Judul Buku: Politik Kesetaraan; Dimensi-Dimensi Kebebasan Beragama
 Atau Berkeyakinan (terj.)
Judul Asli: Freedom of Religion or Belief; Thematic Reports of the UN
 Special Rapporteur 2010-2016
Penulis: Heiner Bielefeldt
Penerjemah: Trisno Sutanto
Penyunting: Muhammad Hafiz dan Ahmad Baiquni
Penerbit: PT Mizan Pustaka, Bandung
Tahun Terbit: Cet. I, 2019
Tebal Buku: 360 halaman
ISBN: 978-602-441-121-3
Harga Buku: Rp99.000,-
Selama tahun 2010 hingga 2016, Heiner Bielefeldt berperan sebagai United Nations Special Rapporteur untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan. Heiner menemukan banyaknya pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), padahal hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional. Terlebih lagi, negara-negara di dunia sudah berkomitmen untuk menghargai, melindungi, dan mempromosikan hak KBB.
Aktor dalam pelanggaran hak KBB bisa berbentuk negara dan non-negara. Negara sebagai penyelenggara utama segala sendi kehidupan masyarakat sering abai pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak KBB tiap warga, sehingga pelanggaran hak KBB bisa bersifat laten. Ada pula negara yang justru secara terang-terangan menerbitkan sekaligus mempraktikkan aturan yang hanya menguntungkan satu agama atau keyakinan saja. Kelalaian negara dalam melindungi hak KBB warga kerap memunculkan aktor non-negara yang justru lebih beringas melakukan pelanggaran terhadap hak tersebut.
Heiner membagi buku ini ke dalam 12 pembahasan tematik yang membuka selubung pelanggaran hak KBB dalam pelbagai bentuknya. Heiner juga mengajukan rekomendasi pembenahan strategis dan praktis untuk tiap pemangku kepentingan, baik yang merepresentasikan negara, yaitu pemerintah, maupun non-negara, yaitu tokoh keagamaan atau keyakinan, serta masyarakat internasional.
Pelanggaran terhadap hak KBB bisa terjadi di sekolah, tempat kerja, dan ruang-ruang interaksi sesama warga negara lainnya. Maka, tindakan pertama yang harus dilakukan oleh negara adalah mengakui eksistensi tiap agama atau keyakinan yang hidup dan berkembang di wilayah mereka. Bentuk pengakuan negara harus mewujud dalam kemudahan prosedur pendataan dan legislasi yang dilakukan oleh tiap kelompok keagamaan dan keyakinan (45-62).
Pelanggaran terhadap hak KBB yang salah satunya mewujud dalam kebencian kolektif antar penganut agama atau keyakinan tidak terjadi secara alamiah. Alih-alih dari itu, manifestasi kebencian kolektif terjadi karena tindakan aktif manusia dalam menjalankannya dan membiarkan kebencian itu berjalan di lingkungannya. Kebencian kolektif juga makin diperparah dengan kondisi korupsi di tubuh pemerintahan, otoritarianisme politik dan politik identitas yang sempit (hal: 151-155).
Penciptaan diskursus publik terkait segala aspek dalam agama bukanlah pekerjaan mudah. Diskursus tentang agama memang memungkinkan terjadi proses saling mengerti yang bermuara pada sikap saling menghormati. Hanya saja, tidak menutup kemungkinan bergeraknya aktor yang memanfaatkan diskursus publik sebagai alat untuk menghina suatu agama atau keyakinan.
Tindakan negara dalam mengatasi kasus penghinaan terhadap suatu agama atau keyakinan seharusnya bukanlah dengan pembatasan melalui penerapan undang-undang tentang penodaan agama. Justru undang-undang tersebut sejatinya tidak bisa membedakan antara sikap kritis atau tindakan menghina yang dilakukan individu terhadap suatu agama atau keyakinan (292-294).
Jaminan untuk hidup berdampingan antar sesama penganut keagamaan atau keyakinan bahkan dengan individu yang tidak menganut agama atau keyakinan tertentu (Heiner mengkategorikan sebagai penganut keyakinan non-religius) tidak akan ada jika stereotip dan stigmatisasi masih berkembang di masyarakat.
 Faktor elementer yang memungkinkan penghapusan stigmatisasi dan stereotip terkait keagamaan atau keyakinan adalah sekolah.
Pengajaran agama bertujuan agar manusia dapat memahami tradisi keagamaannya, seperti doktrin teologis dan aturan moralnya.Â
Sedangkan informasi mengenai agama dan keyakinan bertujuan untuk memperluas cakrawala pengetahuan manusia terhadap keragaman yang ada di lingkungannya.Â
Maka, usul Heiner, pengajaran agama dan informasi mengenai agama harus diajarkan dalam pelajaran yang berbeda. Hal itu untuk menghindari bias dan menjaga netralitas dengan harapan terciptanya penghapusan stereotip dan stigmatisasi melalui institusi sekolah (hal:5-9).
Melalui rekomendasi dalam laporan-laporannya, Heiner memerlihatkan atmosfer yang memungkinkan bagi terciptanya pernghormatan terhadap hak KBB. Agama atau keyakinan yang berkembang di dalam tubuh masyarakat sejatinya bisa menjadi faktor pendorong bagi kerjasama antar warga negara, bahkan lebih jauh mampu menjadi modal sosial dalam pembangunan di suatu negara.
Heiner melalui buku ini ingin menegaskan bahwa pemenuhan hak KBB adalah tanggungjawab negara melalui penciptaan sistem dan kultur politik yang melestarikan kehidupan tiap agama atau keyakinan. Negara bertanggungjawab mengeluarkan aturan non-diskriminatif, membangun kurikulum pendidikan inklusif, hingga mengupayakan diskursus publik yang memberi kesempatan bagi tiap penganut agama atau keyakinan berbincang secara sehat. Sehingga eksistensi hak KBB tak lagi sekadar pengakuan, namun telah menjadi salah satu langkah mewujudkan penghargaan terhadap hak asasi manusia.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H