Mohon tunggu...
M.Denny Elyasa
M.Denny Elyasa Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Kebijakan dan Penulis

Analis Kebijakan pada Setwan Prov.Kep. Bangka Belitung . Aktif menulis opini dan esai khususnya mengenai kepariwisataan dan SDM.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Petani Menjadi Pilihan Cita-cita

26 Mei 2021   19:16 Diperbarui: 26 Mei 2021   19:35 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahan food estate(Dok. Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Setiap anak ketika masih kecil selalu akan  ditanya "Apa cita-citanya bila sudah besar nanti?".  akan dijawab dengan profesi yang keren - keren, ada yang ingin menjadi dokter, pilot, tentara, guru dan lainnya bahkan ada yang menjawab ingin menjadi presiden. Profesi yang selalu mereka lihat dan dengar baik dari orang tua maupun lingkungan sekitar mereka berkembang. 

Sangat jarang atau mungkin hampir kita tidak dengar ada seorang anak yang bercita-cita ingin menjadi seorang petani.  Ya, cita - cita  itu sekedar ocehan dan mimpi seorang anak, di mana saat dia bertumbuh semua bisa berubah seiring waktu berjalan. Namun, pada kenyataannya seperti itulah yang terjadi. Bahkan banyak orang tua berharap anaknya tidak menjadi seorang petani karena takut nanti hidupnya akan susah.

Tani tidak pernah menjadi pilihan sebagai pekerjaan utama bahkan untuk seorang anak yang dilahirkan di lingkungan keluarga petani. Tani adalah pilihan akhir ketika impiannya tidak tercapai, dianggap tidak menjanjikan masa depan bahkan bekerja di pabrik dengan gaji UMR dianggap lebih menjanjikan dan aman.

Persepsi tani sebagai pekerjaan strata terendah dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia telah terbentuk dari jaman dulu. Hal ini sebagai akibat dari kebijakan kolonialisme yang menerapkan praktik ekonomi monopoli (sebagai agenda mengeruk modal dan sumber daya tanah jajahan). Para petani menjadi bagian kelompok ekonomi yang termarjinalkan serta paling lemah dalam struktur sosial masyarakat Hindia Belanda di abad 19 dan dasawarsa awal abad 20 (Misbahus Surur, Beritagar.id,25/08/2018).

Anggapan rendahnya strata sosial seorang petani sehingga menjadi kurang bergengsi di mata masyarakat menjadi salah satu faktor penyebab turunnya minat anak muda bekerja di sektor pertanian. Faktor lainnya yang menyebabkan minat menjadi petani di kalangan pemuda rendah,  dikarenakan bekerja di sektor pertanian memiliki resiko tinggi, kurang memberikan jaminan tingkat, stabilitas, dan kontinyuitas pendapatan, rata-rata penguasaan lahan sempit, diversifikasi usaha nonpertanian dan industri pertanian di desa kurang/tidak berkembang, suksesi pengelolaan usaha tani rendah, belum ada kebijakan insentif khusus untuk petani muda/pemula, dan berubahnya cara pandang pemuda di era postmodern seperti sekarang (Susilowati, 2016).

Presiden Jokowi telah menggagas pengembangan food estate atau lumbung pangan nasional dalam tinjauan kerjanya di Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 9 Juli 2020 (Republika,10/07/2020). Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga ketahanan pangan yang berimplikasi pada ketahanan nasional secara keseluruhan. Seperti yang disampaikan presiden bahwa pertahanan bukan sekadar memenuhi cadangan minimum alat utama sistem pertahanan (alutsista) negara tetapi juga ketahanan di bidang pangan menjadi salah satu bagian dari itu (Kompas.com, 14/07/2020).

Untuk mendukung gagasan tersebut penting kiranya menumbuhkan kembali semangat bertani bagi masyarakat Indonesia seperti dulu, dimana pertanian menjadi sektor utama untuk membangun kekuatan suatu bangsa. Kita ambil contoh saja kerajaan – kerajaan besar yang ada di nusantara seperti Mataram Kuno maupun Majapahit dibangun sebagai negara agraris yang masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. Mereka hidup dari hasil bumi seperti yang digambarkan dalam relief-relief candi.

Di jaman modern seperti sekarang sekarang ini ketika setiap negara membangun industri dan teknologi maju pertanian tetap menjadi tumpuan. Kita semua dapat melihat China yang telah bertransformasi sebagai sebuah negara industri modern dan maju tapi tidak pernah meninggalkan sektor pertaniannya. Hasil-hasil pertanian mereka mampu  masuk ke los-los pasar tradisional dan rak-rak pasar modern kita. 

Negara lain yang bisa menjadi contoh adalah negara yang terdekat dengan kita yaitu Vietnam yang setelah perang ekonominya luluh lantak, namun mereka mampu membangun kembali negaranya dan semua itu dimulai dari sektor pertanian. 

Menurut World’s Top Export tahun 2019 Vietnam menjadi negara keempat pengekspor beras terbesar di dunia dengan total $1.4 billion atau 6.6% dari total ekspor dunia. Indonesia ada di ranking 72 dengan nilai ekspor hanya $858,000. (worldstopexports.com,03/07/2020)

Petani sedang menyemprot di lahan pertanian (kilaskementerian.kompas.com)
Petani sedang menyemprot di lahan pertanian (kilaskementerian.kompas.com)

Apakah menjadi petani bisa kaya? Pertanyaan yang sama akan ditanyakan saat kita memilih suatu profesi baik itu jadi PNS, pegawai swasta ataupun profesi lainnya. Di jaman materialisme saat ini pertanyaan tersebut menjadi wajar dan normal. Apalagi dengan tingkat kemajuan ekonomi dunia yang semakin mengikat kehidupan masyarakat.  

Kita kembali pertanyaan awal apakah seorang petani bisa kaya dan sukses seperti profesi lainnya, jawabannya semua profesi itu memberikan ruang untuk semua orang menjadi  sukses. 

Banyak contoh dari mereka seperti Bob Sadino atau Andi Octa Susila anak muda yang menekuni pertanian hingga usahanya bisa beromset 500 juta perbulan. Mereka adalah contoh dari segelintir orang yang telah merasakan sukses sebagai petani, masih banyak petani yang masih hidup dalam kemiskinan.

Banyak aspek yang menyebabkan petani kita masih terbelenggu dalam jurang kemiskinan dan seakan sulit keluar dari sana. Menurut Hasanudin et al, berdasarkan hasil penelitiannya, didapat bahwa kemiskinan petani disebabkan oleh lahan pertanian yang sempit, keterbatasan modal, sumber daya petani yang rendah, pola hidup yang bersifat konsumtif dan kelemahan dalam struktur pasar (Hasanuddin et al., 2009)

Ketidakmampuan dalam mengakses modal kerja menyebabkan ketergantungan pembiayaan dari pemilik modal/tengkulak baik itu untuk biaya produksi maupun kebutuhan lainnya yang pada akhirnya menyebabkan petani tidak punya daya tawar yang tinggi. 

Pada saat panen harga tidak sesuai dengan harapan petani karena telah dikontrol oleh segelintir pemilik modal/tengkulak sehingga sulit bagi petani untuk menyisihkan penghasilan bagi pengembangan modal dan tabungan. Faktor pendidikan petani yang masih rendah memberikan pengaruh yang besar mengapa semua hal tersebut terjadi.

Namun kita pun harus menyadari dunia berubah begitu cepat, mengikuti teori Maltus dimana populasi manusia di dunia bertambah dengan cepat memaksa tiap negara untuk berpikir dan bekerja keras memenuhi  kebutuhan bahan pangan penduduknya. Sumber daya hayati yang ada dikeruk semaksimal mungkin nyaris tanpa batas. 

Pertanian menjadi bagian penting untuk menghasilkan stok pangan penduduk dunia, artinya tani merupakan profesi yang menjanjikan dan dapat memberikan jaminan masa depan yang lebih baik. Tani bukanlah lagi profesi kelas bawah lagi tapi profesi yang memberikan masa depan dan penghasilan yang menjanjikan.

Hal yang paling penting dilakukan adalah merubah persepsi masyarakat luas tentang tani khususnya generasi muda, bagaimana memberi gambaran bahwa profesi petani memberikan peluang sangat baik di masa akan datang. Persepsi yang baik akan memberi efek berganda (multiplier effect) bagi sektor pertanian itu sendiri. 

Persepsi bahwa sektor pertanian tidak sekedar bermain dengan lumpur dan tanah, pupuk dan pestisida tapi lebih dari itu. Pertanian sesuatu yang sangat menarik dan menjanjikan apabila dikelola dengan baik, penuh ketekunan dan sungguh-sungguh. 

Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengembangan agroindustri, adanya inovasi teknologi, pemberian insentif khusus kepada petani pemula, pengembangan pertanian modern dengan memanfaatkan teknologi baru, penguasaan pasar, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pemberdayaan petani muda, serta diperkenalkannya sektor pertanian kepada generasi muda sejak awal.

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dukungan dan peran pemerintah yang lebih optimal. Sosialisasi dan penyuluhan tidak sekedar pada petani tetapi bisa menyentuh lembaga-lembaga pendidikan dan komunitas masyarakat lainnya. 

Pemerintah dengan kekuasaan politik dan kemampuan keuangan harus mampu mengambil dan menyebarluaskan teknologi pertanian terbaru yang dapat mengefisienkan dan meningkatkan hasil baik secara kuantitas maupun kualitas. 

Sudah saatnya kita meninggalkan cara-cara lama dalam bertani yang kurang efisien, memakan waktu dan tenaga. Di sinilah peran pemerintah di harapkan karena ketidak mampuan petani dalam menyediakan sarana pendukung tersebut.

Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah fokus pada pertanian dengan mempeluas lahan pertanian baru di luar Jawa seperti pengembangan food estate di Kalimantan Tengah. 

Negara kita memiliki luas daratan 1.913.578,68 km2 dengan 17.504 pulau dan semua itu potensi lahan pertanian yang cukup besar. Jumlah penduduk yang mencapai 270 juta orang merupakan potensi SDM yang sangat besar belum lagi bonus demografi yaitu banyaknya jumlah tenaga kerja yang berusia muda. Mari belajar dari masa lalu hari ini dan masa depan pertanian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun