Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Fenomena "Cancel Culture" Sulit Dibenarkan Secara Etika?

12 Juni 2023   19:00 Diperbarui: 19 Juni 2023   12:15 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam menghadapi fenomena "cancel culture", kita perlu belajar untuk menjadi lebih bijaksana. Media sosial memang memberi kita ruang untuk berekspresi dan berpendapat, tapi kita juga harus ingat untuk selalu menghargai dan memahami orang lain. 

Semoga, dengan pemahaman yang lebih baik tentang "cancel culture", kita bisa bersama-sama menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat dan positif.

Referensi:

  1. Fiesler, C., Beard, N., & Keegan, B. C. (2020). No robots, spiders, or scouts: User and decision boundary negotiation in social media community standards. Information, Communication & Society, 23(5), 701-718.
  2. Harris, A. (2019). Young people and everyday multiculturalism: The role of spatial boundaries in representations of diversity. Social & Cultural Geography, 20(1), 37-60.
  3. Matamoros-Fernández, A. (2017). Platformed racism: The mediation and circulation of an Australian race-based controversy on Twitter, Facebook and YouTube. Information, Communication & Society, 20(6), 930-946.
  4. Suzor, N. P., Van Geelen, T., & Myers West, S. (2018). Evaluating the legality of speech policing on social media. In Proceedings of the 2018 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems (pp. 1-12).
  5. Trottier, D. (2018). Digital vigilantism as weaponisation of visibility. Philosophy & Technology, 31(1), 55-72.
  6. Vasagar, J. (2019). ‘They don’t get it’: AI and the cultural divide between Silicon Valley and the world. The Guardian.
  7. Ward, J. (2017). It's not only unfair not to hire someone because of their dialect, it's discrimination. The Guardian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun