Lama termenung. Sebungkus rokok dan entah berapa gelas kopi kuhabiskan untuk menemani pikirku dalam bertamasya.
"Hahaha, djancuuuk!"
Aku berteriak girang, mentertawakan kebodohanku sendiri.
Tipikal temperamen yang kupunya, Ibuk pasti lebih paham. Barangkali itulah alasan kenapa Beliau mengkhususkan wejangan itu padaku, tidak kepada kedua adikku. Bahwa Krama inggil terlalu indah jika digunakan untuk sekedar marah, misuh, mencak-mencak. Feel-nya ndak bakal ketemu. Bahasa boleh mencak, tapi rasa ndak bakal muncak. Dalam ketoprak, wayang orang, wayang kulit, ataupun kesenian Jawa lainnya pun, ngga bakalan lihat orang misuh menggunakan krama inggil.
"Terima kasih Ibuk, bahkan engkau lebih mengenalku daripada diriku sendiri", gumamku dalam sepi.
******
(sudah dipublikasikan di blog personal Den Shoim, dipublish ulang di sini untuk belajar pede menerima masukan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H