Sebagai contoh, seorang milenial yang besar di Jakarta menulis tentang dinamika kehidupan urban yang penuh hiruk-pikuk, tetapi juga merindukan ketenangan dan kesederhanaan.
Sementara itu, seorang pemuda di desa terpencil mengeksplorasi kehidupan yang seolah jauh dari gemerlap dunia, tetapi terobsesi dengan dunia metropolitan karena sering melihatnya di medsos.
Identitas mereka terbentuk melalui kata-kata yang mereka pilih, melalui kisah-kisah yang mereka angkat. Dengan menulis, mereka menemukan suara dan nilai mereka sendiri, tanpa harus terseret oleh arus yang sama.
Ketiga: Menjaga Warisan Budaya dan Menulis Sejarah Baru
Indonesia adalah negeri yang kaya dengan keberagaman budaya, dari Aceh hingga Papua. Dalam era globalisasi ini, kekayaan tersebut semakin terancam oleh homogenisasi budaya global.
Ketika milenial dan Gen Z menulis puisi esai, mereka tidak hanya menulis untuk diri mereka sendiri, tetapi juga melestarikan dan menuliskan kembali sejarah, tradisi, dan nilai-nilai lokal. Mereka menjadi saksi zaman yang mencatat peristiwa, kisah, dan perubahan dari perspektif mereka sendiri.
Puisi esai memberi kesempatan bagi mereka untuk menggabungkan kisah lokal dengan isu global, menciptakan perpaduan unik yang merefleksikan jati diri mereka sebagai generasi masa kini.
Misalnya, seorang pemuda dari Bali  menulis tentang tantangan modernisasi di tengah upaya menjaga nilai-nilai spiritual. Atau seorang anak muda dari Sumatera menceritakan tradisi lisan nenek moyangnya yang kian pudar.
Dengan menulis, mereka menjadi penjaga dan penerus budaya. Mereka mencatat perubahan dan mempertahankan nilai-nilai lokal yang berharga.
Seiring waktu, tulisan-tulisan mereka menjadi saksi bisu dari pergeseran sosial, ekonomi, dan budaya, membantu generasi berikutnya memahami perjalanan bangsa ini.
Seperti ukiran pada batu, kata-kata mereka menjadi jejak sejarah, mencatat dunia yang mereka lihat dan rasakan.