Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Seni Menerima dan Memaafkan: Mengapa Sulit dan Bagaimana Caranya?

23 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 23 Juli 2023   19:18 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Gus Moretta on Unsplash

Memaafkan: Tantangan berat atau justru langkah paling berani dalam hidup? Simak lebih lanjut di sini!

Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Begitu pula dengan masalah kita dan orang lain. Terkadang, kita merasa masalah kita lebih berat, lebih rumit, dan lebih sukar dicerna. Apalagi kalau masalah itu ada kaitannya dengan perasaan disakiti atau merasa bersalah. Ya, dua hal yang kerap membuat kita pusing tujuh keliling: memaafkan dan menerima maaf. Apa pasal? Yuk, kita kupas tuntas!

Unjuk Gigi ke Realitas: Kenapa Mengampuni Itu Berat?

Nah, kalian tahu nggak sih, sebenarnya banyak dari kita yang merasa berat untuk memaafkan? Alasannya macam-macam, mulai dari rasa sakit yang mendalam, hingga ego yang membara. Psikologi mencoba menjelaskan ini dengan konsep yang disebut “bias konfirmasi”. Bias konfirmasi ini adalah kecenderungan kita untuk mencari dan menafsirkan informasi yang sesuai dengan keyakinan atau pendapat yang sudah kita miliki sebelumnya. Jadi, kalau kita merasa sakit atau dikhianati, kita akan cenderung mencari bukti yang membenarkan rasa sakit tersebut.

Makanya, proses memaafkan jadi terasa berat. Selain itu, faktor ego juga ikut andil. Coba bayangkan, siapa yang mau dikatakan salah, terlebih lagi jika itu berarti harus memaafkan orang lain yang kita rasa telah salah? Ego kita menginginkan pengakuan, dan memaafkan bisa terasa seperti kekalahan. Ini juga berlaku sebaliknya, ketika kita merasa kesalahan ada di pihak kita dan kita harus menerima maaf orang lain.

Namun, bagaimana kalau kita lihat dari sisi lain, bahwa memaafkan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan? Betul, ini bisa jadi sesuatu yang baru dan mungkin terasa aneh. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, memaafkan dan menerima maaf adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh sebagai individu.

Terima, Maafkan, dan Tumbuh: Mengubah Paradigma

Lantas, bagaimana caranya mengubah paradigma tersebut? Salah satu cara yang bisa dicoba adalah dengan melakukan reframing. Reframing adalah teknik psikologi dimana kita berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda. Jadi, kalau biasanya memaafkan dianggap sebagai tanda kelemahan, coba deh kita lihat sebagai tanda kekuatan.

Pada akhirnya, memaafkan bukan berarti melupakan atau membiarkan diri kita terus menderita. Memaafkan adalah proses di mana kita melepaskan beban emosi negatif yang telah menumpuk dan berubah menjadi rasa sakit. Dengan memaafkan, kita bisa menemukan kedamaian dan merasa lebih lega.

Menerima maaf juga sejatinya adalah proses yang sama. Kita tidak perlu merasa rendah atau malu ketika menerima maaf. Justru, kita bisa melihat ini sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Dengan begitu, kita akan menjadi lebih bijaksana dan matang.

Praktik Nyata: Memaafkan dengan Tulus

Tentu saja, membicarakan teori itu mudah. Namun, saat berbicara tentang praktik, butuh lebih dari sekadar kata-kata. Misalnya nih, ada teman yang selalu datang terlambat dan nggak pernah minta maaf. Ketika akhirnya dia minta maaf, rasanya nggak mudah untuk langsung menerima dan memaafkannya.

Nah, di sinilah proses reframing bisa bermanfaat. Coba deh, pikirkan tentang alasan teman tersebut selalu terlambat. Mungkin ada alasan yang belum kita ketahui? Atau coba pikirkan juga tentang berapa kali kita sendiri telah melakukan kesalahan dan orang lain memaafkan kita. Dengan melihat dari perspektif yang berbeda, kita bisa lebih memahami dan empati terhadap orang lain.

Tetapi, tentu saja, ini tidak berarti kita harus membiarkan diri kita terus menerus disakiti. Ada kalanya, kita harus berani berbicara dan menyatakan perasaan kita. Dengan begitu, kita tidak hanya belajar memaafkan, tetapi juga belajar menghargai diri kita sendiri.

Menerima dan Memaafkan: Kebebasan Sejati

Memahami dan mempraktekkan seni menerima dan memaafkan sebenarnya adalah tentang kebebasan. Ya, kebebasan dari beban emosi yang berat, kebebasan dari rasa sakit dan kekecewaan.

Dengan menerima dan memaafkan, kita membebaskan diri kita dari belenggu rasa marah dan dendam. Kita menjadi lebih lega dan bisa melangkah maju dengan hati yang lebih ringan. Jadi, bukankah ini suatu hal yang patut dicoba?

Ingat, memaafkan bukan berarti kita harus lupa atau membiarkan diri kita disakiti. Memaafkan adalah tentang menghargai diri kita, merelakan rasa sakit, dan menemukan kedamaian dalam diri kita.

Hidup Lebih Bahagia dengan Berdamai Diri

Pernah merasa seperti dihantui masa lalu? Entah itu kesalahan yang pernah kita buat atau kekecewaan yang kita alami? Nah, itulah mengapa pentingnya memaafkan dan menerima. Dengan memaafkan dan menerima, kita bisa melepaskan beban masa lalu dan berdamai dengan diri kita sendiri.

Memaafkan dan menerima memang bukan hal yang mudah, tapi percayalah, dampak positifnya luar biasa. Dengan memaafkan, kita bisa melepaskan rasa marah dan kesedihan yang menghantui kita. Dengan menerima, kita bisa menghargai diri kita dan menemukan kedamaian dalam diri kita sendiri.

Jadi, meski sulit, cobalah untuk memaafkan dan menerima. Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita merespons masa lalu tersebut. Dengan demikian, kita bisa bergerak maju ke masa depan dengan hati yang lebih ringan dan bahagia.

Menghargai Proses: Memaafkan Bukan Urusan Semalam

Memaafkan bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dalam semalam. Ini adalah proses, dan seperti proses lainnya, ini membutuhkan waktu. Kadang-kadang, kita mungkin merasa frustrasi atau marah lagi, dan itu normal. Yang penting adalah kita terus berusaha dan tidak menyerah.

Menerima pun juga demikian. Menerima bukan berarti kita menyetujui apa yang terjadi, tetapi kita mengakui dan melepaskan emosi negatif yang terkait dengan hal tersebut. Proses ini membutuhkan keberanian dan kesabaran, tapi percayalah, hasilnya pasti sebanding.

Jadi, jangan terburu-buru. Beri diri waktu untuk berproses, berdamai dengan diri sendiri, dan belajar memaafkan. Memaafkan dan menerima bukanlah tentang cepat atau lambat, tapi tentang konsistensi dan ketekunan.

Memandang Masa Depan dengan Mata yang Lebih Bijaksana

Akhirnya, dengan memaafkan dan menerima, kita bisa memandang masa depan dengan mata yang lebih bijaksana. Kita bisa belajar dari masa lalu, dan bukan dikuasai olehnya. Kita bisa meraih masa depan dengan penuh harapan dan optimisme, bukan dengan rasa takut atau penyesalan.

Memaafkan dan menerima bisa membantu kita menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Kita bisa lebih memahami dan menghargai orang lain, dan sebaliknya. Dengan demikian, kita bisa hidup lebih harmonis dan damai.

Masa depan mungkin penuh dengan ketidakpastian, tapi dengan memaafkan dan menerima, kita bisa menjadikan masa depan itu sebagai peluang, bukan sebagai ancaman. Jadi, mari kita terus belajar dan tumbuh, memaafkan dan menerima, dan menciptakan masa depan yang lebih cerah dan penuh harapan.

Menuju Masa Depan dengan Hati yang Ringan

Jadi, bagaimana dengan masa depan? Menerima dan memaafkan adalah dua hal yang bisa kita bawa dalam perjalanan kita ke depan. Bukan berarti kita harus melupakan apa yang telah terjadi, tetapi kita harus belajar dari itu dan bergerak maju.

Dengan membawa sikap menerima dan memaafkan, kita bisa meraih masa depan yang lebih cerah dan positif. Kita bisa membangun hubungan yang lebih sehat dan harmonis dengan orang-orang di sekitar kita. Dan yang terpenting, kita bisa merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang sejati.

Semoga dengan memahami dan mempraktekkan seni menerima dan memaafkan ini, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bijaksana. Selamat mencoba!

Referensi:

1. Heatherton, T. F., & Wagner, D. D. (2011). Cognitive neuroscience of self-regulation failure. Trends in cognitive sciences, 15(3), 132-139.

2. Luskin, F. (2002). Forgive for good: A proven prescription for health and happiness. Harper Collins.

3. Worthington Jr, E. L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience: Theory, review, and hypotheses. Psychology & Health, 19(3),385-405.

4. Strelan, P., Acton, C., & Patrick, K. (2009). Disappointment and forgiveness. Journal of personality and social psychology, 97(4), 658.

5. Worthington Jr, E. L., Witvliet, C. V. O., Pietrini, P., & Miller, A. J. (2007). Forgiveness, health, and well-being: A review of evidence for emotional versus decisional forgiveness, dispositional forgivingness, and reduced unforgiveness. Journal of Behavioral Medicine, 30(4), 291-302.

6. Toussaint, L., & Webb, J. R. (2005). Theoretical and empirical connections between forgiveness, mental health, and well-being. Handbook of forgiveness, 349-362.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun