Beberapa tahun terakhir, Pemerintah gencar mengimplementasikan kebijakan reforma agraria serta redistribusi tanah. Di masa Presiden Jokowi, kebijakan ini diwujudkan melalui pembagian sertifikat tanah gratis. Hingga akhir masa pemerintahannya, Joko Widodo diperkirakan berhasil membagikan sekitar 120 juta sertifikat tanah untuk masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kerja keras Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai komando lapangan yang bersinergi dengan para stake holder lainnya.
Kebijakan lain yang ditempuh pemerintah dalam rangka penataan pertanahan dengan mengadopsi kebijakan Land Banking yang merupakan suatu konsep yang diterapkan untuk mengelola dan mengoptimalkan penggunaan aset tanah yang dimiliki oleh negara atau pihak swasta dengan fokus pada tanah yang tidak terpakai atau terbengkalai yang bertujuan mendukung pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, Bank Tanah menjadi instrumen penting dalam meningkatkan akses terhadap tanah yang layak untuk hunian, pertanian, dan kegiatan ekonomi lainnya. Di Indonesia kewenangan  ini diberikan secara khusus diberikan kepada Bank Tanah yang didirikan pada 29 April 2021.
Walaupun demikian masalah pertanahan di Indonesia seperti tak kunjung padam dan malah menyisakan banyak pekerjaan rumah yang memerlukan perhatian ekstra dari pemerintah. Salah satunya terkait konflik yang berakar dari tanah-tanah yang telah berakhir masa Hak Guna Usaha-nya. Seperti permasalahan yang terjadi di Desa Batulawang Kabupaten Cianjur. Adanya perbedaan pemahaman terkait pengelolaan tanah yang sebelumnya dikelola PT Maskapai Perkebunan Moelya (PT MPM) sebagai pemegang izin Hak Guna Usaha namun telah berakhir pada Tahun 2022. Diduga lokus konflik eks-HGU PT MPM seluas 99.534,94 hektar. Peristiwa yang sama terjadi di Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso. Masyarakat memiliki versi tersendiri seiring dengan berakhirnya izin Hak Guna Usaha PT Sandabi Indah Lestari (PT SIL) atas pengelolaan 7.740 ha tanah yang berada di lima desa pada Kecamatan Lore Timur dan Kecamatan Lore Peore. Ironisnya, pada kedua peristiwa tersebut kehadiran Bank Tanah menjadi sorotan.
Pemahaman masyarakat atas kehadiran Bank Tanah pada umumnya sama. "Ketika tanah itu sudah diklaim sebagai aset Bank Tanah berarti masyarakat ini sudah tidak punya hak lagi untuk mengklaim bahwa itu tanah mereka milik mereka," ujar Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kepada BBC News Indonesia pada Bulan Februari 2023 lalu saat bersama 10 organisasi petani dan lingkungan hidup melayangkan gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah yang dianggap melanggar hukum dan mengancam penghidupan petani di Indonesia. Pernyataan Benni menegaskan bahwa ada rasa ketidak percayaan serta pandangan negatif atas kewenangan Bank Tanah mengingat sejarah konflik agraria dan sengketa tanah selalu terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang melibatkan masyarakat dan pemerintah.
Perlu diketahui, lahirnya Bank Tanah bukan terjadi secara kebetulan atau karena dorongan kekuatan politik. Justru Bank Tanah yang dibentuk dibawah Kementerian ATR/BPN wujud implementasi dari beberapa peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan sistem pengelolaan tanah yang lebih baik. Beberapa dasar hukum dan peraturan yang mendasari pembentukan dan keberadaan Bank Tanah antara lain:
1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960
UUPA mengatur tentang penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia. Salah satu tujuan utama dari UUPA adalah untuk menciptakan distribusi tanah yang lebih merata, menghindari adanya penumpukan kepemilikan tanah oleh segelintir orang, dan memastikan bahwa tanah dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Bank Tanah dapat dilihat sebagai implementasi dari semangat UUPA untuk mengelola dan mendistribusikan tanah secara lebih adil.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Cipta Kerja, yang disahkan pada tahun 2020, mencantumkan ketentuan mengenai Bank Tanah dalam upaya mempercepat penyelesaian masalah agraria dan menyediakan tanah untuk pembangunan. Pasal-pasal dalam Undang-Undang ini mengatur tentang penataan aset tanah yang tidak produktif, termasuk tanah terlantar, agar dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Keberadaan Bank Tanah menjadi salah satu instrumen untuk mendukung tujuan tersebut.
3. Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Sengketa Tanah