Puisi esai hadir sebagai ruang bagi mereka untuk menyuarakan kepedulian sosial ini dengan cara yang mendalam dan personal.
Dalam menulis puisi esai, mereka tidak hanya mengungkapkan pandangan atau opini, tetapi juga menghidupkan kisah-kisah nyata yang sering kali terabaikan.
Misalnya, seorang pemuda di Aceh menulis tentang memori Gerakan Aceh Merdeka. Sementara seorang gadis di Papua menyuarakan tentang harapan untuk pendidikan yang lebih baik.
Dengan menulis puisi esai, mereka belajar untuk tidak hanya melihat isu-isu tersebut dari permukaan, tetapi menyelam lebih dalam, memahami akar masalah, serta merasakan empati terhadap mereka yang terlibat.
Seperti halnya pohon yang tumbuh dari akar yang kuat, kepekaan sosial tumbuh dari pemahaman yang mendalam.
Sastra membantu mereka untuk tidak hanya melihat masalah, tetapi juga merasakannya. Dalam menulis, mereka belajar merangkul cerita orang lain, menjadikannya bagian dari diri, dan tumbuh sebagai individu yang lebih peka terhadap keadaan sekitar.
Kedua: Mengembangkan Diri dan Identitas
Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, milenial dan Gen Z sering kali merasa terhanyut tanpa pegangan. Identitas menjadi sesuatu yang labil dan mudah terpengaruh.
Sastra, khususnya puisi esai, menjadi media yang memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi dan menemukan jati diri mereka. Ketika mereka menulis, mereka memaksa diri untuk merenung, menggali lapisan terdalam dari pikiran dan perasaan.
Puisi esai memberi ruang bagi mereka untuk memadukan refleksi pribadi dengan kisah-kisah sosial yang lebih besar. Mereka diajak untuk mengajukan pertanyaan: "Siapa aku di tengah dunia yang berubah cepat ini? Apa yang penting bagiku?
Bagaimana aku bisa membawa perubahan melalui tulisan?" Melalui proses menulis, mereka belajar untuk tidak sekadar mengikuti arus, tetapi menjadi bagian dari perubahan yang mereka inginkan.