Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh setiap negara di dunia. Menurut Fombad (2018), kemiskinan dianggap sebagai tantangan yang dihadapi berbagai negara dan terdapat bukti bahwa upaya untuk mengatasi kemiskinan telah gagal. Oleh karena itu, isu ini menginspirasi masyarakat global untuk berupaya mengatasi kemiskinan dengan mendorong setiap negara untuk berpartisipasi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), salah satu kunci keberhasilannya adalah menjadi negara yang bebas kemiskinan. Konsep Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari gerakan sebelumnya, khususnya Millenium Development Goals (MDGs). Smeru Institute (2017) menyatakan bahwa "Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) diakui sebagai agenda pembangunan global dengan mandat yang lebih luas dan komprehensif dibandingkan dengan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang berakhir pada tahun 2015. Diharapkan dengan dilaksanakannya gerakan reformasi melalui SDGs, upaya masing-masing negara menjadi lebih fokus dan selaras dalam memerangi kemiskinan.Â
Menurut Sumodiningrat (2003), selama kemiskinan masih berada pada tingkat berbahaya, maka kita dapat mengatakan bahwa pembangunan yang dicapai suatu negara tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, menurut Kotler & Lee (2009), kemiskinan berpotensi berdampak pada permasalahan serius lainnya yang akan dihadapi negara. Ketika membahas kemiskinan, fokus utamanya harus pada bagaimana cara mengatasi kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan terletak pada bagaimana suatu negara menurunkan angka kemiskinannya.Â
Secara keseluruhan, selama periode 2009-2019, angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan baik kuantitas maupun proporsinya. Target yang ingin dicapai pada tahun 2019 berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah 7 sampai 8%. Pada periode September 2018, angka kemiskinan Indonesia sebesar 9,66%. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan upaya lebih untuk mencapai target 7 hingga 8% pada agenda tahun 2019. Perkembangan angka kemiskinan dari tahun 2003 hingga September 2018 disajikan secara grafis di bawah ini.Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi perlawanan terhadap kemiskinan kemiskinan melalui berbagai pendekatan, salah satunya melalui kemitraan. Kolaborasi dapat dianggap sebagai interaksi antara pihak-pihak yang berpartisipasi. Interaksi antara pemerintah dan swasta lebih dikenal dengan istilah perjanjian atau kontrak kerja sama. Jenis kemitraan ini merupakan yang paling sederhana, dimana pemerintah dan pihak swasta membuat kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan tersebut berupa pembangunan infrastruktur dan upaya pengentasan kemiskinan. Jenis kemitraan lainnya disebut Triple Helix.Â
Konsep tersebut merupakan interaksi antara pelaku akademis, industri, dan pemerintah. Konsep ini sering disebut dengan ABG (Academic, Business, dan Government). Dalam konteks pembangunan, para aktor tersebut mempunyai peran yang sesuai. Sinergi ketiga sektor ini merupakan prinsip sinergis dalam membangun ekonomi berbasis pengetahuan, memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih erat (Wilopo, 2018). Konsep kolaboratif lainnya adalah Penta Helix. Konsep tersebut merupakan interaksi antara pemangku kepentingan yang lebih luas termasuk akademisi, dunia usaha/industri, komunitas, media, dan pemerintah. Aktor-aktor yang berbeda ini bekerja sama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Partisipasi berbagai aktor tampaknya memberikan dampak yang signifikan dalam mencapai tujuan kerjasama ini. Jadi, pada dasarnya kemitraan sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi perannya, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Interaksi antar aktor dalam kerangka kemitraan merupakan bagian dari konsep kemitraan publik-swasta (KPS). Padahal, kemitraan antara pemerintah dan swasta bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di masyarakat.
Brinkerhoff dan Brinkerhoff (2011) meyakini bahwa KPS merupakan solusi penyelesaian permasalahan sosial dengan memobilisasi sumber daya milik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Memang benar, pemerintah mempunyai peran dalam memberikan pelayanan publik dan memenuhi kebutuhan masyarakat (Anggaraini, 2017). Peran yang Anda mainkan tidak selalu dilakukan sendirian. Partisipasi aktor lain diperlukan. Kemitraan yang dihasilkan didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah mempunyai berbagai macam kendala untuk mengatasi beragam permasalahan yang semakin beragam. Kendala ini datang dalam bentuk anggaran, sumber daya, teknologi, dan lain-lain. Dengan demikian, pemerintah melakukan kerjasama dengan sektor lain terutama sektor swasta. Kerjasama tersebut tentunya mempunyai tujuan yang spesifikLebih jauh, Skelcher (2007) mengungkapkan bahwa "combine the resources of government with those of private agents (busseneses or not-for-profit bodies) in order to deliver societal goals". Kemitraan yang dilakukan antara pemerintah dan swasta tersebut pastilah mempunyai tujuan.Tujuan yang dikehendaki dapat berupa upaya penanggulangan kemiskinan.
Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, PPP dapat dilaksanakan melalui kemitraan pemerintah dan swasta dalam bidang infrastruktur seperti yang dilaksanakan di Asia dan Pasifik (Panggabean, 2006), pengembangan ekono-mi kecil dan menengah (Small Medium Enterprise/SME) yang dilakukan di Indonesia (Huda et al., 2018), Kemitraan dilaksanakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Bangladesh (Khanom, 2011), serta beberapa pelaksanaan Coorporate Social Responsibilities(CSR) yang dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan (Brinkerhoff and Brinkerhoff, 2011). Kemitraan yang dilaksanakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut melibatkan berbagai aktor baik pemerintah maupun sektor swasta.Hakikat dari dilaksanakannya kemitraan adalah bahwa kemitraan dapat menyebabkan program menjadi lebih efektif(Brinkerhoff & Brinkerhoff, 2011). Hal senada disampaikan oleh MqQuaid (2000) bahwa kemitraan mempunyai potensi manfaat yang besar seperti efektif dan efisien dalam meningkatkan program maupun layanan publik, adanya pengalihan sumberdaya pada masing-masing mitra, serta menyebabkan legitimasi yang besar terutama pelibatan aktor lain dalam kemitraan. Setidaknya menurut Shorter Oxford Dictionary (dalam Hilton, Davis, & Lorraine, 2007), karakteristik tertentu dari kemitraan dianggap efektif, antara lain kerjasama yang erat antar mitra dengan partisipasi dan partisipasi mitra, pembagian peran/wewenang, kapasitas, tujuan, Dalam negosiasi terdapat rasa saling percaya dan hormat, keterbukaan dan kejujuran serta komunikasi yang baik antar mitra. Namun menurut beberapa penelitian, terkadang kemitraan antara pemerintah dan swasta tidak efektif dan tidak mencapai tujuannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Klijn dan Teisman (2003) menunjukkan adanya kelemahan dalam pelaksanaan kemitraan di Belanda. Kelemahan tersebut diantaranya kesulitan dalam pengorganisasian dan pembuatan keputusan bersama dan praktek kemitraan itu sendiri. Osborne (2000) pun mengungkapkan bahwa kemitraan tidak akan efektif jika kondisi yang menunjukkan ketiadakjelasan tujuan bersama, ketidakseta-raan posisi dalam kemitraan, serta masalah pengorganisasian kemitraan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kemitraan yang tidak berhasil untuk dilakukan. Suripto (2006) menyatakan bahwa kemitraan terutama yang dilakukan di Indonesia tidak berjalan dengan baik dikarenakan ketiadaan prinsif transparansi dan akuntabilitas. Penyebab kegagalan tersebut berupa aturan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan semestinya, serta kompetensi dan kapabilitas lembaga yang tidak mencukupi, budaya yang tidak mendukung, serta praktek KKN yang semakin meluas.Â
Selain itu, kemitraan pemerintah dan swasta juga dapat memberikan dampak negatif berupa potensi kerugian sebagaimana disampaikan oleh MqQuaid (2000) yaitu ketiadaan tujuan yang jelas, potensi pengeluaran biaya sumberdaya yang besar disebabkan oleh pembahasan dalam pembuatan perjanjian dan keputusan, kekuatan atau kewenangan yang tidak setara diantara mitra (unequal power), upaya merebut kekuatan dalam melakukan kemitraan (Cliques usurping power), dampak dari pelayanan publik yang mempengaruhi kemitraan (Impacts on other services), kesulitan organisasi dalam melakukan koordinasi diantara mitra, serta mempunyai nilai yang berbeda diantara mitra yang saling bekerjasama.
Berdasarkan latar belakang tersebut, merupakan hal yang menarik untuk mengelaborasi lebih jauh permasalahan kemitraan dalam penanggulangan kemiskinan. Sehingga upaya penanggula-ngan kemiskinan dapat lebih efektif dan tidak menimbulkan potensi kerugian yang dapat ditimbulkan dari adanya kemitraan tersebut. Tulisan ini lebih jauh akan membahas mengenai efektivitas kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta dalam upaya penanggulangan kemiskinan dan dimensi efektivitas kemitraan yang dapat digunakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.Penulisan melalui studi literatur dengan mengumpulkan data, kajian, laporan, publikasi, buku maupun berita tentang efektivitas kemitraan pemerintah dan swasta.Â
Menurut Creswell (2009), yang dimaksud dengan studi literatur adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal, buku dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi, baik masa lalu maupun saat ini, mengorganisasikan pustaka dalam topik dan dokumen yang dibutuhkan untuk suatu penelitian. Dengan melakukan studi literatur, penulis berharap mendapatkan teori serta kerangka pemikiran yang relevan dengan permasalahan kemitraan pemerintah dan swasta terutama dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Penelitian yang dilakukan oleh Klijn dan Teisman (2003) menunjukkan adanya kelemahan dalam pelaksanaan kemitraan di Belanda. Kelemahan tersebut diantaranya kesulitan dalam pengorganisasian dan pembuatan keputusan bersama dan praktek kemitraan itu sendiri. Osborne (2000) pun mengungkapkan bahwa kemitraan tidak akan efektif jika kondisi yang menunjukkan ketiadakjelasan tujuan bersama, ketidakseta-raan posisi dalam kemitraan, serta masalah pengorganisasian kemitraan.Â