'Cognitive Dissonance' dan Perilaku Kita
'Cognitive dissonance' bukan hanya berpengaruh pada pikiran, tapi juga sikap dan perilaku kita. Mengapa demikian? Ketika dua pemikiran bertabrakan, seringkali orang akan melakukan apapun untuk meredakan ketidaknyamanan tersebut, termasuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
Ambil contoh seorang perokok yang tahu merokok itu buruk untuk kesehatan, tapi tetap merokok. Nah, 'cognitive dissonance' ini bisa mendorong dia untuk berhenti merokok. Jadi, bisa dibilang, 'cognitive dissonance' ini punya sisi positifnya juga, kok.
Tapi, ada juga orang yang memilih untuk mengabaikan fakta dan mempertahankan perilaku buruk mereka. Misalnya, tetap merokok meski tahu bahayanya. Ini adalah cara mereka meredakan 'cognitive dissonance', meskipun kita tahu kalau cara tersebut tidak sehat.
Jangan Takut, 'Cognitive Dissonance' itu Normal!
Sebetulnya, 'cognitive dissonance' itu hal yang normal terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, seorang psikolog bernama Carol Tavris bilang kalau 'cognitive dissonance' itu bagian dari proses belajar.
Jadi, bukan sesuatu yang perlu ditakuti atau dihindari. Malah, bisa dijadikan sebagai peluang untuk belajar dan mengembangkan diri. Percaya atau tidak, 'cognitive dissonance' ini bisa jadi kunci untuk memahami diri dan orang lain lebih baik.
Memahami Lebih Dalam 'Cognitive Dissonance'
'Cognitive dissonance' adalah fenomena psikologi yang kompleks. Tapi, dengan pemahaman yang benar, bisa membantu kita untuk mengatasi perasaan tidak nyaman tersebut dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Apalagi di zaman yang penuh dengan informasi ini, mudah sekali untuk mendapatkan dua informasi yang saling bertentangan. Misalnya, soal isu-isu sosial, politik, kesehatan, dan lain-lain. Dengan memahami 'cognitive dissonance', kita bisa lebih bijaksana dalam menanggapi informasi tersebut.
'Cognitive Dissonance' dan Generasi Z