KETIKA 180 KREATOR MILENIAL DAN GEN Z, DARI ACEH HINGGA PAPUA, BERSAKSI MELALUI PUISI ESAI
- Sebuah Pengantar
Oleh Denny JA
"Menulis adalah sebuah cara untuk mendengar suara yang tak terdengar, merangkul yang tak terjamah, dan melihat yang tersembunyi di balik keramaian."
Dalam sunyi, ketika kata demi kata terangkai, tercipta sebuah jembatan yang menghubungkan kita dengan diri terdalam, dengan sesama, dan dengan dunia yang terus berubah.
Kutipan ini mengajak kita memasuki dunia sastra yang lebih dari sekadar tulisan; ia adalah jiwa yang menyuarakan keheningan, ketakutan, harapan, dan mimpi.
Khususnya bagi generasi milenial dan Gen Z, menulis adalah cara untuk merekam jejak pemikiran mereka di tengah arus digital yang terus berlalu.
Di era yang sering kali didominasi oleh kilasan informasi cepat dan gambar-gambar instan, puisi esai hadir sebagai media yang mendalam, mengajak mereka berhenti sejenak, merenung, dan menyuarakan kisah dari sudut pandang mereka sendiri.
Renungan ini yang teringat ketika saya ikut mengelola sekitar 180 kreator, berusia 25 tahun ke bawah, dari Aceh hingga Papua, bahkan juga dari Malaysia, Singapura, Thailand hingga Kairo, mengekspresikan kesaksian atas isu kemanusiaan, true story, melalui puisi esai.
Menyambut Festival Puisi Esai Jakarta yang kedua, Desember 2024, mereka menuliskan puisi esai dalam 18 buku. (1)