Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bagaimana Kehidupan Mirip dengan Nonton Sinetron: Pengaruh Drama ke Psikologi

27 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 27 Juli 2023   19:04 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by KAL VISUALS on Unsplash

Kehidupan itu mirip sinetron, penuh drama. Namun, di balik itu ada pelajaran berharga untuk kesehatan mental kita.

Layar hidup memperlihatkan jalinan kisah yang begitu dramatis, persis seperti kehidupan. Lantas, pernahkah terpikirkan bagaimana kisah di balik layar itu sejatinya mirip dengan dinamika psikologi kita?

Kehidupan, Seperti Sinetron?

Drama, aksi, komedi, dan air mata; sepertinya seperti sinopsis untuk episode sinetron Indonesia terbaru, bukan? Tapi tunggu, itu juga bisa mendeskripsikan hari biasa dalam kehidupan seorang remaja atau orang berusia 20-an. Rasanya cukup mengherankan betapa kehidupan ini seringkali terasa seperti episode sinetron yang tak pernah berakhir. Dalam konteks ini, apa artinya bagi otak dan bagaimana pengaruhnya pada psikologi kita?

Mengulas sedikit tentang neurosains, ketika kita mengalami sesuatu, otak kita merespons dengan memancarkan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin. Mereka berperan dalam hal emosi kita, dan dalam beberapa kasus, bisa membuat kita merasa seperti berada dalam sinetron. Dalam satu hari, mungkin saja kita melewati adegan penuh aksi di pagi hari, drama di siang hari, dan komedi ringan di malam hari.

Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa drama kehidupan kita bisa mempengaruhi cara kerja otak kita. Ini adalah hal yang luar biasa sekaligus menakutkan. Itu artinya, setiap adegan drama dalam hidup bisa mempengaruhi perasaan, mood, bahkan kesehatan mental kita.

Pengaruh Drama Kehidupan ke Psikologi

Mari kita coba memahami bagaimana drama kehidupan mempengaruhi psikologi. Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial dan emosional. Setiap drama yang terjadi dalam hidup kita berpotensi mempengaruhi emosi kita dan tentu saja, psikologi kita.

Sebagai contoh, ada moment di mana kita berdebat hebat dengan teman baik karena perbedaan pendapat. Meski tampaknya seperti adegan drama biasa, namun sebenarnya hal itu bisa mempengaruhi mood kita, mengganggu fokus kita, dan bahkan bisa menurunkan tingkat kepercayaan diri.

Sebaliknya, adegan komedi dalam hidup, seperti nonton film lucu bersama teman atau mendengarkan cerita kocak dari sahabat, bisa membuat kita merasa lebih baik dan lebih positif. Itu sebabnya banyak yang bilang tertawa adalah obat terbaik. Sebab, adegan komedi ini memicu pelepasan endorfin, neurotransmiter yang membangkitkan perasaan bahagia.

Kehidupan dan Sinetron: Bukan Hanya Metafora

Kehidupan dan sinetron, bukan sekadar metafora semata. Faktanya, kehidupan kita penuh warna dengan berbagai plot dan adegan yang mungkin tidak akan pernah kita duga sebelumnya. Tapi tentunya, setiap adegan tersebut memiliki efeknya masing-masing bagi kita.

Ambil contoh adegan romantis. Ketika seseorang jatuh cinta, otak mereka mengeluarkan hormon yang disebut oksitosin, hormon yang membuat mereka merasa senang dan bahagia. Meskipun kadang rasa cinta bisa berubah menjadi rasa sakit ketika mengalami patah hati, tapi itu juga bagian dari drama kehidupan yang harus dihadapi.

Namun, ada juga adegan yang membuat kita merasa tertekan dan stres, seperti masalah di tempat kerja atau konflik dalam hubungan. Situasi-situasi ini dapat mengakibatkan peningkatan hormon stres, kortisol, yang jika berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik kita.

Dari Drama ke Resiliensi

Bicara soal drama, tentu ada sisi positif yang bisa diambil. Itulah yang disebut resiliensi atau ketahanan. Resiliensi adalah kemampuan untuk pulih dari kesulitan atau tantangan dalam hidup. Bayangkan drama kehidupan sebagai latihan untuk meningkatkan resiliensi.

Saat menghadapi tantangan, seperti ditinggal kekasih atau kehilangan pekerjaan, kita belajar bagaimana cara mengatasi rasa sakit, meredam emosi negatif, dan bergerak maju. Ketika kita menghadapi drama, kita juga membangun ketahanan mental dan emosi.

Oleh karena itu, tidak perlu takut dengan drama dalam hidup. Ini adalah bagian dari perjalanan kita untuk menjadi individu yang lebih kuat dan tangguh. Bahkan, dalam beberapa kasus, drama kehidupan bisa menjadi dorongan yang kita butuhkan untuk tumbuh dan berkembang.

Drama dalam Hubungan Interpersonal

Setiap interaksi sosial membawa drama tersendiri. Mungkin dengan teman, saudara, orang tua, atau pasangan. Konflik dan kesalahpahaman adalah bagian dari setiap hubungan interpersonal. Masing-masing memiliki konsekuensi emosional dan psikologis.

Perlu diingat, konflik interpersonal bukanlah hal yang selalu buruk. Faktanya, konflik yang sehat dapat memperkuat hubungan dan meningkatkan pemahaman antar individu. Dari sinilah kita belajar untuk mendengarkan, menghargai pendapat orang lain, dan belajar bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan bijaksana.

Namun, jika konflik tidak ditangani dengan baik, bisa mempengaruhi mood, memicu stres, dan berpotensi menurunkan kualitas kesehatan mental. Kuncinya adalah berkomunikasi dengan efektif dan mencari solusi yang memuaskan bagi semua pihak yang terlibat.

Drama dalam Karir dan Pendidikan

Jangan lupa, banyak drama yang terjadi dalam konteks karir dan pendidikan. Tuntutan untuk mengejar prestasi, tekanan untuk memenuhi harapan orang lain, hingga persaingan yang ketat bisa menjadi sumber stres dan kecemasan.

Hal ini sering memicu apa yang disebut "sindrom penipu" di mana seseorang merasa mereka tidak pantas mendapatkan pencapaian mereka dan khawatir bahwa orang lain akan menemukan bahwa mereka adalah "penipu". Perasaan ini bisa sangat merusak kepercayaan diri dan berpotensi menghambat pertumbuhan pribadi dan profesional.

Meski begitu, berbagai tantangan ini sebenarnya bisa menjadi peluang untuk belajar dan mengembangkan keterampilan yang penting, seperti manajemen waktu, penyelesaian masalah, dan beradaptasi dengan perubahan. Kuncinya adalah, jangan takut untuk mencari bantuan dan dukungan ketika menghadapi tantangan.

Menghadapi Drama dengan Sikap Positif

Menghadapi drama kehidupan memang tak selalu mudah. Namun, dengan sikap yang positif, kita bisa menjadikannya sebagai peluang untuk belajar dan tumbuh. Tidak ada yang salah dengan merasa sedih atau marah. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapi dan mengolah emosi tersebut.

Mengakui dan menghargai emosi kita adalah langkah pertama dalam mengelola mereka dengan efektif. Jika kita mencoba mengabaikan atau menekan emosi negatif, mereka bisa menjadi lebih kuat dan lebih sulit untuk ditangani. Sebaliknya, dengan menerima dan menghadapi emosi kita, kita dapat belajar dari mereka dan menemukan cara terbaik untuk merespon situasi yang menantang.

Penting juga untuk ingat bahwa setiap orang memiliki kecepatan dan cara sendiri dalam menangani situasi sulit. Jadi, jangan membandingkan prosesmu dengan orang lain. Yang terpenting, tetaplah merawat diri sendiri dan memastikan bahwa kesehatan mentalmu tetap terjaga.

Menghadapi Drama Kehidupan: Beberapa Saran

Nah, sekarang bagaimana caranya kita menghadapi drama ini? Berikut beberapa saran yang mungkin bisa membantu.

Pertama, cobalah untuk tetap tenang dan pikirkan situasinya secara objektif. Ini mungkin terdengar klise, tapi kepanikan hanya akan memperburuk situasi. Ingatlah bahwa semua orang menghadapi drama dalam hidup mereka; kita tidak sendiri.

Kedua, carilah dukungan. Baik itu teman, keluarga, atau profesional, dukungan adalah kunci untuk mengatasi tantangan. Jangan ragu untuk mencari bantuan.

Terakhir, jaga kesehatan mental. Ini bisa dilakukan dengan berolahraga, meditasi, atau menjaga pola makan yang sehat. Ingatlah bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Jadi, meskipun kehidupan sering kali mirip dengan sinetron, kita harus ingat bahwa kita memiliki kontrol atas bagaimana kita merespon dan menghadapi drama ini. Itulah bagaimana kita bisa belajar, tumbuh, dan menjadi lebih kuat.

Referensi:
1. Hammen, C. (2005). Stress and depression. Annual review of clinical psychology, 1.
2. Neumann, I. D., & Landgraf, R. (2012). Balance of brain oxytocin and vasopressin: implications for anxiety, depression, and social behaviors. Trends in neurosciences, 35(11), 649-659.
3. Southwick, S. M., & Charney, D. S. (2012). The science of resilience: implications for the prevention and treatment of depression. Science, 338(6103), 79-82.
4. Fredrickson, B. L. (2004). The broaden-and-build theory of positive emotions. Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B: Biological Sciences, 359(1449), 1367-1377.
5. Uchino, B. N. (2006). Social support and health: a review of physiological processes potentially underlying links to disease outcomes. Journal of behavioral medicine, 29(4), 377-387.

6. Schacter, D. L., Gilbert, D. T., & Wegner, D. M. (2011). Psychology: The science of mind and behaviour. Macmillan.
7. Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hypothesis. Psychological bulletin, 98(2), 310.
8. Clance, P. R., & Imes, S. A. (1978). The imposter phenomenon in high achieving women: Dynamics and therapeutic intervention. Psychotherapy: Theory, Research & Practice, 15(3), 241.
9. Fredrickson, B. L. (2001). The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions. American psychologist, 56(3), 218.
10. Ellis, A. (2001). Overcoming destructive beliefs, feelings, and behaviors: New directions for rational emotive behavior therapy. Prometheus Books.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun