015). Artinya bahwa blusukan bisa menjadi andalan dalam praktek-praktek politik praktis dalam kontestasi elektoral.
 Akhir-akhir ini terlihat juga bahwa banyak politisi dari tingkat Nasional sampai Daerah berparade blusukan ketika memasuki tahun-tahun PEMILU. Mulai dari masuk pasar, masuk got, dan sampai mengunjungi rumah warga. Metode ini memang masuk akal dalam kegiatan politik praktis di Republik ini.Â
Setiap politisi dan partai pendukung membutuhkan sebanyak mungkin perhatian masyarakat agar mampu memenangkan kontestasi politik elektoral.Â
Tetapi ada apa dengan Jokowi yang tetap konsisten dengan gaya blusukannya mulai ketika memimpin Solo sampai berkunjung kek Kota Pancasila?. Ini merupakan konsistensi politik yang seharusnya dijungjung oleh para politisi bahwa jangan melupakan "kampung halaman".
Banyak pihak mengatakan bahwa metode blusukan sudah tidak efektif lagi di percaturan politik generasi 4.0. Tetapi itu tidak berlaku bagi warga Ende yang haus akan kedatangan pemimpinnya. Ini terlihat dari antusianya masyarakat Ende yang tumpah ruah di jalanan kota Pancasila. Bahkan ada yang rela menaiki pepohonan untuk melihat secara langsung seperti apa Presiden Jokowi.Â
Perasaan ini tidak bisa terbendung oleh berbagai kepentingan bendera politik, bendera kepentingan, dan bendera-bendera lain yang menunjukan adanya perbedaan.Â
Semua itu bersatu dijalan -- jalan kota Pancasila sebagai satu warga Ende yang sepakat bahwa di kota ini Pancasila di lahirkan. Segala warna menjadi satu yaitu Merah dan Putih, segala perbedaan tersuarakan dalam satu irama yaitu Jokowi.
Secara statistik NTT termasuk dalam Provinsi nomor 3 termiskin di Indonesia dengan 20,44% warga miskin setelah Papua dan Papua Barat (travel.detik.com, 23 Feb.2022).Â
Data ini tentu tidak membuat NTT menjadi Provinsi inferior, justru dengan kelamahan ini membuat pemerintah seluruh NTT berlomba agar daerahnya mapan secara ekonomi dan politik. Kemiskinan tidak menghalangi kerinduan warga NTT untuk menyambut hangat pemimpin Negaranya dan itu terlihat di Ende saat Jokowi tiba di Kota Pancasila.Â
Selain mengikuti kegiatan protokorel, Jokowi tetap melakukan blusukan untuk datang ke rumah warga. Dari sini kita tahu bahwa praktek-praktek hidup proletar tidak hanya digambarkan di atas kertas, tetapi Pemimpin melihat langsung dan berdiskusi langsung bersama rakyat untuk mengetahui kebutuhan mereka.Â
Bung karno pun melakukan hal yang sama sampai menemukan gagasan Marhaenisme. Gagasan ini tidak muncul dari statistik atau cerita indah di atas kertas, tetapi di dapat dari turun langsung di tengah masyarakat mendengar cerita mereka, melihat air mata mereka, dan merasakan kehangatan di gubuk kecil dengan berbagai keterbatasan. I
nilah Indonesia dimana penyokongnya tidak hanya datang dari kalangan elit melainkan disuburkan oleh masyarakat yang berjuang ditengah berbagai keterbatasan sosial, ekonomi, bahkan politik. Itulah mengapa salah satu Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia tidak datang dari "langit" melainkan dari praktek hidup masyarakat marginal di Bumi Pertiwi dan itu ditemukan juga di Ende.
Pancasila Tidak Hanya  Lahir, Tapi Bertumbuh
Ketika salah seorang keluarga kita merantau dan dia kembali ke kampung halaman, kita tahu bahwa ada perbedaan yaitu bertumbuh. Pancasila harus tetap bertumbuh sebagai dasar Negara meskipun terus digerus tuntutan zaman. Kita tentunya tidak ingin Pancasila hanya berada di kasur empuk dan menikmati hidangan -- hidangan manis.Â
Kita pasti ingin Pancasila hidup di tengah kita, di tengah masyarakat, di tengah politisi, di tengah pemerintah, bahkan di tengah generasi milenial di era 4.0. Pancasila harus jadi dasar pijak untuk kita melompat menjadi sebuah bangsa besar dan menikmati anugerah Tuhan dengan tanah subur dan masyarakat yang ramah.
Dalam sebuah kunjungan kenegaraan di Amerika, Bung Karno menjadi salah satu kepala negara yang mendapat kesempatan untuk berbicara di depan kongres negeri Paman Sam itu. Hari itu tepat 17 Mei 1956 ketika Bung Proklamator dengan lantang mengatakan bahwa rakyat Indonesi memiliki 5 prinsip berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila.Â
Kita patut berbangga bahwa sejak saat itu Pancasila berkumandang dan bertumbuh tidak hanya di negeri sendiri, tetapi juga di negara lain. Karena pada dasarnya Pancasila merupakan rangkuman sistematis dan akademik dari ideologi-ideologi yang berkembang zaman itu.Â
Pancasila tentu masih sangat relevan untuk bangsa Indonesia, tidak hanya hari ini tetapi untuk selamanya. Jadi Pancasila pasti bertumbuh sebagai sebuah prinsip hidup yang datang dari budaya, sikap, dan mental bangsa Indonesia.
Saat ini kita tentu perlahan-lahan akan menikmati Bonus Demografi dimana penduduk usia produktif atau usia kerja akan memberikan dampak besar membangun bangsa.Â
Pada Survai Angkatan Kerja (SAKERNAS) Agustus 2021 terdapat 48 juta orang kelompok milenial dan 45 juta orang kelompok gen X (ekonomi dan bisnis.com). Artinya ada sekitar 93 juta usia produktif yang siap membangun bangsa dari berbagai bidang kehidupan. Tentu kesempatan ini tidak boleh di sia-siakan bangsa Indonesia untuk menjadi negara kuat.Â
Tetapi catatan kritisnya bahwa penanaman Ideologi Pancasila terus dikumandangkan dan menjadi "living spirit" bagi orang muda untuk berkreasi. Tidak bisa di pungkiri bahwa industri kreatif saat ini menjadi salah satu minat penting bagi generasi milenial dan generasi Z.Â
Itulah mengapa Pancasila harus bertumbuh bersama teknologi 4.0 dan mental manusia remaja saat ini. Oleh karena itu peran orang tua dan lingkungan sangatlah penting untuk tetap mengingatkan orang muda tetap sadar bahwa bangsa ini memiliki dasar, yaitu Pancasila.
Kita tahu bahwa Pancasila harus terus bertumbuh bersama eksistensi bangsa ini. Perasaan ruckkehrunrunhe harus terus di ulang-ulang agar kita tidak lupa dari mana kita berasal.Â
Sama seperti perkataan Bung Karno "JAS MERAH" jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Meskipun kita bertumbuh sebagai pribadi maupun bangsa, tetapi keintiman bersama Pancasila harus seperti kerinduan ketika kita menanti keluarga pulang dari perantauannya.
Seperti warga Ende menanti Jokowi dengan kesabaran dan penuh harap. Seperti warga Ende yang bangga dengan tanahnya ketika digali dan temukan butir-butir Pancasila oleh Soekarno. Dan seperti warga Ende yang tidak menaruh Pancasila di menara gading, tetapi di praktekan dalam hidup sebagai sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H