Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Fenomena "Cancel Culture" Sulit Dibenarkan Secara Etika?

12 Juni 2023   19:00 Diperbarui: 19 Juni 2023   12:15 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya, media sosial bisa jadi tempat buat berdiskusi dan belajar, tapi kenyataannya, "cancel culture" malah bikin ruang diskusi jadi penuh tekanan. Bayangin, lo takut buat ngomong karena takut salah dan takut di-cancel.

Dinamika Keadilan Sosial versus "Cancel Culture"

Salah satu aspek yang cukup menarik dalam "cancel culture" ini adalah dinamika keadilan sosial. 

Ada orang bilang, "cancel culture" itu bentuk dari keadilan sosial, karena orang-orang yang biasanya untouchable akhirnya bisa bertanggung jawab atas tindakan mereka. Tapi, masalahnya, "cancel culture" ini sering kali tak memperhatikan konteks dan nuansa.

Keadilan itu harus berlandaskan pada pemahaman penuh terhadap sebuah situasi. Namun, di "cancel culture", orang sering kali langsung dihakimi berdasarkan kesalahan yang hanya dilihat dari satu sisi saja. Ini bisa jadi semacam penyalahgunaan keadilan sosial.

Menyikapi "Cancel Culture": Antara Hukuman dan Belajar

Etika dan moral tidak hanya berbicara tentang hukuman, tapi juga tentang belajar dari kesalahan. Dalam "cancel culture", malah sering terjadi hukuman yang tak proporsional. Bukannya diajari untuk memperbaiki diri, orang malah langsung dijatuhi hukuman berupa pengucilan.

Padahal, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri. "Cancel culture" ini justru membuat orang takut untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut karena takut akan konsekuensi yang berlebihan.

Solusi Alternatif: Mendialogkan Perbedaan

Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap di tengah fenomena "cancel culture" ini? Salah satu solusinya adalah dengan dialog. Dialog di sini bukan cuma bicara, tapi juga mendengar dan berusaha memahami perspektif orang lain.

Salah satu contoh yang bisa dipakai di sini adalah jika teman kita di media sosial membuat pernyataan yang kontroversial. 

Daripada langsung menghujat dan mengucilkan, mungkin lebih baik jika kita coba ajak dia berdialog untuk memahami latar belakang pemikirannya. Dengan begitu, kita bisa saling belajar dan menghindari efek negatif dari "cancel culture".

Kontemplasi Tentang "Cancel Culture": Dalam Bingkai Kemanusiaan

"Cancel culture" tidak bisa dipisahkan dari konsep kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan berbicara tentang penghargaan dan penghormatan terhadap setiap individu. 

"Cancel culture" dengan menghakimi dan mengucilkan, malah berpotensi merusak esensi kemanusiaan ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun