Sampai sekarang walaupun si Irma sudah pakai kerudungan, sholat tetap rajin 5 waktu tetapi yang namanya Natal tetap dia mengucapkan, "Butet selamat Natal, damai di bumi damai di surga!"
"Butet, kita bersahabat puluhan tahun. Mengucapkan dulu dan sekarang sama saja.Dengan saya mengucapkan Natal'kan bukan berarti saya jadi murtad, menurutku itu pikiran orang picik ya. Sama saja ketika orang Hindu merayakan Nyepi dan kita ucapkan, apakah itu artinya kita jadi Hindu?"
Kembali bercerita toleransi beragama. 4 tahun yang lalu di tempat kerja ( saya bekerja di bidang jasa) dimana setiap hari raya beragama kami semua karyawan memakai atribut hari raya. Saat imlek pakai baju China, saat Lebaran pakai kerudungan dan Natal pakai topi Natal.
Saya yang berwajah Timur dan seringkali disangka Aceh Arab sangatlah cocok ketika memakai kerudungan saat bulan puasa. Apakah saya nyaman dengan atribut tersebut? sangatlah nyaman dan terselip rasa bangga ketika orang memuji saya ( umumnya yang memuji mereka tidak tahu jalau saya Batak Nasrani ), "Cocok jilbabnya dengan wajahnya", amin....
Saya ingat sekitar 4 tahun yang lalu ketika di angkot saya bertemu dengan seorang ibu berkerudung, sudah tua, usianya 70-an. Beliau bekerja jualan kue di SD negeri. Beliau janda,tanpa anak yang tinggal sebatang kara. Penghasilan bersih sehari paling banyak 30 ribu, itu kalau lagi ramai. Dan kalau lagi fit seminggu jualan 6 hari. Ya kalau di hitung sebulan tidak sampai 900 ribu penghasilannya. Menjelang turun saya memberikan sedikit uang. Saya tidak mau memberikan disaat kami sedang bincang-bincang karena tentunya tidak baik ya sama saja menunggu pujian alias menjadi riya apa yang telah kita beri  ketika memberi. Ibu tersebut kaget, saat saya turun, saya hanya sempat mendengar, Alhamdullilah, makasih neng!"
Bagi saya alhamdullilah adalah ucapan syukur. Saya tidak tahu ya apakah saat beliau sholat tahajud juga mendoakan saya. Karena berselang 2 minggu setelah saya memberi sedikit rejeki saya mendapat rejeki 10x lebih dari apa yang saya berikan pada si ibu. Saya terharu...
Begitupun ketika terjadi Tsunami Acehtepat di tanggal 26 Desember. Saya terharu ketika saat ibadah jemaat diminta untuk membantu saudara-saudara yang tertimpa musibah. Bentuk bantuan boleh apa saja sembako, pakaian maupun uang. Banyak jemaat yang terbeban membantu dalam bentuk uang untuk disalurkan ke Tsunami Aceh. Apakah kami melihat latar belakang agama ketika membantu? yang notabene muslim di Aceh tentulah tidak.
Seperti ada tertulis Kasihilah Sesamamu Manusia, firmanNya jelas sekali dan sesama itu tanpa ada sekat agama dan suku
Namun, saat ini kondisi kehidupan beragama di Indonesia tidaklah seindah ketika saya masih kecil. Rumah ibadah zaman dulu gampang sekali di bangun. Sekarang sangat sulit bahkan lebih gampang dapat izin membangun cafe / bar dibanding rumah ibadah. Tidak sedikit gereja yang dibakar.