"Masak kita yang ngalah terus sih bang...." Pernah suatu kali Sandra kesal kepada Binsar karena untuk kesekian kalinya mereka berjalan kaki dengan harus berbelok arah.
Pemandangan trotoar dipergunakan sebagai tempat berjualan bukan hal baru di kota-kota besar. Pada umumnya para pedagang beralasan tidak memiliki lahan untuk berjualan. Walau sebenarnya, pemerintah daerah pasti telah menyediakan fasilitas yang tersentralisasi untuk tempat berjualan.
Tentu saja hal ini berbanding terbalik dengan fungsi trotoar itu sendiri, yaitu sebagai sarana yang berfungsi pelayanan bagi para pejalan kaki sehingga memperoleh keamanan dan kenyamanan serta mewujudkan kelancaran lalu lintas di jalan raya karena tidak terganggu oleh para pejalan kaki.
Bukan hanya dipergunakan sebagai tempat berjualan, trotoar juga menjadi tempat 'penginapan' gerobak-gerobak jualan tersebut. Esok harinya, si pemilik gerobak akan kembali datang dan berjualan disitu. Jadi selama 24 jam si gerobak mondok disitu.
Selain itu, para pedagang 'mendandani' lapak jualannnya dengan terpal atau spanduk bekas sehingga terkesan lebih luas. Ditambah meja kecil dan beberapa kursi. Akibatnya, luas lapak bertambah dan masuk area jalan raya disekitarnya. Penambahan tersebut bukan hanya mengganggu fungsi trotoar tetapi fungsi jalan raya turut terganggu. Semakin membuat kita kesal dan geram karena terkadang harus ngalah karena terhalang gerobak.
Namun sebelum kegeraman dan kekesalan kita naik ke level dewa, perlu kita memahami peraturan perundang-undangan yang berkaitan pengaturan tentang trotoar atau lajur pejalan kaki ini. Salah satunya adalah Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Kehadiran Permen tersebut pada 2014 yang lalu untuk mewujudkan jaringan pejalan kaki di kawasan perkotaan yang aman, nyaman, dan manusiawi sehingga mendorong masyarakat untuk berjalan kaki. Pejalan kaki mendapat fasilitas sarana dan prasarana yang menjamin keselamatan dan kenyamanan pergerakannya dari satu tempat ke tempat lain. Salah satunya adalah trotoar yang merupakan jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan sumbu jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keselamatan pejalan kaki.
Lalu bagaimana dengan kegiatan berjualan di atas trotoar atau jalur pejalan kaki?
Ternyata Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 03/PRT/M/2014 memperkenankan pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki untuk kegiatan usaha kecil formal (KUKF) dan tempat makan caf atau restoran. Selain itu pemanfaatannya juga diperbolehkan untuk bersepeda, interaksi sosia, pameran, penyediaan jalur hijau (peneduh), dan penyediaan sarana pejalan kaki (perabot jalan) dan jaringan utilitas (tiang listrik, gardu, kabel, dll)
Namun pemanfaatan jalur pejalan kaki untuk kegiatan berjualan dalam hal ini kegiatan usaha kecil formal (KUKF) dan tempat makan caf atau restoran, dengan memperhatikan beberapa ketentuan yaitu:
- Jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 -- 2,5 meter;
- Jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 meter. Area berjualan memiliki lebar maksimal 3 meter, atau memiliki perbandingan antara lebar jalur pejalan kaki dan lebar area berdagang 1:1,5.
- Terdapat organisasi/lembaga yang mengelola keberadaan KUKF.
- Pembagian waktu penggunaan jalur pejalan kaki untuk jenis KUKF tertentu, diperkenankan di luar waktu aktif gedung/bangunan di depannya.
- Dapat menggunakan lahan privat.
- Tidak berada di sisi jalan arteri baik primer maupun sekunder dan kolektor primer dan/atau tidak berada di sisi ruas jalan dengan kecepatan kendaraan tinggi.
Apabila menemukan gerobak jualan atau lapak-lapak berjualan diatas trotoar yang tidak memenuhi ketentuan mutlak diatas maka pastinya pedagang-pedagang tersebut dapat dikatakan telah mengebiri hak pejalan kaki untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalam berjalan kaki.