Mohon tunggu...
Denny Rizkinata
Denny Rizkinata Mohon Tunggu... Wiraswasta - Prodi: Magister Bioteknologi - Universitas Katolik AtmaJaya - Wiraswasta

Seorang mahasiswa dengan memiliki peminatan dibidang sains dan peternakan Program Studi : Magister Bioteknologi Universitas: Universitas Katolik Atma Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Berbekal Ilmu "ini" Peningkatan Produktivitas Sapi Kian Meningkat!

9 November 2022   09:09 Diperbarui: 11 November 2022   21:19 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 3. Teknologi CRISPR sebagai aplikasi dalam menciptakan sapi unggulan (Sumber: Jabbar et al, 2021)

 Fakta Seputar Peternakan Sapi

         Semua peternak sapi di dunia tentunya memiliki sebuah tujuan yang sama yaitu dengan mendambakan agar sapi yang dikelola memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas ini dapat diawali dengan memperhatikan faktor kesehatan yang prima diikuti dengan kondisi lingkungan yang kondusif sehingga dapat memperoleh produk hasil ternak berupa daging dan susu sapi berkualitas. Namun "Apakah peningkatan kualitas produk hasil ternak juga diikuti oleh kesejahteraan manusia, hewan, dan lingkungan yang berkontribusi?" Sayangnya, hal ini seringkali tidak berbanding lurus. Sebagian besar negara maju mungkin telah berhasil menerapkannya, namun bagi negara berkembang hal tersebut masih dirasa sulit untuk diterapkan akibat minimnya edukasi dan ekonomi yang umumnya selalu menjadi batu sandungan.

           Didalam dunia ternak, sapi merupakan salah satu hewan ternak golongan ruminansia yang sangat populer untuk dikelola selain unggas. Popularitas yang dimiliki tidak terlepas dari tradisi di suatu negara hingga faktor nutrisi yang dimiliki. Berdasarkan data survey yang dikemukakan oleh FAO (2022), didalam 100 gram daging sapi mengandung 566 kalori dan 22,2 gram protein. Disisi lain, pada susu sapi (8oz/240ml), menyimpan energi sebesar 149 kalori dan 8 gram protein. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa protein yang terkandung didalam produk hasil ternak sapi tergolong cukup tinggi apabila disandingkan dengan produk hasil ternak populer lainnya seperti unggas maupun produk nabati seperti kacang kedelai yang diolah sebagai plant based milk. 

          Era modernisasi yang berkembang secara global menjadikan para pelaku didalamnya memiliki peningkatan kesadaran akan pentingnya produk hasil ternak yang satu ini. Di Indonesia sendiri sebagai kategori negara berkembang telah diprediksi akan terus mengalami peningkatan konsumsi per kapita terkait daging dan susu sapi sebesar 4.8% dan 24% secara berturut – turut. Meskipun peningkatan yang terjadi tidak sebesar peningkatan di negara Asia lainnya, tetapi hal tersebut menjadikan para peternak sapi harus memiliki kesiapan dalam menambah jumlah populasi sapi yang dikelola.

Tantangan yang akan dan harus dihadapi

         Meningkatkan jumlah populasi sapi pedaging maupun sapi perah untuk dikelola tentunya bukan menjadi suatu hal yang mudah. Pada fase ini, para peternak diharapkan memiliki peran yang lebih untuk meningkatkan standar kelola sapi demi menghindari hal – hal yang tidak diinginkan seperti stress terhadap lingkungan maupun kematian yang disebabkan akibat penyakit menular. Oleh karena itu, metode terkait dengan pakan maupun penciptaan sapi unggulan secara konvensional tidak lagi dirasa efektif dan sebisa mungkin segera diperbaharui melalui metode yang lebih modern untuk menciptakan kondisi peternakan sapi yang berkelanjutan (sustainable).

        Prinsip dari sustainable farming adalah menjalankan sistem peternakan yang tidak hanya berfokus pada produk hasil ternak yang berkualitas melainkan memperhatikan kesejahteraan manusia, hewan, dan lingkungan sehingga memberikan dampak positif bagi semua pihak yang berkontribusi. Namun sayangnya, prinsip seperti ini masih jarang diaplikasikan bagi peternak kecil yang tengah berada di negara berkembang seperti hal nya Indonesia. Oleh karena itu, konsep sustainable farming melalui beberapa pendekatan bioteknologi diharapkan dapat mengedukasi dan membantu para peternak dalam menambah opsi baik terkait prosedur pengelolaan sapi yang mungkin belum pernah diketahui sebelumnya.

Apa itu Sustainable Farming dalam Bidang Bioteknologi?

           Bioteknologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang diketahui bergerak diberbagai bidang salah satunya peternakan. Berbekal teknologi dan inovasi yang digunakan, berbagai jenis organisme termasuk sapi memiliki potensi untuk memiliki produktivitas yang tinggi secara stabil. Pada artikel ini, metode pendekatan yang dijelaskan memiliki beberapa variasi mulai dari pendekatan sederhana agar bisa diterapkan oleh masyarakat luas hingga pendekatan modern yang bisa menjadi bekal wawasan bagi masyarakat umum dan peluang bagi para peternak untuk mengaplikasikannya di masa yang akan datang.

            Berdasarkan jenis metode pendekatan yang dilakukan, konsep sustainable farming yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan hasil ternak sapi terbagi atas 3 metode yaitu modifikasi pakan ternak (feed modification), pengembangan genetik (genetic improvement), dan pemanfaatan alat penunjang (equipment application). 

a. Modifikasi Pakan Ternak (feed modification)

           Didalam dunia peternakan, selain kebutuhan akan vaksin, pakan menjadi salah satu faktor penting yang berperan sebagai sumber energi bagi hewan yang dikelola. Pakan ternak yang diasup dalam jumlah yang memadai tentunya dapat menunjang kehidupan hewan agar tetap prima dan produktif. Sebagai hewan ruminansia, rumput adalah opsi utama yang wajib diberikan sebagai pakan sapi. Selain dikarenakan pakan alami, rumput memiliki nutrisi dan kadar air yang cukup dalam memenuhi aktivitas harian sapi. Namun seperti yang diketahui bahwa kualitas rumput cenderung berbeda tergantung kondisi iklim dan dimana rumput tersebut tumbuh. Melihat keterbatasan tersebut, serangkaian metode mulai dianalisa agar nutrisi yang terkandung didalam rumput dapat disama ratakan kondisinya melalui proses suplementasi.

            Kondisi didalam peternakan tentunya tidak luput dari keberadaan populasi lalat yang tidak terkontrol. Selain bersifat menganggu, lalat dapat berperan sebagai vektor dalam penyebaran penyakit menular pada sapi seperti hal nya mastitis. Disisi lain, penggunaan insektisida sebagai penanggulangan juga bukan merupakan tindakan yang tepat dalam mengusung konsep sustainable farming. Oleh karenanya, pengendalian populasi lalat sebagai suplemen pakan ternak sapi menjadi salah satu jalan terbaik dan sederhana tanpa mengurangi pelaksanaan etika terhadap makhluk hidup dilingkungan peternakan.

            Black soldier fly (BSF) merupakan salah satu jenis lalat yang banyak ditemukan dilingkungan peternakan. Berbeda dengan lalat pada umumnya, lalat black soldier memiliki struktur morfologi yang lebih panjang dan besar dengan tingkat keberhasilan penetasan menjadi larva yang tinggi pada masa reproduksi. Berdasarkan kemampuan yang dimiliki, fase hidup dari hewan ini mulai dipelajari hingga ditemukan bahwa larva black soldier menyimpan banyak manfaat dan berpotensi dalam meningkatkan nutrisi pada pakan ternak sapi karena asam amino dan asam lemak esensial yang dimiliki (Abuelo, 2017).

            Secara garis besar, skema dari budidaya larva lalat black soldier dapat dijelaskan pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa budidaya larva black soldier melibatkan serangkaian proses yang dapat dipersingkat kedalam 3 tahapan yaitu

1. Pengelolaan Hewan Ternak (Traditional Livestock farming)

Pada tahap ini, proses dilakukan dengan mengelola hewan ternak seperti pada umumnya untuk memperoleh kotoran sapi (manure) sebagai media lalat untuk bertelur. Kotoran sapi dapat dimasukkan kedalam wadah pembiakan dan wadah bisa diletakkan disekitar area kandang sapi untuk lebih mempermudah menarik perhatian lalat dengan sendirinya.  

2. Budidaya Lalat (Black Soldier Fly Farming)

Dalam siklus hidupnya, lalat black soldier mampu menghasilkan sekitar 500 hingga 900 telur dengan rentang masa inkubasi 4 hingga 21 hari tergantung kondisi kelembapan, pH, dan temperatur. Dibawah kondisi yang sesuai, larva akan segera menetas dan dapat segera mengkonsumsi senyawa organik pada kotoran sapi atau limbah organik lainnya seperti sayur dan buah selama 3 minggu lamanya agar mencapai ukuran yang optimal (27mm x 6mm) dengan berat sekitar 220mg.

3. Proses Panen dan Suplementasi (Harvest and Processing)

Larva yang telah memasuki ukuran optimal dapat langsung dimanfaatkan sebagai suplemen pakan baik dalam keadaan hidup maupun diolah kedalam feed mixer menjadi bahan baku pellet. Disisi lain, kotoran sapi dan hasil eksresi larva (frass) pada wadah bekas tempat biakan dapat diaplikasikan menjadi pupuk alami bagi tanaman disekitar peternakan.

        Didalam penelitian, larva black soldier memiliki profil nutrisi yang hampir setara dengan pakan hewani umum seperti fishmeal. Selain sebagai penyedia energi, larva black soldier diketahui memiliki asam lemak (PUFA), vitamin, dan asam amino seperti lisin, threonine, dan methionine yang selain mudah untuk dicerna, juga tidak terlalu banyak ditemukan secara alami pada tanaman. Disisi lain, suplementasi pakan ternak menggunakan larva black soldier juga ikut dalam mempengaruhi kualitas mikrobiota yang ada didalam sistem pencernaan sapi. Bakteri probiotik yang terkandung pada larva seperti Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium longum nantinya dapat berkolonisasi didalam tubuh sapi dalam memaksimalkan penyerapan nutrisi, sintesis vitamin, dan meningkatkan sistem imun. Hal ini tentunya didasari dari sifat bakteri probiotik itu sendiri yang akan melakukan proses kompetisi dengan bakteri lain yang berpotensi dalam menyebabkan suatu penyakit.

b. Pengembangan Genetika (Genetic Improvement)

       Didalam bidang bioteknologi, metode rekayasa genetika yang dapat dilakukan untuk menciptakan sapi unggulan cenderung bervariasi. Dibalik banyaknya metode yang diaplikasikan, teknologi CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Sequence Palindromic Repeat) menjadi salah satu opsi yang baik dalam melakukan rekayasa genetika. CRISPR sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan alami pada bakteri dalam mengatasi invasi virus dengan cara mengikat bagian yang komplemen dan melakukan fragmentasi (pemotongan) material genetik asing agar tidak dapat berfungsi. Prinsip teknologi CRISPR dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme CRISPR dalam mengenali dan menghambat kerja material asing (Sumber: Arora, 2017)
Gambar 2. Mekanisme CRISPR dalam mengenali dan menghambat kerja material asing (Sumber: Arora, 2017)

            Mekanisme awal CRISPR diawali dengan adanya material genetik asing yang masuk dan menyisip kedalam genom bakteri (CRISPR loci). Penyisipan ini memicu proses transkripsi dan membentuk CRISPR RNA (crRNA). crRNA adalah produk hasil konversi material genetik dari DNA menjadi RNA yang telah menyimpan sekuens material asing. crRNA yang terbentuk nantinya akan dikenali oleh enzim restriksi (Cas9) sehingga membentuk komponen yang lebih kompleks (tracrRNA – Cas9 – crRNA complex). Kompleks tersebut nantinya akan tersimpan sebagai memori layaknya antibody manusia yang apabila ada invasi material asing yang sama untuk kedua kalinya, kompleks ini dapat mengenali dan memotong material asing tersebut agar tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

            Melihat rangkaian mekanisme tersebut, teknologi CRISPR akhirnya diadopsi agar dapat diaplikasikan keberbagai bidang salah satunya peternakan sapi untuk meningkatkan produktivitas dalam menghasilkan daging dan susu sapi. Mekanisme CRISPR pada hewan sapi dapat diamati pada gambar berikut

Gambar 3. Teknologi CRISPR sebagai aplikasi dalam menciptakan sapi unggulan (Sumber: Jabbar et al, 2021)
Gambar 3. Teknologi CRISPR sebagai aplikasi dalam menciptakan sapi unggulan (Sumber: Jabbar et al, 2021)

            Sama seperti prinsip alami yang dilakukan oleh bakteri, teknologi CRISPR yang diadopsi untuk menciptakan sapi unggulan memiliki konsep yang sama, hanya saja CRISPR-Cas9 complex dimodifikasi dengan menyisipkan gene of interest (gen asing yang diinginkan) sebagai pengganti material asing virus. CRISPR-Cas9 complex kemudian diinkorporasi kedalam zigot (calon anak sapi) yang telah di proses secara in vitro. Seiring perkembangan zigot menjadi embrio, CRISPR-Cas9 complex akan menjalankan aksinya dengan mengikat sekuens genetik yang dikenali dan melakukan fragmentasi menggunakan Cas9 untuk mengeliminasi gen tersebut (gene knockout) sehingga nantinya ketika embrio di transfer kembali kedalam rahim sapi, anak sapi yang dilahirkan telah memiliki karakteristik yang berbeda dari induknya akibat eliminasi gen yang dilakukan.

            Umumnya terdapat 2 gene of interest yang diaplikasikan untuk dieliminasi menggunakan teknologi CRISPR yaitu gen myostatin (GDF-8) yang berperan sebagai negatif regulator pada perkembangan otot sapi, beta lactoglobulin sebagai penyebab alergi pada susu sapi, dan Diacylglycerol – O- Acyltransferase (DGAT) sebagai salah satu promoter dalam menstimulasi produksi susu sapi. Sehingga nantinya, sapi yang dihasilkan dapat memiliki pertumbuhan massa otot secara cepat (GDF-8 knock out), atau sapi yang mampu menghasilkan susu bebas laktosa (beta lactoglobulin knock out) dan tentunya jumlah produksi susu yang berlimpah (DGAT insertion).

 c. Pemanfaatan Alat Penunjang (Equipment Application)

           Di era industrialisasi, berbagai alat mulai diciptakan untuk mempermudah aktivitas manusia salah satunya untuk kepentingan berternak. Bolus tracker adalah salah satu alat yang telah didistribusikan dan diterapkan di negara maju. Dengan menyematkan teknologi sensor jarak jauh dan ketahanan terhadap berbagai kondisi lingkungan, menjadikan bolus tracker aman bagi sapi dan mudah dioperasikan oleh pengguna diluar lingkungan peternakan dalam mempertahankan populasi sapi yang sudah dikelola dengan baik.

            Dalam pelaksanaannya, penggunaan alat ini membutuhkan 3 komponen utama yaitu bolus tracker, router, dan smartphone. Secara garis besar, aplikasi cara kerja dari alat ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Aplikasi bolus tracker sebagai alat pendeteksi kondisi kesehatan sapi (Sumber: SmaxtTec, 2022)
Gambar 4. Aplikasi bolus tracker sebagai alat pendeteksi kondisi kesehatan sapi (Sumber: SmaxtTec, 2022)

            Gambar 4 merupakan representasi teknologi bolus tracker dalam mengontrol kesehatan sapi. Mekanisme kerja pada alat ini diawali dengan mengaktivasi bolus tracker yang kemudian dimasukkan kedalam tubuh sapi secara oral menggunakan bolus applicator. Setiap tracker memiliki kode khusus sebagai pembeda sapi per individu. Berbekal router yang dipasangkan disekitar peternakan, sinyal radiasi pada tracker akan ditangkap oleh router secara berkala. Sinyal yang diterima akan divisualisasikan kedalam smartphone dengan mempresentasikan kondisi yang sedang dialami oleh sapi. Notifikasi juga akan disampaikan oleh pengguna apabila terdapat kesalahan pada kondisi sapi sehingga peternak dapat melakukan treatment yang tepat bagi sapi yang bermasalah secara langsung sehingga lebih efisien dari segi waktu dan tenaga dalam mencegah penurunan jumlah produksi susu maupun bobot dari sapi.

            Proses deteksi dapat dilakukan dengan menitik beratkan pada 3 faktor utama didalam siklus kehidupan sapi yaitu status kesehatan (health status), masa kehamilan (pregnancy), dan kelahiran (calving)

a. Status Kesehatan

Dalam penerapan konsep yang sustainable, kesehatan sapi yang dikelola di suatu peternakan diharapkan memiliki status kesehatan yang mumpuni. Oleh karenanya segala bentuk faktor penyebab penyakit harus bisa dideteksi secara langsung salah satunya mastitis. Umumnya, sapi yang terinfeksi bakteri penyebab mastitis tidak secara langsung menimbulkan gejala pada sapi maupun jumlah produksi susu. Hal ini dikarenakan bakteri membutuhkan masa inkubasi untuk menambah jumlah populasi disekitar kelenjar susu. Sebelum adanya teknologi ini, proses deteksi mastitis sebenarnya bisa dilakukan melalui alat milking system yang diterapkan oleh peternak pada umumnya.  Namun sensitivitas alat ini sangat lemah sehingga baru akan memberikan informasi umumnya 6 jam pasca infeksi, sehingga tentunya hal itu dapat bersifat fatal karena potensi penularan bisa saja terjadi selama sapi tengah beraktivitas dan produksi susu sudah mulai menurun drastis. Disisi lain, teknologi bolus tracker dapat mendeteksi secara cepat melalui ketidakstabilan suhu tubuh yang tervisualisasi pada smartphone, maka dari itu peternak dapat secara langsung (bahkan dihari yang sama) mendapat notifikasi dan mengambil tindakan pencegahan dengan mengisolasi sapi tersebut agar aktivitas sapi dibatasi untuk sementara waktu.

b. Masa Kehamilan

Selain kondisi kesehatan sapi, masa reproduksi juga merupakan hal yang ditunggu oleh kalangan peternak. Namun kondisi tersebut tidak disadari secara langsung oleh peternak sehingga masa kawin hewan menjadi tidak optimal. Lewat teknologi bolus tracker, hal ini dapat diminimalisir lewat heat detection dan aktivitas sapi selama masa reproduksi yang tidak seimbang dalam bentuk grafik disertai notifikasi dalam bentuk icon khusus ketika sapi tengah melakukan reproduksi atau telah masuk ke masa kehamilan. Berkat hal ini, peternak dapat mempersiapkan segala sesuatu agar sapi dapat ditempatkan senyaman mungkin agar terhindar dari stress selama proses kehamilan.

c. Masa Kelahiran

Setelah sapi memasuki masa kehamilan dan mulai mendekati proses kelahiran, tentunya akan sulit bagi peternak untuk memprediksi waktu yang tepat. Ketidak pastian ini tentu akan berimbas pada keselamatan anak sapi nantinya ketika tidak dipersiapkan secara tepat. Berdasarkan cara kerjanya, bolus tracker akan mendeteksi kondisi sapi yang hendak akan melahirkan 15 jam sebelumnya. Proses dari calving ini biasanya ditandai dengan penurunan aktivitas dan juga suhu tubuh  secara signifikan untuk beberapa saat hingga kembali menjadi normal. Namun kondisi seperti itu tidak selamanya terjadi pada setiap sapi, terkadang sapi yang telah melahirkan dapat mengalami milk fever. Kondisi ini ditandai dengan penurunan performa sapi pasca melahirkan secara berkepanjangan. Melalui bolus tracker masa waktu milk fever dapat dipersingkat apabila peternak telah mendapatkan notifikasi mengenai penurunan grafik aktivitas dan suhu tubuh secara signifikan. Hal ini menjadikan sapi mendapatkan perhatian lebih melalui treatment yang spesifik sehingga kondisi ini dapat mengurangi tingkat kematian pada induk sapi ataupun penurunan performa sapi dalam bertumbuh atau memproduksi susu.

Kesimpulan

           Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang cukup populer untuk dikelola. Kontribusi sapi dalam memproduksi daging dan susu sapi yang kaya akan nutrisi menjadikan kedua produk hasil ternak ini banyak diminati masyarakat luas termasuk Indonesia. Namun tidak sedikit kualitas dari daging dan susu sapi yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen, bahkan produk hewani seperti susu sapi sendiri mengalami penolakan dibeberapa kalangan masyarakat sebagai salah satu pemicu alergi. Berdasarkan hal tersebut, metode berternak secara konvesional tidak lagi dirasa efektif dan diperlukan metode pendekatan baru beralaskan bidang bioteknologi yang masih jarang diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia. Diawali dengan metode sederhana seperti memodifikasi pakan pada sapi menggunakan larva dari lalat black soldier, hingga metode modern seperti CRISPR untuk melakukan gene knockout dan bolus tracker sebagai alat bantu deteksi dan notifikasi aktivitas serta kondisi sapi diharapkan menjadi sebuah solusi bagi peternak sapi di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas peternakan sapi berstandar internasional.

Referensi

Abuelo, A., Castillo, C., & Hernandez, J. 2017. Biotechnological Approaches to Improve Sustainable Milk and Meat Yield in Bovines.

Anne, I., Alam, S., Begum, R., Shahjahan,R., & Khandaker, S. 2021. The Role of Probiotics on Animal Heath and Nutrition. The Journal of Basic and Applied Zoology , 82 (52).  

Arora, L. 2017. Gene Editing and Crop Improvement using CRISPR-cas9 System. Journal of Frontiers in Plant Science, 8: 1932.

Astuti, D & Wiryawan, K. 2022. Black Soldier Fly as Feed Ingredients for Ruminants. Journal of Animal Bioscience, 35(2): 356-363.

Food and Agriculture Organization. 2022. OECD-FAO Outlook 2022-2031. New York: The Organization for Economic Cooperation and Development. pp. 194-211.

Jabbar, A., Zulfiqar, F., Mahnoor, M., Mushtaq, N., Zaman, M. 2021. Advances and Perspectives in the Application of CRISPR-Cas9 in Livestock. Journal of Molecular Biotechology, 63: 757-767.

Wu, Y., Battalapalli, D., Hakeem, M., Selamneni, V., Zhang, P., Draz, M & Ruan, Z. 2021. Engineered CRIPSR-Cas Systems for the Detection and Control of Antibiotic-Resistance Infection. Journal of Nanobiotechnology, 19: 401.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun