ANALISIS
Bahwa untuk mengetahui niat dan kesengajaan dalam KUHP, terlebih dahulu perlu dijelaskan unsur kesalahan dalam tindak pidana, karena pada unsur kesalahan tindak pidana inilah terletak niat dan kesengajaan. Kita pernah mendengar asas hukum yang berbunyi “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Geen Straf Zonder Schuld”, biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praaevia legi(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Asas hukum ini bersumber dari pemikiran filosofis bahwa kalau tidak ada aturan maka tidak ada yang salah, sehingga untuk menyatakan seseorang salah ya harus ada aturannya dulu. Hal ini pun termuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Bahwa dengan adanya peraturan pidana, maka suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perbuatan/aksi yang dikenal sebagai actus reus (physical element) dan sikap batin pelaku atau yang dikenal sebagai unsur mens rea (mental element). Unsuractus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin (kondisi jiwa) pelaku pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35). Jadi actus reusadalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).
Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.). Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.
Di beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana, sedangkan menurut Zainal Abidin Farid bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.
Disinilah maksud adanya proses penyelidikan dalam pasal 1 angka 5 KUHAP, yaitu menentukan ada atau tidak adanya tindak pidana terlebih dahulu, kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkan siapa pelakunya (tersangka). Setelah itu dalam proses penyidikan semua hasil penyelidikan tadi dilengkapi lagi berkas dan alat buktinya termasuk menguraikan unsur-unsur tindak pidana dan melihat pada sikap batin pelaku (mens rea).
Bahwa berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa sikap batin pelaku (mens rea) menjadi faktor penentu dalam menentukan apakah seseorang itu melakukan perbuatan/tindak pidana atau tidak. Bahwa sikap batin (men rea) seseorang mengandung makna yang luas, karena membahas tentang isi hati atau pikiran seseorang. Kata “niat” didefenisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai maksud atau tujuan suatu perbuatan atau kehendak seseorang, maka niat lebih spesifik yang menunjukkan sikap batin yang mempunyai maksud dan tujan tertentu. Dengan demikian kita bisa pahami bahwa niat adalah bagian dari mens rea tetapi mens rea tidak bisa ditafsirkan sebagai niat saja, sekali lagi mens rea lingkupnya lebih luas dari niat.
Lantas bagaimana kita mengetahui sikap batin pelaku perbuatan pidana? Bahwa sebagaimana asas hukum “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka mens rea atau sikap batin pelaku ini diwujudkan dalam bentuk “kesalahan”. Apakah yang dimaksud dengan kesalahan? Agar pembahasan tidak panjang dan lebar saya ambilkan satu pendapat. Menurut Moeljatno[1], orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, pelaku dapat dicela oleh masyarakat, yaitu mengapa pelaku melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal pelaku mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, sehingga seharusnya pelaku dapat dan bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. Kesalahan sebagai hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya (atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan) yang menimbulkan celaan dari masyarakat harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan (schuldvormen). Diluar dua bentuk ini KUHP kita ( dan kiranya juga lain-lain Negara ) tidak mengenal macam kesalahan lain.
Moeljatno juga mengatakan bahwa ukuran perbuatan yang salah dengan celaan dari masyarakat saja tidaklah cukup, celaan itu harus berkaitan dengan perundang-undangan pidana. Dengan demikian, kesalahan merupakan penilaian atas perbuatan seseorang yang bersifat melawan hukum, sehingga akibat perbuatannya tersebut dapat dicela. Yang menjadi dasar ukuran pencelaan atas perbuatannya bukan terletak dari dalam diri pelaku, tetapi dari luar pelaku, yaitu masyarakat maupun aturan hukum pidana.
Dalam perkembangannya ukuran perbuatan salah yang dicela masyarakat kemudian menjadi teori-teori kriminal, yang sekarang menjadi ilmu baru yang bernama kriminologi seiring dengan berkembangnya teknik dan metode kejahatan.