Mohon tunggu...
Denny_JA Fanpage
Denny_JA Fanpage Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Satu Pena

Kumpulan Catatan Denny JA

Selanjutnya

Tutup

Seni

Di Balik Buku Demokrasi Dengan Rekor Terbanyak 221 Penulis

28 Desember 2024   07:22 Diperbarui: 28 Desember 2024   07:22 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dennyja.world AI

DI BALIK BUKU DEMOKRASI DENGAN REKOR TERBANYAK 221 PENULIS

Oleh Denny JA

"Buku adalah cerita yang kita baca, tetapi proses menulisnya adalah kehidupan yang menyala di balik layar."

Pesan ini menggambarkan bahwa buku adalah bentuk final dari sebuah karya. Namun, proses menulisnya adalah sebuah perjalanan tersendiri, kadang penuh emosi, perjuangan, dan cermin sebuah zaman.

Kutipan ini yang saya renungkan ketika membaca kembali buku yang membuat rekor, karya Perkumpulan Penulis SATUPENA.

Ketika "Suara Penulis Soal Pemilu dan Demokrasi 2024" akhirnya diterbitkan, ia tak hanya hadir sebagai kumpulan gagasan tentang demokrasi Indonesia.

Ia tercatat dalam sejarah. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberikan pengakuan resmi: inilah buku demokrasi dengan jumlah penulis terbanyak, 221 orang, dan genre terlengkap---esai, cerpen, puisi, dan puisi esai.

Namun, yang menjadikannya istimewa bukan sekadar angka atau genre. Ia adalah cermin dari polarisasi politik Indonesia di ujung tahun 2024. Ini sebuah periode penuh gejolak antara pilpres dan pilkada.

Polarisasi ini tak hanya mengguncang politik nasional, tetapi juga mengguncang dunia penulis.

Sebagai ketua umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, saya berada di tengah badai. Beberapa penulis menginginkan organisasi ini berdiri tegas melawan kebijakan pemerintah melalui petisi.

Sementara sekelompok penulis lain menolak keras. Mereka tak ingin SATUPENA terseret ke politik praktis.

Ada yang ingin tetap mendukung pemerintah, ada yang tak suka dengan pendekatan petisi kolektif, dan ada pula yang hanya ingin menjaga independensi organisasi.

Di tengah kerumitan itu, lahirlah solusi: sebuah buku. Buku ini menjadi wadah bagi semua suara---baik pro maupun kontra. Setiap penulis bebas mengekspresikan pikirannya dalam bentuk apa pun, tanpa sensor, tanpa pembatasan ideologi.

Di sinilah buku ini menjadi unik: ia tidak hanya merekam pemikiran, tetapi juga perdebatan yang melahirkannya.

-000-

Sejarah mencatat, beberapa buku tak hanya menarik karena isinya, tetapi karena proses pembuatannya yang luar biasa:

Anne Frank menulis buku hariannya "The Diary of a Young Girl" dalam ruang rahasia di Amsterdam, tempat keluarganya bersembunyi dari Nazi. Di tengah ketakutan akan penangkapan, Anne menemukan kebebasan melalui tulisan, mencurahkan harapan, cinta, dan rasa sakitnya.

Kisah ini ditemukan setelah kematiannya di kamp konsentrasi oleh Miep Gies, yang menyelamatkan naskahnya dari kehancuran.

Buku ini bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga bukti keberanian seorang gadis muda di tengah kekejaman perang.

Proses pembuatannya mencerminkan tekad manusia untuk tetap hidup, walau hanya melalui kata-kata. Anne menghidupkan mimpi dan kemanusiaan dari balik tembok tersembunyi.

Buku "Suara Penulis Soal Demokrasi dan Pemilu 2024" juga punya kisah di balik layar.

Di balik angka 221 penulis, ada lebih dari sekadar tulisan.

Ada dinamika politik yang merasuk ke dalam dunia literasi. Ketika polarisasi bangsa mencapai puncaknya, dunia penulis pun terbelah.

Ada yang mendukung pemerintah, ada yang kritis terhadapnya. Ada yang percaya pada suara petisi kolektif, ada yang memegang teguh independensi pribadi.

Bagi penulis berjiwa aktivis, petisi adalah tindakan konkret untuk melawan kebijakan yang dianggap merugikan demokrasi. 

Mereka memandang menulis esai tanpa keberanian untuk menandatangani petisi sebagai sikap pasif, bahkan kompromis. 

Menulis esai dianggap terlalu abstrak untuk menciptakan dampak langsung, sementara petisi kolektif adalah wujud nyata dari solidaritas. 

Sinisme mereka berakar pada keyakinan bahwa penulis memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menyuarakan opini, tetapi juga bertindak.

Bagi sebagian penulis, petisi kolektif justru membatasi kebebasan individu. Mereka khawatir isi petisi akan memaksa kompromi, mengurangi nuansa atau kedalaman pikiran mereka demi mencapai konsensus. 

Sebagai individu yang menghargai independensi, mereka menolak menjadi bagian dari tindakan kolektif yang mungkin mencederai orisinalitas visi mereka. 

Sinisme mereka mencerminkan kecemasan bahwa suara kolektif kadang mengorbankan kejujuran personal demi kepentingan politis.

Penulis yang sudah berniat mundur dari organisasi berasal dari kekecewaan terhadap dinamika internal yang dianggap terlalu politis. 

Bagi mereka, organisasi seperti SATUPENA seharusnya menjadi ruang netral untuk mengeksplorasi gagasan, bukan medan pertarungan politik praktis. 

Polarisasi dalam organisasi dianggap merusak tujuan utama: mendukung literasi dan kreativitas. Mundur adalah cara mereka menjaga integritas, menghindari konflik yang tidak relevan dengan visi awal organisasi, dan fokus pada karya pribadi mereka.

Ketiga sikap ini mencerminkan ketegangan antara idealisme, pragmatisme, dan independensi yang sering muncul dalam komunitas intelektual. 

Masing-masing memiliki argumen yang valid, memperlihatkan keragaman cara berpikir di dunia literasi dan aktivisme.

-000-

Namun, buku ini tidak memihak. Ia menjadi rumah bagi semua suara. Seperti demokrasi yang ideal, buku ini menerima keberagaman pendapat, menjadikannya kekuatan, bukan kelemahan.

Dengan genre yang beragam---esai yang tajam, cerpen yang menggugah, puisi yang melankolis, dan puisi esai yang reflektif---buku ini adalah potret utuh dari gejolak pemilu dan pilkada 2024.

Dalam buku ini ada tulisan yang kontra Jokowi dan pro Jokowi. Semua pandangan ditampung.

Esai berjudul: "Demokrasi Indonesia yang Carut-Marut: Sebuah Refleksi Kritis."

Penulisnya Ade Solihat

Esai ini mengkritik kondisi demokrasi di Indonesia yang dianggap mengalami distorsi selama kepemimpinan Jokowi. 

Argumen utamanya adalah demokrasi di Indonesia cenderung kehilangan esensinya karena korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan manipulasi politik. 

Penulis menyoroti bahwa meskipun demokrasi adalah pilihan sistem pemerintahan Indonesia, pelaksanaannya jauh dari ideal. Sistem partai politik dan pemilu dianggap lebih melayani elite dibandingkan rakyat. 

Kritik juga diarahkan pada lemahnya checks and balances dalam pemerintahan Jokowi, yang dinilai memperkuat otoritarianisme terselubung .

Namun ada juga esai berjudul: "Integrasi Teknologi AI dan Big Data Perlancar Pilkada 2024"

Penulisnya Rayendra L. Toruan

Esai ini memuji penggunaan teknologi di era Jokowi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pemilu. 

Penulis menekankan bahwa integrasi AI dan Big Data telah membawa dimensi baru dalam demokrasi Indonesia, terutama dalam pengelolaan data pemilih, pengawasan, dan penghitungan suara. 

Jokowi disebut sebagai pemimpin yang visioner karena mengarahkan transformasi digital yang membantu mengatasi tantangan pemilu di negara dengan populasi besar seperti Indonesia. 

Pendekatan ini dipandang sebagai kontribusi signifikan Jokowi dalam memperkuat fondasi demokrasi .

Dua esai ini mencerminkan kompleksitas pandangan terhadap Jokowi, mencakup apresiasi atas inovasi teknologinya, tetapi juga kritik tajam terhadap masalah struktural dalam demokrasinya.

Kapal Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA sempat terombang-ambing saat itu.

Namun, akhirnya semua berakhir indah. Petisi penulis yang diinisiasi oleh aktivis penulis SATUPENA ikut berkontribusi, sekecil apa pun, atas dibatalkannya RUU yang "melawan" putusan MK soal pilkada.

Sementara para penulis yang menolak petisi dan membuat buku juga mencetak rekor yang sulit dipecahkan: satu buku dengan satu tema, dengan 221 penulis, dalam bentuk esai, cerpen, puisi, dan puisi esai sekaligus.

Begitu banyaknya tulisan yang masuk, diperlukan pula banyak editor. Tak tanggung- tanggung empat editor dari Perkumpulan Penulis Satupena ditunjuk untuk mengawal buku ini: Satrio Arismunandar, Dhenok Kristianti, Jonminofri Nazir, dan Elza Peldi Taher.

Maka lahirlah buku ini: "Suara Penulis Soal Demokrasi dan Pemilu 2024." Ia tak hanya sebuah buku. Ia juga dokumen sebuah zaman. ***

Jakarta, 28 Desember 2024

Link untuk membaca buku ini:

https://drive.google.com/file/d/1kw-bhhh892NAIlNzy7574VsrAYyu6sBE/view?usp=drivesdk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun