SENTIMEN NASIONALISME DI ERA ALGORITMA
- Pengantar Buku 60 Esai Hasil Lomba
Denny JA
"Setiap generasi menemukan makna nasionalisme dalam cermin zamannya."
Dulu, nasionalisme berakar pada tanah, bahasa, dan sejarah. Ia hidup dalam cerita para leluhur, dalam nyanyian perjuangan, dalam kenangan tentang tanah yang dipertahankan dengan darah.Â
Namun kini, dunia kita telah berubah. Era algoritma menghadirkan tantangan baru. Identitas yang dulunya terpahat pada tradisi kini tersusun dalam jaringan digital yang tak mengenal batas.
Di tengah perubahan ini, muncul pertanyaan mendalam: bagaimana kita memahami nasionalisme dalam ruang tanpa sekat, di mana pixel dan sinyal menjadi medium utama interaksi manusia?
Batas-batas fisik, yang dulu membedakan kita sebagai bangsa, mulai mencair. Seorang pemuda Indonesia mungkin lebih akrab dengan budaya pop Korea daripada tradisi lokalnya sendiri.Â
Namun, ini bukan berarti nasionalisme mati. Ia hanya bermutasi. Nasionalisme, seperti kehidupan itu sendiri, mencari cara untuk bertahan.
Nasionalisme di era algoritma adalah tentang kesadaran. Ia bukan lagi hanya soal mempertahankan batas fisik, tetapi tentang menemukan akar di tengah arus globalisasi.Â
Di balik layar ponsel dan algoritma yang terus memetakan perilaku kita, ada bisikan halus yang mengingatkan: "Kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar."
Seperti yang digambarkan dalam puisi esai saya (Denny JA), seorang pemuda bernama Darta bertanya, "Apakah arti tanah air di zaman ini?" Dalam dunia digital yang tanpa batas, ia merasakan kebingungan, namun juga keajaiban: bahwa meski dunia meluas, cinta pada tanah air tetap tumbuh.
Media sosial, algoritma, dan kecerdasan buatan memang membawa tantangan baru. Emosi, yang dulu menjadi penggerak nasionalisme, kini dimanipulasi oleh mesin. Polarisasi isu, berita palsu, dan narasi yang diprogram mengancam rasa kebangsaan kita. Namun, di balik itu semua, tersimpan peluang.
Nasionalisme tidak harus mati dalam dunia yang berubah. Justru, ia bisa bertransformasi. Ia bisa menjadi pengingat bahwa, meski kita terhubung secara global, kita tetap memiliki akar yang mengikat kita pada tempat asal.
-000-
Buku ini terdiri dari 60 esai, yang berasal dari hasil lomba menulis esai yang diselenggarakan oleh Forum Kreator Era AI bersama Denny JA Foundation.Â
Lomba ini diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda 2024 dan berfokus pada refleksi puisi esai Denny JA berjudul "Nasionalisme di Era Algoritma".
Lomba ini melibatkan 941 peserta dan bertujuan untuk mengeksplorasi ide-ide tentang nasionalisme di tengah tantangan era digital.Â
Buku ini memuat karya-karya yang lolos ke babak final, termasuk 15 esai pemenang utama dan karya-karya finalis lainnya.
Ada esai berjudul; Refleksi Nasionalisme di Era Digital: Analisis Puisi Esai Denny JA. Penulisnya Fidelis Roy Maleng
Esai ini menyoroti bagaimana bahasa nasional tetap menjadi elemen fundamental identitas bangsa meski dunia digital terus mencairkan batas fisik.Â
Cinta tanah air, meskipun terkadang tampak kabur, tetap hidup sebagai ikatan emosional yang dalam.
Pesannya menekankan pentingnya mempertahankan elemen budaya dan sejarah dalam membentuk rasa kebangsaan. Dalam era algoritma, bahasa nasional berperan sebagai jangkar identitas yang melawan arus homogenisasi global.
Ada juga berjudul: Ketika Homo Digitalis Merenungkan Nasionalisme: Menyelami Puisi Denny JA. Penulisnya Desi Ratriyanti
Esai ini mengeksplorasi ambiguitas identitas di era digital dan menyampaikan bahwa, meski algoritma memengaruhi perilaku manusia, cinta tanah air tetap bisa bertahan.Â
Teknologi bukan ancaman, tetapi alat untuk mutasi nasionalisme. Pesannya optimistis, menyatakan bahwa nasionalisme dapat berkembang melalui adaptasi, bukan hanya bertahan melawan modernisasi.Â
Penulis memberikan visi bahwa era digital bukan ancaman, tetapi peluang untuk nasionalisme baru.
Ada lagi esai berjudul: Nasionalisme di Era Algoritma: Proses Algoritmik Kehidupan, Sejarah, dan Manusia. Nama penulisnya Agusliadi Massere
Esai ini mengaitkan nasionalisme dengan algoritma kehidupan dan sejarah. Penulis menekankan nilai-nilai sakral seperti cinta tanah air tetap relevan, bahkan dalam arus digital yang paling deras sekalipun.
Pesan ini menggugah kesadaran tentang nilai-nilai tak tergantikan yang membentuk identitas manusia. Nasionalisme bukan sekadar kenangan, tetapi mekanisme mendalam yang terus beroperasi meski dunia berubah.
-000-
Jumlah Pengguna Media Sosial: Pada Januari 2024, Indonesia memiliki 139 juta pengguna media sosial, yang setara dengan 49,9% dari total populasi.Â
Platform Populer: Instagram menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan, dengan 84,8% pengguna internet di Indonesia menggunakannya. Facebook berada di posisi kedua dengan 81,3% pengguna.Â
Pada awal tahun 2024, penetrasi internet di Indonesia mencapai 66,5% dari total populasi, dengan 185,3 juta pengguna internet. (1)
Meskipun penetrasi internet meningkat, terdapat kekhawatiran bahwa algoritma platform digital lebih sering merekomendasikan konten global yang populer, sehingga konten lokal kurang terekspos.Â
Hal ini dapat menyebabkan budaya lokal terpinggirkan di tengah arus globalisasi digital.Â
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan media sosial dapat mempengaruhi sentimen nasionalisme.Â
Konten global yang mendominasi platform digital berpotensi mengikis identitas budaya lokal, sementara konten yang mempromosikan budaya nasional dapat memperkuat rasa kebangsaan.Â
Namun, data spesifik mengenai korelasi ini di Indonesia masih terbatas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Menurut data, rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna internet di Indonesia untuk mengakses media sosial adalah 3 jam 11 menit per hari.Â
Meskipun data spesifik untuk remaja tidak disebutkan, tren global menunjukkan bahwa remaja cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di platform digital.Â
Data-data di atas menggambarkan bagaimana penetrasi internet dan penggunaan media sosial di Indonesia mempengaruhi pola konsumsi konten serta potensi dampaknya terhadap sentimen nasionalisme.Â
Penting untuk terus memantau dan meneliti dinamika ini guna memahami implikasinya terhadap identitas budaya dan rasa kebangsaan di era digital.
-000-
Di balik potensi algoritma untuk memperkuat identitas nasional, tersembunyi ironi yang mengancam: algoritma juga dapat memudarkan nasionalisme.Â
Algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, bukan untuk mempertahankan budaya atau identitas nasional.Â
Hasilnya, algoritma sering kali mendorong konten global yang populer, mengesampingkan budaya lokal yang kurang mendapat perhatian di dunia digital.
Misalnya, seorang remaja Indonesia yang aktif di media sosial lebih sering disodori video K-pop atau tren TikTok dari Amerika Serikat daripada konten tentang tradisi daerahnya.Â
Akibatnya, budaya lokal menjadi terpinggirkan di tengah gelombang globalisasi digital.
Lebih jauh, algoritma juga menciptakan homogenisasi budaya. Platform seperti Netflix atau YouTube merekomendasikan konten yang sesuai dengan pola global.Â
Itu potensial membuat banyak orang di seluruh dunia mengonsumsi budaya yang serupa, mengikis keunikan budaya lokal yang membentuk nasionalisme.
Ketika identitas nasional tak lagi terlihat di ruang digital, nasionalisme perlahan memudar. Tanpa strategi sadar untuk mempertahankan narasi nasional di era algoritma, bangsa-bangsa berisiko kehilangan jati dirinya di tengah derasnya arus globalisasi.
"Dalam keheningan algoritma yang bekerja tanpa henti, identitas kita bisa menguap tanpa kita sadari."
Tapi benar pula. Di tengah derasnya arus algoritma, cinta tanah air tetap bisa menjadi sebuah jangkar."
Era algoritma adalah era di mana batas negara menjadi kabur. Identitas tradisional kita, yang dulu dipahat oleh sejarah dan tradisi, kini dihadapkan pada tantangan dunia digital yang tanpa sekat.Â
Namun, di balik pixel dan sinyal, cinta tanah air tetaplah sebuah suara yang berbisik lembut di hati kita.
Nasionalisme di era algoritma adalah perjalanan. Ia bukan lagi sekadar ikatan pada tanah dan bahasa, tetapi sebuah kesadaran yang merangkul keberagaman dan perubahan.Â
Dunia maya mempertemukan kita dengan budaya dan komunitas global, tetapi di dalamnya kita menemukan akar kita, lebih dalam dari sebelumnya.
Seperti Darta dalam puisi esai saya, kita semua adalah pengembara di dunia algoritma yang tak berbatas. Namun, di setiap perjalanan, kita selalu membawa tanah air di hati kita.
Teknologi adalah alat, bukan ancaman. Media sosial dan algoritma memang dapat memanipulasi emosi kita, tetapi mereka juga bisa menjadi alat untuk menyebarkan cinta pada bangsa.Â
Kita dapat merayakan sejarah, membangun identitas baru, dan mengukir ulang nasionalisme yang sesuai dengan zaman ini.
Nasionalisme di era algoritma tidak mati. Ia bermutasi, hidup dalam jiwa-jiwa yang terhubung, tetapi tetap berakar. Di dunia yang terus berubah, cinta tanah air adalah salah satu yang mampu bertahan.
"Di tengah riuh algoritma dan globalisasi, cinta tanah air bukanlah sesuatu yang tampak. Ia adalah akar yang tak terlihat, tetapi selalu ada, memberi kita tempat untuk pulang."***
Jakarta, 17 Januari 2025
CATATAN
(1) Data pengguna internet di Indonesia
 https://data.goodstats.id/statistic/ini-dia-alasan-orang-indonesia-menggunakan-internet-2024-mvHoj
- 000 -
Buku ini dapat diakses melalui link:
https://cerahbudaya.com/book/nasionalisme-di-era-algoritma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H