Sampai di sini, kamu lebih suka Swiss atau Belanda? Tahan dulu, belum saatnya memilih. Perjalanan masih panjang. Ada delapan negara lagi yang belum kita kunjungi.
Sekarang kita singgah ke satu negara yang sangat serius dalam urusan kebahagiaan ini. Kalau kamu nanti mulai belajar peta dunia, perhatikanlah sebuah negara yang diapit Nepal dan Bangladesh, dan di antara dua negara besar di Asia Selatan, sisi utaranya ada Tiongkok dan selatannya India. Ya, Bhutan. Itulah namanya. Mirip dengan nama pulau penghasil aspal di negeri kita ya, Pulau Buton. Apakah guru ilmu bumimu sudah mengenalkannya di kelas? Ingat-ingat Buton, ingat-ingat Bhutan, ya, Nak.
Eric memberi kita petunjuk tentang negara kecil di pegunungan Himalaya ini. Kata Eric, "Bhutan memiliki keunikan yang menonjol. Bhutan memiliki pegunungan, puncak-puncak menjulang yang menyentuh surga, memiliki Lama dan mistik, dan tsechu, festival besar dengan berbagai hal yang kau tidak pernah lihat sebelumnya, hal-hal yang menakjubkan." Bhutan juga memiliki busana khas untuk pria, Gho namanya. Gho menurut Eric tampak menyerupai mantel mandi, hanya saja lebih berat dan dilengkapi dengan saku-saku besar. Semua pria Bhutan diharuskan memakainya selama jam kerja (Bhutan merupakan satu-satunya negara di dunia yang memiliki kode etik busana untuk pria). Selain itu, Bhutan adalah tempat yang terbalik. Di sini, angka 13 dianggap mujur. Ketika melakukan perjalanan di Bhutan, kita harus sungguh-sungguh menahan rasa tidak percaya.  Di sini, Nak, kenyataan dan fantasi hidup berdampingan. Kadang-kadang, keduanya tidak dapat dibedakan antara satu sama lain. Seru ya...Â
Ada satu gagasan unik tentang kebahagiaan di Bhutan. Tahun 1973, Raja Bhutan, Wangchuk, mulai mengenalkan kebijakan yang disebut Kebahagiaan Nasional Bruto (KNB). Secara ringkas, KNB berusaha mengukur kemajuan bangsa bukan lewat neraca dagangnya, melainkan lewat kebahagiaan -- atau ketidakbahagiaan -- rakyatnya. Eric menerangkan bahwa hal tersebut merupakan konsep yang merepresentasikan pergeseran mendalam dari cara kita berpikir tentang uang dan kepuasan dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya. Bagaimana suatu pemerintah dapat memiliki kebijakan tentang kebahagiaan? Menurut Eric, ini absurd. Betapa pun, seperti yang diungkap Eric, tingkat kejahatan yang rendah di Bhutan -- pembunuhan hampir tidak terdengar -- memberi kontribusi terhadap keseluruhan kebahagiaan. Harapan hidup telah bertambah, dari 42 menjadi 64 tahun. Selain itu, pemerintah menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan bebas bagi semua warga negaranya. Dan satu lagi, Bhutan adalah negara pertama di dunia yang melarang merokok: penjualan tembakau dilarang. Tentu ini kebijakan baik buat mereka yang anti tembakau, tapi buat 'turis' perokok seperti ayah, itu berita buruk. Hehehe...Â
Lalu, bagaimana rakyat Bhutan menerima gagasan KNB ini? Eric mengajak kita bertemu dengan seorang warga Bhutan, Sanjay Penjor. KNB bagi warga Bhutan seperti Penjor berarti "mengetahui berbagai keterbatasanmu. Mengetahui seberapa banyak adalah cukup." Kedengarannya mirip seperti conjoyment orang Swiss ya.Â
Hei, Nak, apa kamu suka di Bhutan? Ayah rasanya mulai betah, kecuali larangan merokok itu. Tapi kita mesti berkemas. Eric sudah menunggu kita menuju Qatar.
"Ambil sebongkah pasir berkualitas rendah di Teluk Persia, tambahkan banyak minyak, sedikit gas, dan kocok. Atau bayangkan bahwa kau dan seluruh kerabatmu kaya. Luar biasa kaya. Kemudian, bayangkan bahwa keluargamu memiliki negara sendiri, di suatu tempat di semananjung Arab. Nyatanya, Qatar lebih merupakan keluarga daripada negara. Sebuah suku yang mempunyai bendera." Begitulah Qatar dalam gambaran Eric.Â
Qatar menurut Eric memang merupakan puncak dari negara yang mampu memenuhi hak warganya (welfare state). Air di Qatar gratis, begitu juga dengan listrik, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Pemerintah bahkan menggaji mahasiswa perguruan tinggi Qatar meski kecil. Apabila seorang pria Qatar menikah, pemerintah memberinya sebidang tanah untuk membangun rumah, hipotek bebas bunga, dan, untuk membantu, tunjangan bulanan sebesar kira-kira tujuh ribu dolar. Tidak seperti di negara-negara Eropa yang mampu memenuhi hak warganya, orang Qatar tidak dibebani pajak tinggi. Â "Mereka memang tidak dibebani pajak sama sekali," kata Eric.Â
Apakah orang Qatar bahagia? Jika ukurannya uang dan kemakmuran, Qatar tentu negara paling bahagia di dunia. Di titik itu, agaknya kita memang tidak perlu membuat definisi yang terlalu kaku tentang (ke)bahagia(an).Â
Ayah rasa kita tidak perlu lama-lama di sini ya, Nak. Eric bilang, di Qatar, orang asing seperti kita ini selalu bersalah. Ini ada kaitannya dengan apa yang disebut in vehicle veritas (kebenaran di dalam kendaraan). Ini adalah cara kamu mengetahui jati diri rakyat suatu negara dengan melihat bagaimana mereka berkendara. Pengemudi Qatar bisa menabrak kita dari belakang jika tidak segera minggir ketika ia ingin mendahului dengan berada dalam jarak dua puluh sentimeter, mengedip-ngedipkan lampu jauh berkali-kali dan membunyikan klakson dengan nyaring. Mengapa? Karena dia bisa. Dan itu bisa terjadi untuk orang asing. Sebelum itu terjadi, ada baiknya kita berkemas dan segera meninggalkan negara para emir ini. Ayah kira kita tidak bahagia di sini.
Dari Qatar, Eric membawa kita ke Islandia, "tanah es yang dingin dan gelap". Seluruh populasi negara ini menurut Eric hanya tiga ratus ribu. Wow! Hanya 3% nya dari seluruh populasi Jakarta (per Juni 2022, total penduduk DKI Jakarta 11.249.585). Bahkan lebih sedikit dari populasi warga di Jakarta Pusat yang berjumlah 1.105.731 jiwa. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/10/09/jakarta-pusat-jadi-wilayah-terpadat-di-ibu-kota-per-juni-2022).Â