Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cara Mengembangkan Empati dalam Dunia yang Keras

22 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 29 Juli 2023   13:45 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Annie Spratt on Unsplash 

"Kali ini kita berbincang tentang empati, konsep sederhana namun sulit dipraktekkan."

Pernahkah merasakan suatu keadaan, tiba-tiba saja dunia seolah melawan? Di satu sisi, banyak yang mengharapkan ketangguhan, padahal di sisi lain, terkadang yang dibutuhkan hanyalah sebuah pemahaman. 

Well, kali ini kita akan berbincang tentang suatu hal yang mungkin terdengar sederhana, tapi cukup sulit untuk diwujudkan: empati. 

Konsep yang satu ini nggak lepas dari ranah psikologi, dan yang pasti, empati berpengaruh besar dalam menjalani hidup di dunia yang kadang begitu keras.

Mengapa Empati itu Penting?

Empati, sebuah kata yang kerap kali disebut-sebut, tetapi apakah benar-benar dipahami? Dalam psikologi, empati merujuk pada kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, seolah-olah merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. 

Sounds simple, right? Tapi, jangan salah sangka, empati itu bukan cuma soal 'ikut merasa', lho. Empati juga berarti mau melihat dunia melalui kacamata orang lain, sekaligus berusaha untuk memahami perasaan mereka.

Dalam dunia yang keras ini, empati menjadi semakin penting. Kenapa? Karena empati dapat membantu membangun hubungan yang lebih kuat dan harmonis antar individu. Tidak percaya? 

Coba bayangkan kalau semua orang bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, dunia ini pasti jadi lebih damai, bukan? Lalu, bagaimana cara mengembangkan empati dalam diri? Langsung aja, kita bahas di sub heading berikutnya.

Langkah-langkah Mengembangkan Empati

Pertama, jadilah pendengar yang baik. Empati dimulai dari mendengar. Bukannya hanya mendengar untuk merespons, tapi mendengar untuk memahami. 

Bukan hal yang mudah, tapi tentu bisa dilatih. Dengan mendengar, kita bisa memahami perspektif orang lain dan memahami apa yang mereka rasakan.

Kedua, jangan cepat men-judge. Menilai orang lain tanpa mengetahui apa yang mereka alami itu nggak adil, kan? Jadi, sebelum menghakimi, lebih baik berusaha memahami dulu apa yang sedang mereka hadapi. Berusahalah berpikir dari sudut pandang mereka.

Ketiga, berlatihlah untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ini mungkin terdengar sulit, tapi bisa dilakukan dengan perlahan. 

Misalnya, jika teman sedang sedih, coba bayangkan diri sendiri di posisi mereka. Dengan begitu, perasaan dan emosi mereka bisa lebih dipahami.

Empati dan Dunia Digital

Dunia digital, dunia di mana kita berinteraksi tanpa batas waktu dan ruang. Di era digital ini, penting untuk membawa empati ke dalam setiap interaksi yang kita lakukan. 

Coba bayangkan, berapa banyak orang yang merasa terluka karena kata-kata kasar di media sosial? Dengan lebih empati, kita bisa membuat dunia digital menjadi tempat yang lebih aman dan nyaman.

Empati juga bisa menjadi senjata ampuh untuk melawan bullying digital. Dengan lebih memahami apa yang dirasakan oleh korban bullying, kita bisa menjadi lebih berhati-hati dalam berbicara dan bertindak, sehingga tidak menambah luka yang ada.

Pada akhirnya, empati di dunia digital bukan hanya soal merasakan apa yang dirasakan orang lain, tapi juga soal bertindak dengan bijaksana dan mempertimbangkan perasaan orang lain.

Empati dalam Konteks Indonesia

Di Indonesia, memahami konsep empati bisa jadi tantangan tersendiri. Namun, tidak ada yang tidak mungkin jika ada kemauan untuk belajar dan berlatih. Misalnya, kita sering mendengar kata "sabar" saat ada yang sedang mengalami masalah. 

Tapi, apakah sabar itu cukup? Tentu tidak. Kita perlu berempati, merasakan apa yang dirasakan oleh orang tersebut, dan membantu mereka sebisa mungkin.

Ini penting, terutama di Indonesia yang memiliki keragaman budaya. Dengan empati, kita bisa memahami perbedaan dan menciptakan harmoni di tengah-tengah perbedaan tersebut. 

Jadi, berempatilah, karena Indonesia ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang kita semua.

Menjadi Empati dalam Hubungan Persahabatan

Sahabat adalah orang yang selalu ada di sisi kita dalam suka dan duka. Menunjukkan empati dalam persahabatan bisa jadi kunci untuk menjaga hubungan tetap kuat. 

Bayangkan, jika sahabat merasa sedih, apa yang dilakukan? Biasanya kita memberi semangat, benar. Namun, mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh sahabat dan memahaminya akan membuatnya merasa dihargai dan dimengerti.

Empati juga bisa membantu dalam menyelesaikan konflik dalam persahabatan. Dengan berusaha memahami perspektif sahabat, kita bisa mencari solusi yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak. 

Jadi, bukan hanya tentang merasakan, tetapi juga mengambil tindakan yang benar berdasarkan pemahaman tersebut.

Sebagai penutup, ingatlah bahwa empati dalam persahabatan bukanlah tentang simpati atau merasa kasihan. Ini tentang merasakan, memahami, dan beraksi. 

Oleh karena itu, jadilah sahabat yang empatik, karena itu adalah anugerah terbesar yang bisa diberikan kepada sahabat.

Empati dalam Dunia Kerja

Di dunia kerja, empati juga memainkan peran penting. Dengan empati, kita bisa memahami apa yang dirasakan oleh rekan kerja dan berusaha untuk membantu mereka. 

Ini bukan hanya akan meningkatkan kinerja kerja, tetapi juga akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih nyaman dan harmonis.

Selain itu, empati juga bisa membantu dalam meningkatkan keterampilan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang empatik akan lebih mampu memahami apa yang dirasakan oleh anggota timnya dan berusaha untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga, empati bisa menjadi kunci untuk mencapai sukses dalam dunia kerja.

So, bagaimana cara mengembangkan empati di tempat kerja? Mulailah dengan mendengarkan apa yang dikatakan oleh rekan kerja dan berusaha untuk memahaminya. 

Jangan cepat men-judge dan berusahalah untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Dengan begitu, kita bisa menjadi lebih empatik dan berkontribusi dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik.

Empati dan Kesejahteraan Mental

Berbicara soal empati, tidak lengkap rasanya jika tidak membahas hubungannya dengan kesejahteraan mental. 

Empati bisa menjadi 'obat' untuk meredakan stres dan kecemasan. Kenapa? Karena dengan berempati, kita bisa memahami apa yang dirasakan oleh orang lain dan merasa tidak sendirian.

Tapi, jangan salah paham, berempati bukan berarti harus merasakan beban orang lain. Ini tentang memahami dan merasakan, tetapi tidak sampai merasakan beban tersebut. Jadi, berempatilah, tetapi juga jaga kesejahteraan mental diri sendiri.

Intinya, empati dan kesejahteraan mental adalah dua hal yang saling berkaitan. Dengan lebih empatik, kita bisa membantu orang lain dan juga diri sendiri untuk merasa lebih baik. 

Jadi, berempatilah, karena itu adalah cara untuk menjalani hidup yang lebih baik dan lebih sehat secara mental.

Kasus Nyata tentang Empati

Mari kita ambil contoh kasus nyata. Misalnya, saat pandemi COVID-19, banyak orang merasa terisolasi dan kesepian. 

Orang yang berempati tidak hanya akan mengatakan "semangat" atau "sabar", tetapi juga akan mencoba memahami apa yang dirasakan oleh orang tersebut. Mereka akan mendengar, memahami, dan mencoba memberikan dukungan sebisa mungkin.

Kasus ini menunjukkan bahwa empati bukan hanya soal kata-kata, tapi juga soal tindakan. Jadi, jangan hanya berbicara tentang empati, tapi tunjukkan empati dalam setiap tindakan.

Penutup:Mengembangkan empati mungkin bukan hal yang mudah, tetapi tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha. 

Empati bisa membantu kita menjalani hidup dengan lebih baik, merasakan kebahagiaan dan kesedihan orang lain, dan pada akhirnya, membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Jadi, yuk, mulai sekarang, kita coba untuk lebih berempati!

Referensi:

  1. Davis, M. H. (1983). Measuring individual differences in empathy: Evidence for a multidimensional approach. Journal of Personality and Social Psychology, 44(1), 113--126.
  2. Eisenberg, N., & Miller, P. A. (1987). The relation of empathy to prosocial and related behaviors. Psychological Bulletin, 101(1), 91--119.
  3. Zaki, J. (2014). Empathy: A motivated account. Psychological Bulletin, 140(6), 1608--1647.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun