Di Jawa Timur, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak unggul signifikan dengan perolehan 65,8%. Posisi kedua ditempati pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta dengan 24,5%, sementara pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim memperoleh 1%. Sisanya, 8,7%, belum menentukan pilihan.
Situasi di DKI Jakarta lebih kompetitif. Pasangan KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono, mendapat elektabilitas 37,4%, berimbang dengan pasangan PDIP, Pramono Anung-Rano Karno (Si Doel), yang memperoleh 37,1%. Pasangan independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, meraih 4,0%, sementara 21,5% responden belum menentukan pilihan.
-000-
Analisis Situasi di DKI Jakarta
Mengapa pasangan yang didukung koalisi besar seperti KIM Plus tidak unggul signifikan di DKI Jakarta?
Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, mesin partai KIM Plus kurang efektif di Jakarta. Banyak pemilih PKS, Golkar, PKB, Demokrat, PPP, dan Nasdem cenderung memilih pasangan Pramono Anung-Rano Karno daripada pasangan yang diusung partai mereka sendiri.
Sebaliknya, PDIP lebih solid karena mayoritas anggotanya mendukung pasangan ini.
Ini menjadi pekerjaan besar bagi Ridwan Kamil - Suswono. Mengapa pemilih dari partai pengusungnya sendiri, Golkar (Ridwan Kamil) dan PKS (Suswono), lebih banyak memilih Pramono dan Rano Karno. Ada jarak yang lebar antara keputusan elit partai dan massa partai.
Kedua, pasangan Ridwan Kamil-Suswono kurang diterima oleh komunitas Betawi. Rano Karno dengan kisah "Si Doel" lebih menempel di memori pemilih Betawi.
Ketiga, popularitas Ridwan Kamil sebanding dengan Rano Karno, dengan angka 97% bagi keduanya, yang berarti tidak ada keunggulan signifikan dalam hal pengenalan figur. Untuk kasus Jakarta, Cagub Pramono banyak didongkrak oleh Cawagubnya.
-000-