Mohon tunggu...
Dennis Baktian Lahagu
Dennis Baktian Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Penghuni Bumi ber-KTP

Generasi X, penikmat syair-syair Khairil Anwar, fans dari AC Milan, penyuka permainan basketball.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Komunisme yang Atheis, Ada Kisah Aidit dan Amir

1 Oktober 2022   11:56 Diperbarui: 30 September 2023   14:52 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Achmad Aidit lahir sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan Abdullah Aidit dan Nyi Ayu Mailan pada 30 Juli 1923 di Pangkal Lalang, sebuah desa yang terletak di Pulau Belitung. Abdullah bekerja sebagai Mantri Kehutanan, pekerjaan yang cukup dihormati saat itu di Belitung. Ibunya berasal dari kalangan ningrat. Achmad tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang lekat dengan pendidikan Islam. Dia bersama adik-adiknya mendapat pengajaran ngaji dari Abdurachim, seorang guru ngaji. Bahkan Achmad Aidit dikenal orang-orang disepanjang jalan rumahnya sebagai tukang azan.

Di Belitung, terdapat pertambangan timah bernama Billiton Maatschappij yang didirikan John Loudon dan rekan-rekannya tahun 1860 setelah setahun sebelumnya mendapat konsesi atau izin pengelolan penambangan selama 40 tahun dari Pemerintah Hindia Belanda. Sejak 1924, perusahaan tersebut kemudian berganti nama menjadi NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton dimana lima-per-delapan sahamnya dimiliki Pemerintah Hindia Belanda. Penambangan timah di Bangka dan Belitung saat itu banyak yang mengimpor pekerja dari daratan Cina, yang mayoritas berasal dari Hongkong, Guangzhou, Xiamen dan Shantou.

Perusahaan tambang timah tersebut hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari tempat kediaman Achmad Aidit. Jarak yang tidak bisa mengelakkan Achmad bergaul dengan para buruh tambang saat mulai remaja. Realitas kehidupan keseharian buruh yang berlumpur, hidup susah dan disatu sisi Achmad melihat para pemilik tambang, meneer Belanda dan orang-orang Inggris, hidup dalam keberlimpahan, suka hura-hura dan glamour di masa itu. Sebagai seorang pribumi dengan pendidikan moral dan agama yang kuat, Achmad seolah melihat ada sesuatu yang salah dalam perbedaan fakta tersebut. Pertautan Achmad Aidit dengan kehidupan buruh tambang timah di Belitung, cukup banyak memberi pengaruh dalam pandangan politiknya dikemudian hari.

Berkat bakat kepemimpinan dan idealismenya serta pergaulannya yang luas, Achmad bertemu dengan Amir Syarifuddin dan bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang dipimpin Amir. Pada masa itu, seolah mendapat penglihatan masa depan, Achmad mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan DN. Aidit.

Dalam berbagai literatur sejarah, Amir Syariffudin Harahap, demikian nama lengkapnya, lahir di Medan 27 April 1907 dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim yang taat. Amir sempat menempuh pendidikan tinggi di Leiden namun tidak menamatkannya. Amir kembali ke Indonesia tahun 1927 dan baru menamatkan studi di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta)

Berbeda dengan Aidit, perkenalannya dengan ideologi kiri membuat Amir pindah keyakinan, walaupun sebenarnya pemahamannya mengenai ajaran Kristen terjadi jauh hari sebelumnya, saat di Leiden dan tinggal dirumah Dirk Smink, seorang guru agama Kristen beraliran Calvinis, dan pengalaman itu turut berpengaruh dalam proses tersebut. Amir menjadi seorang kristen yang taat dan berjiwa revolusioner, ciri para pengagum Soekarno pada zamannya. Dalam pandangan Amir, komunisme dan kristen dapat berjalan beriringan karena sama-sama membicarakan kemanusiaan.

Menurut sejarawan Andi Achdian sebagaimana dimuat laman cnnindonesia.com, pemahaman komunisme pada masa itu bukan merupakan antitesis terhadap agama sebagaimana yang berkembang belakangan ini. "Kalau dalam konteks masyarakat saat itu, dia [komunisme] menjadi sebuah jawaban. Orang mencari jawaban terhadap situasi pada masa kolonial yang bisa keluar dari masalah dan jawabannya saat itu, ya, PKI, komunisme, yang paling di depan katakanlah dalam menyuarakan antikolonialisme dan antiimperialisme."

Perpaduan antara agama dan komunisme seperti melihat pertautan dunia yang berbeda namun dapat berjalan seiring saat itu. Tujuan melawan kolonialisme seakan mempererat pertautan tersebut. Tetapi ada satu hal yang membuat semuanya berubah, yaitu inti ajar dari komunisme itu sendiri yang berkaitan dengan filosofi, politik, ekonomi dan sosial.

Merujuk encyclopedia britannica, komunisme adalah a political and economic system that seeks to create a classless society in which the major means of production, such as mines and factories, are owned and controlled by the public. There is no government or private property or currency, and the wealth is divided among citizens equally or according to individual need.  Hal yang tidak jauh berbeda juga ditulis oleh Fadhilah Rachmawati dalam jurnal Kritik terhadap Konsep Ideologi Komunisme Karl Marx (2020), komunisme adalah paham atau ideologi yang mengacu pada sistem sosial ekonomi, didasarkan pada kepemilikan komunal (bersama) serta produksi barang, baik di lingkup pemerintahan atau kehidupan.

Filosofi inilah yang kemudian diterjemahkan oleh banyak tokoh-tokoh PKI di Indonesia bahwa untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas atau kepemilikan komunal maka diperlukan kekuasaan sentral yang dapat mewujudkan utopia tersebut. Caranya dengan menggulingkan pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan pemerintah terpusat yang bersifat totaliter dan akan mengontrol perekonomian dalam negara komunis.

Lalu bagaimana komunisme memandang agama? Karl Marx dalam bukunya berjudul Critique of Hegel's Philosophy of Right menulis "Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness conditions. It is the opium of the people." Marx berpandangan bahwa agama itu bukan petunjuk tetapi tak lebih dari masalah dari manusia itu sendiri. Hanya keluh kesah dari mahkluk-mahkluk tertindas. Agama tidak memberi jalan keluar bahkan menjadi candu, kerangkeng dan jeratan bagi manusia.

Ajaran Marx mengenai agama menegaskan posisi komunisme sebagai ajaran atheisme, anti agama. Sudah barang tentu paham ini kemudian ditentang oleh banyak negara-negara yang memberi ruang dan pengakuan memeluk agama dan kepercayaan bagi masyarakatnya. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, ajaran komunisme dilarang. Sila pertama dari Pancasila sebagai ideologi, dasar negara dan pandangan hidup bangsa, "Ketuhanan Yang Maha Esa", menitahkan arti bahwa Indonesia merupakan negara yang memegang teguh kepercayaan kepada Tuhan  Yang Maha Esa dan melindungi penduduk dalam memeluk dan melaksanakan ajran agama dan kercayaannya masing-masing. 

Pasca G30S/PKI, hal ini lebih dijelaskan dalam TAP XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi PKI Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Tentang Aidit yang muslim dan Amir yang kristen, kita patut mencermati apa yang dikatakan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dan dimuat dalam majalah Gema Islam No. 32 Tahun II, 15 Mei 1963. Menurut Hamka, jika ada penganut komunis yang masih sholat atau sembahyang maka komunisnya belum baik dan matang. Bisa jadi mereka sholat agar citra mereka tidak dianggap atheis sehingga mendapat simpati orang. Jika ada orang Islam yang masuk komunis maka Islamnya juga belum baik dan matang. Lanjut Hamka, lebih baik dipertegas saja, mau jadi komunis sekalian atau Islam yang kaffah. 

Dalam penjelasannya, Hamka menyebut bahwa komunisme itu atheis. Dia mengutip pernyataan Chou En-lai (PM RRC) saat menghadiri suatu konferensi di Bandung, yang mengatakan "Kami orang Komunis adalah orang-orang Atheis."

Hamka juga mengajak untuk melihat praktik-praktik penindasan agama di negara-negara komunis. Secara blak-blakan, Taufik Ismail malah pernah menulis dalam bukunya berjudul "Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia" sebuah kalimat deskripsi "Partai Marxis-Leninis-Stalinis-Maois (Partai Komunis) Sedunia Selama 74 tahun (1917-1991) membantai 120 juta manusia di 76 negara. Sehingga rata-rata 1.621.621 orang setahun, 135.135 orang sebulan, 4.504 orang perhari, 187,6 orang perjam, 3 orang permenit, 20 detik perorang. Selama 74 tahun di 76 negara."

Pada akhirnya, kita sudah mengetahui bagaimana kehidupan kedua pentolan PKI, Amir dan Aidit mengalami nasib yang tragis, meregang nyawa diujung bedil. Pemberontakan Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965, menjadi titik nadir perjalanan hidup keduanya. Pancasila membuktikan kesaktiannya yang meniadakan ruang bagi komunisme di Negara kita tercinta. Kesaktian Pancasila tidak pernah diragukan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun