Mohon tunggu...
Denny Yapari
Denny Yapari Mohon Tunggu... -

Lulusan Sarjana Teknik Elektro (S.T.) dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Sarjana Hukum (S.H.) Universitas Yos Soedarso Surabaya, dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) Universitas Narotama Surabaya. Ahli Pengadaan Nasional dan Advokat/Konsultan Hukum yang berdomisili di Kota Sorong

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Niat dan Kesengajaan dalam KUHP

28 November 2016   12:22 Diperbarui: 28 November 2016   12:48 16236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NIAT DAN KESENGAJAAN DALAM KUHP

Denny Yapari*

Email : denny.yapari@gmail.com

LATAR BELAKANG MASALAH

Saat ini ramai sekali pemberitaan dan pembahasan mengenai kasus tersangka penistaan agama. Banyak hal yang dibicarakan, namun ada satu hal yang sangat penting dan sepertinya akan dijadikan dasar untuk melakukan pembelaan yaitu apakah perbuatan tindak pidana penistaan agama dilakukan secara sengaja atau tidak. Dalil tersangka jelas pasti akan mengatakan bahwa tidak ada kesengajaan dalam kasus penistaan agama tersebut. Kita sudah tahu bahwa ilmu hukum di negara ini teorinya ya itu-itu saja, tetapi prakteknya seringkali dikatakan bahwa banyak pakar hukum maka akan banyak pendapat atau teori hukum, padahal faktanya banyak orang mengaku sebagai pakar hukum, berpendapat tentang suatu teori hukum tanpa ilmu.

Salah satu pendapat yang pernah saya baca adalah “kesengajaan” dalam kalimat “barang siapa dengan sengaja” dalam KUHP dihubungkan dengan niat, bahkan lebih aneh lagi disebutkan bahwa ini adalah pendapat pakar hukum. Dalam agama islam semua amal tergantung kepada niat berdasarkan “innama a’malu bin niyat”, namun landasan yang sering kita gunakan sehari-hari ini adalah landasan khusus yang digunakan oleh dan untuk orang yang beragama Islam saja. Dalam Negara Republik Indonesia, hukum islam terbatas hanya berlaku khusus untuk orang yang beragama Islam saja, tidak bisa hukum islam diterapkan kepada orang yang bukan beragama Islam, terlebih lagi dalam hukum pidana. Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana hukum pidana menilai niat dan kesengajaan seseorang ketika melakukan tindak pidana (kejahatan/criminal), karena kita tahu bersama bahwa tidak ada manusia yang dapat mengetahui niat seseorang, karena niat seseorang hanya Allah dan dia saja yang tahu, lantas bagaimana hukum bisa menilai niat dan kesengajaan seseorang?.

Bahwa kasus tersangka penistaan agama adalah kasus pelanggaran hukum positif yang dalam hal ini diduga melanggar pasal 156a KUHP, maka untuk menganalisanya sudah seharusnya menggunakan kaidah ilmu hukum positif pula, dengan tujuan agar lebih fair dalam membuat analisa terhadap suatu kasus. Sudah banyak sarjana hukum yang membuat analisa mengenai kasus ini, saya yakin pro dan kontra juga banyak, namun dari sekian banyak yang saya baca umumnya menulis menurut pemikirannya sendiri sehingga sangat sulit bagi orang awam untuk membaca dan memahaminya.

Atas dasar pemikiran inilah saya mencoba membuat tulisan ini dengan tujuan dapat memudahkan pembaca dalam memahami pengertian niat dan kesengajaan dalam KUHP.

PERMASALAHAN

Apakah pengertian “niat” dalam hukum pidana Indonesia?

Apakah pengertian “kesengajaan” sebagaimana yang disebutkan dalam delik dengan kalimat “barang siapa dengan sengaja” dalam KUHP?

ANALISIS

Bahwa untuk mengetahui niat dan kesengajaan dalam KUHP, terlebih dahulu perlu dijelaskan unsur kesalahan dalam tindak pidana, karena pada unsur kesalahan tindak pidana inilah terletak niat dan kesengajaan. Kita pernah mendengar asas hukum yang berbunyi “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Geen Straf Zonder Schuld”, biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praaevia legi(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).

Asas hukum ini bersumber dari pemikiran filosofis bahwa kalau tidak ada aturan maka tidak ada yang salah, sehingga untuk menyatakan seseorang salah ya harus ada aturannya dulu. Hal ini pun termuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Bahwa dengan adanya peraturan pidana, maka suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perbuatan/aksi yang dikenal sebagai actus reus (physical element) dan sikap batin pelaku atau yang dikenal sebagai unsur mens rea (mental element). Unsuractus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin (kondisi jiwa) pelaku pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35). Jadi actus reusadalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).

Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.). Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.

Di beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana, sedangkan menurut Zainal Abidin Farid bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.

Disinilah maksud adanya proses penyelidikan dalam pasal 1 angka 5 KUHAP, yaitu menentukan ada atau tidak adanya tindak pidana terlebih dahulu, kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkan siapa pelakunya (tersangka). Setelah itu dalam proses penyidikan semua hasil penyelidikan tadi dilengkapi lagi berkas dan alat buktinya termasuk menguraikan unsur-unsur tindak pidana dan melihat pada sikap batin pelaku (mens rea).

Bahwa berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa sikap batin pelaku (mens rea) menjadi faktor penentu dalam menentukan apakah seseorang itu melakukan perbuatan/tindak pidana atau tidak. Bahwa sikap batin (men rea) seseorang mengandung makna yang luas, karena membahas tentang isi hati atau pikiran seseorang. Kata “niat” didefenisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai  maksud atau tujuan suatu perbuatan atau kehendak seseorang, maka niat lebih spesifik yang menunjukkan sikap batin yang mempunyai maksud dan tujan tertentu. Dengan demikian kita bisa pahami bahwa niat adalah bagian dari mens rea tetapi mens rea tidak bisa ditafsirkan sebagai niat saja, sekali lagi mens rea lingkupnya lebih luas dari niat.

Lantas bagaimana kita mengetahui sikap batin pelaku perbuatan pidana? Bahwa sebagaimana asas hukum “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka mens rea atau sikap batin pelaku ini diwujudkan dalam bentuk “kesalahan”. Apakah yang dimaksud dengan kesalahan? Agar pembahasan tidak panjang dan lebar saya ambilkan satu pendapat. Menurut Moeljatno[1], orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, pelaku dapat dicela oleh masyarakat, yaitu mengapa pelaku melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal pelaku mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, sehingga seharusnya pelaku dapat dan bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. Kesalahan sebagai hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya (atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan) yang menimbulkan celaan dari masyarakat harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan (schuldvormen). Diluar dua bentuk ini KUHP kita ( dan kiranya juga lain-lain Negara ) tidak mengenal macam kesalahan lain.

Moeljatno juga mengatakan bahwa ukuran perbuatan yang salah dengan celaan dari masyarakat saja tidaklah cukup, celaan itu harus berkaitan dengan perundang-undangan pidana. Dengan demikian, kesalahan merupakan penilaian atas perbuatan seseorang yang bersifat melawan hukum, sehingga akibat perbuatannya tersebut dapat dicela. Yang menjadi dasar ukuran pencelaan atas perbuatannya bukan terletak dari dalam diri pelaku, tetapi dari luar pelaku, yaitu masyarakat maupun aturan hukum pidana.

Dalam perkembangannya ukuran perbuatan salah yang dicela masyarakat kemudian menjadi teori-teori kriminal, yang sekarang menjadi ilmu baru yang bernama kriminologi seiring dengan berkembangnya teknik dan metode kejahatan.

Bahwa berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa KUHP kita hanya mengenal 2 macam bentuk kesalahan yang melanggar hukum pidana yaitu kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau intention) dan kealpaan/kalalaian (culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence). Sebenarnya kesalahan ini perlu diuraikan lagi unsur-unsurnya karena nantinya akan membahas tentang pertanggungjawaban pidana pada pelaku. Namun sesuai dengan tujuan penulisan kita di awal maka kita batasi saja pada kesengajaan saja.

Apakah yang dimaksud dengan kesengajaan? KUHP kita tidak memberikan definisi mengenai hal tersebut. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat dilihat dalam Memory van Toelichthing (MvT) sewaktu Menteri Kehakiman pada waktu mengajukan Crimineel Wetboek/wetboek van strafrecht tahun 1881 (kemudian menjadi Kitab Undang – Undang Hukum Pidana /KUHP tahun 1951), disebutkan bahwa “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Berdasarkan pengertian tersebut, kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya. Disini muncul lagi 2 (dua) kata kunci baru yaitu menghendaki dan mengetahui, apakah yang dimaksud menghendaki  dan mengetahui?

Terdapat 2 teori dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tentang kesengajaan yang berisi menghendaki dan mengetahui, yaitu :

1). Teori kehendak (wilstheorie)

Teori kehendak diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karangannya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, maka kehendak orang tersebut adalah menimbulkan akibat atas perbuatannya, karena ia melakukan perbuatan itu justru karena ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.

2). Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)

Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank(Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai. Untuk memperjelas teori ini, umumnya digunakan ilustrasi : seseorang yang hendak membunuh orang lain, lalu menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran orang yang dituju, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul sebagaimana kehendak orang tersebut, misal saja karena pelurunya meleset justru mengenai orang lain yang tidak dituju. 

Oleh karena itu menurut teori pengetahuan, pelaku tindak pidana tidak harus menghendaki akibat perbuatannya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul sudah cukup untuk menyatakan pelaku “menghendaki dan mengetahui”.

 De voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan oleh prof. Moeljatno untuk teori ini diikuti jalan pikiran bahwa voorstellingstheorie lebih memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu, lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.

Sebagai penguat teori kesengajaan, dapat pula ditinjau berdasarkan sifatnya, dimana kesengajaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kesengajaan berwarna (gekleurd) dan kesengajaan tidak berwarna (kleurloos).

1). Kesengajaan berwarna (gekleurd)

Sifat kesengajaan dikatakan berwarna bilamana kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin pelaku dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya untuk menyatakan adanya kesengajaan untuk berbuat jahat di perlukan syarat, bahwa pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku ada kesadaran bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa : “Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan”. Sistem hukum Indonesia tidak menganut teori kesengajaan ini.

2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos)

Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan pelaku perbuatan yang dilarang/dipidana tidak disyaratkan bahwa Ia perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan telah berbuat dengan sengaja, walaupun ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.

Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum. Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal di pedalaman. Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Mungkin ada yang merasa ini tidak adil, tapi itu hak anda sedangkan yang saya jelaskan adalah fakta yang terjadi.

Berdasarkan uraian teori kesengajaan dan sifatnya maka dapat disimpulkan sistem hukum pidana kita (KUHP) menganut Teori pengetahuan/membayangkan (voorstellingtheorie) dan Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos) dalam menentukan kesengajaan dalam perbuatan pidana. Untuk menilai apakah pelaku tindak pidana sengaja melakukan perbuatannya adalah dengan menilai apakah pelaku membayangkan/menyangka (voorstellen) akibat dari perbuatannya tersebut, tidak menjadi masalah apakah akibat perbuatannya sesuai dengan bayangan ataupun sangkaan ataupun tujuan pelaku, dan juga tidak menjadi masalah apakah pelaku tahu perbuatan tersebut melanggar hukum ataupun tidak. Kalimat sederhananya adalah bila pelaku tindak pidana tahu apa yang dilakukan dan juga akibat perbuatannya walaupun tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksud maka pelaku sudah secara sengaja melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Sesederhana itu saja.

Dengan pengertian kesengajaan di atas maka bisa dilihat kata niat ternyata sinonim dengan sengaja, sehingga menilai niat seseorang yang melakukan tindak pidana sama saja dengan menilai apakah orang tersebut telah sengaja melakukan tindak pidana.

KESIMPULAN

Bahwa atas uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Unsur mens rea adalah sikap batin (kondisi jiwa) pelaku pada saat melakukan perbuatan tindak pidana.
  2. Niat adalah bagian dari mens rea tetapi mens rea tidak bisa ditafsirkan sebagai niat saja, karena mens rea lingkupnya lebih luas dari niat.
  3. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, kesengajaan dalam tindak pidana dinilai berdasarkan pengetahuan pelaku tindak pidana mengenai apa yang dilakukan dan juga akibat dari perbuatannya tersebut walaupun akibatnya tidak sesuai dengan tujuan yang dimaksud.
  4. Niat dan kesengajaan mempunyai makna yang sama dalam sistem hukum pidana Indonesia.


* Advokat anggota PERADI dan Dosen Universitas Muhammadiyah Sorong

[1]Prof. Dr. Mr. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, https://id.wikipedia.org/wiki/Moeljatno

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun