Tafsir agama, seperti peta, memberi kita arah. Namun tafsir yang kita pilih menentukan langkah kita: apakah kita akan membebaskan atau membelenggu.Â
Tafsir yang selaras dengan cinta, keadilan, dan hak asasi manusia adalah kompas menuju cahaya yang sesungguhnya.Â
Dan akhirnya, kedalaman spiritual hanya bisa ditemukan dengan menyelami. Setiap agama memuat prinsip-prinsip kebajikan dan harmoni, dan semakin dalam kita menggali, semakin dekat kita pada kebenaran universal yang sama.
"Di tengah ribuan bintang yang terang, kita adalah cahaya kecil yang saling menyentuh. Esoterika adalah jalan menuju cahaya kolektif, di mana agama menjadi puisi semesta, dan manusia menjadi penyair yang mencintai setiap kata."
-000-
Transcendental Unity of Religions, gagasan yang lahir dari pemikiran Frithjof Schuon di awal abad ke-20, menegaskan bahwa semua agama, meski berbeda dalam bentuk, ritus, dan simbol, mengalir menuju satu hakikat kebenaran yang sama.Â
Schuon, seorang filsuf sufi, melihat bahwa pada tingkat terdalam, setiap agama adalah pantulan cahaya yang satu, dinyatakan dalam beragam bahasa budaya dan waktu.Â
Realitas Absolut, yang disebut Tuhan, Brahman, atau Tao, adalah satu. Jalan yang ditempuh mungkin beragam, tetapi tujuannya sama: kesadaran tertinggi yang menyatukan manusia dengan yang transenden.
Simbol-simbol keagamaan bukanlah dinding yang memisahkan, melainkan jembatan menuju pemahaman esensi. Perbedaan tradisi adalah seperti sungai-sungai yang bermuara pada samudra yang sama.Â
Di sana, perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan dirayakan sebagai cara manusia memahami kebesaran yang tak terlukiskan.
Hari ini, soal makna dan kebahagiaan, penelitian dalam bidang positive psychology dan neuroscience semakin menegaskan bahwa hidup bermakna dapat dirumuskan secara lebih sistematis.Â