yang berdiri di pematang,
kaki pecah-pecah menahan perih.
"Bu, kapan kita makan?"
Suara kecil itu seperti tembakan
yang menggema ke lembah-lembah.
Namun ibu hanya diam,
matanya memandang jauh ke ladang kopi.
Di sana, bukan nasi yang ia tanam,
hanya biji pahit untuk meja-meja Eropa.
Di sela angin, perut kecil itu berbunyi,
seperti lonceng yang tak pernah berhenti berdenting.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!