Era algoritma adalah era di mana batas negara menjadi kabur. Identitas tradisional kita, yang dulu dipahat oleh sejarah dan tradisi, kini dihadapkan pada tantangan dunia digital yang tanpa sekat.Â
Namun, di balik pixel dan sinyal, cinta tanah air tetaplah sebuah suara yang berbisik lembut di hati kita.
Nasionalisme di era algoritma adalah perjalanan. Ia bukan lagi sekadar ikatan pada tanah dan bahasa, tetapi sebuah kesadaran yang merangkul keberagaman dan perubahan.Â
Dunia maya mempertemukan kita dengan budaya dan komunitas global, tetapi di dalamnya kita menemukan akar kita, lebih dalam dari sebelumnya.
Seperti Darta dalam puisi esai saya, kita semua adalah pengembara di dunia algoritma yang tak berbatas. Namun, di setiap perjalanan, kita selalu membawa tanah air di hati kita.
Teknologi adalah alat, bukan ancaman. Media sosial dan algoritma memang dapat memanipulasi emosi kita, tetapi mereka juga bisa menjadi alat untuk menyebarkan cinta pada bangsa.Â
Kita dapat merayakan sejarah, membangun identitas baru, dan mengukir ulang nasionalisme yang sesuai dengan zaman ini.
Nasionalisme di era algoritma tidak mati. Ia bermutasi, hidup dalam jiwa-jiwa yang terhubung, tetapi tetap berakar. Di dunia yang terus berubah, cinta tanah air adalah salah satu yang mampu bertahan.
"Di tengah riuh algoritma dan globalisasi, cinta tanah air bukanlah sesuatu yang tampak. Ia adalah akar yang tak terlihat, tetapi selalu ada, memberi kita tempat untuk pulang."***
Jakarta, 17 Januari 2025
CATATAN