Indonesia telah menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia sejak tahun 2006. Kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai produk seperti biofuel diesel, bahan kosmetik, bahan makanan, dan bahan sabun. Hal ini kemudian berdampak kepada meningkatnya permintaan kelapa sawit di pasar internasional. Pada akhirnya industri kelapa sawit berkembang dengan sangat cepat bersama dengan melonjaknya kebutuhan masyarakat. Sebagai produsen kelapa sawit terbesar, maka Indonesia menguasai ekspor kelapa sawit yang ada di pasar internasional. Salah satu tujuan ekspor sawit Indonesia adalah Uni Eropa. Tercatat ada kenaikan jumlah ekspor kelapa sawit ke Uni Eropa setiap tahunnya.
Penggunaan CPO (crude palm oil) sebagai bioenergy semakin meningkat di wilayah Uni Eropa yang dipakai untuk berbagai industri dalam bentuk energi alternatif. CPO yang berbahan dasar kelapa sawit hanya dapat tumbuh di negara tropis sehingga Uni Eropa menjadi ketergantungan impor sawit kepada Indonesia. Akan tetapi, sejak diberlakukannya EU Directive tentang ketentuan emisi rumah kaca, produk minyak sawit Indonesia khususnya CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah akan semakin sulit memasuki kawasan Uni Eropa.Â
Dikarenakan adanya isu bahwa minyak sawit dapat mengakibatkan emisi karbon yang lebih banyak dibanding jenis minyak lain seperti minyak biji bunga matahari, sehingga dapat memperburuk efek rumah kaca yang saat ini telah terjadi di dunia. Permasalahan ini juga dikaitkan dengan deforestasi hutan, hilangnya biodiversitas satwa dan fauna, juga kebakaran hutan yang berujung pada emisi gas.
Dengan adanya misi untuk menyelamatkan lingkungan, pada tahun 2008, Uni Eropa akhirnya mengeluarkan kebijakan RED (Renewable Energy Directive) yang mengatur bahan bakar terbarukan berbasis organik. RED juga berisi aturan ketat yang mengatur tentang pengolahan energi terbarukan, yang dimana pengolahan bahan tersebut tidak boleh merusak lingkungan serta dapat menjamin kesejahteraan petani. Adapun dampak dari regulasi ini bagi Indonesia, yaitu adanya peningkatan tarif anti-dumping, dan Indonesia harus melewati seleksi ketat agar kelapa sawit bisa masuk ke kawasan Uni Eropa. Pembukaan lahan untuk kelapa sawit yang ada di Indonesia juga harus mempertimbangkan hutan lindung serta keberlangsungan hidup satwa liar dan upah yang diterima petani kecil harus sebanding dengan tingginya nilai dari kelapa sawit di pasar internasional.
Melihat situasi tersebut, Pemerintah menetapkan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai respon dari keseriusan Indonesia. Kebijakan tersebut dibentuk pada tahun 2009, dan diharapkan dapat menjawab segala macam persyaratan yang diberikan Uni Eropa, sehingga Indonesia tidak kehilangan salah satu tujuan ekspor terbesarnya. Kebijakan ini juga memiliki tujuan untuk mengatur perkebunan kelapa sawit di Indonesia agar lebih ramah untuk lingkungan sekitar sehingga seluruh produsen kelapa sawit di Indonesia diharapkan dapat memperoleh sertifikasi ISPO.
Kemudian dikarenakan Uni Eropa tidak puas dengan hal itu, maka Uni Eropa mengeluarkan kebijakan RED II pada tahun 2018 yang secara bertahap menghentikan ekspor kelapa sawit asal Indonesia, karena Indonesia dianggap tidak dapat memenuhi persyaratan di kebijakan versi pertama. Kelapa sawit asal Indonesia dituduh merusak lingkungan hutan dan mengganggu habitat satwa terlindungi akibat dari pembukaan lahan untuk menanam kelapa sawit.
RED II tentu sangat merugikan industri dan ekspor kelapa sawit Indonesia, jika kelapa sawit tidak bisa masuk ke kawasan Uni Eropa maka Indonesia akan kehilangan pasar terbesarnya serta berpengaruh terhadap pengurangan devisa yang dimiliki Indonesia. Harga kelapa sawit juga akan mengalami penurunan di pasar internasional sehingga berdampak kepada hilangnya minat konsumen terhadap komoditas ini dan bisa membuat petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan. Apabila hal ini terjadi, maka jutaan lapangan kerja yang ada di industri kelapa sawit akan hilang sehingga dapat meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Maka dengan banyaknya kerugian akibat dari kebijakan RED yang dikeluarkan Uni Eropa membuat Indonesia menggugat Uni Eropa ke WTO (World Trade Organization).
Dikutip dari laman Kompas.id, mulai Selasa (16/5/2023/) Undang-undang Uni Eropa soal deforestasi resmi diberlakukan. Dimana dengan pemberlakuan ini, seluruh komoditas andalan Indonesia ke Uni Eropa dilarang masuk ke 27 negara anggota organisasi itu jika tidak lolos uji tuntas deforestasi. Pelarangan ini terjadi dikarenakan perundingan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif atau CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa tidak kunjung selesai.
Undang-undang Uni Eropa soal deforestasi (EU Deforestation Regulation/EUDR) disahkan Parlemen Eropa pada bulan April 2023. Sebulan kemudian, UU tersebut resmi diberlakukan. Dalam EUDR, setiap eksportir produk yang disasar UU itu harus menyerahkan dokumen uji tuntas dan verifikasi, dan eksportir harus menjamin produk mereka tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan yang dilakukan mulai 1 Januari 2021 dan seterusnya. Bagi pelanggar bisa dikenai denda hingga empat persen dari pendapatan yang mereka peroleh di Uni Eropa.
Peran WTO Dalam Kasus Larangan Ekspor Sawit Indonesia ke Uni Eropa
Peran WTO Â (World Trade Organization) dalam kasus ini adalah sebagai mediator. Tindakan yang dilakukan oleh WTO, yaitu merencanakan resolusi penyelesaian sengketa yang menguntungkan kedua belah pihak. Dimana WTO mengeluarkan resolusi penyelesaian dengan mereduksi hambatan perdagangan yang muncul. Resolusi tersebut dikeluarkan setelah mempertimbangkan kedua pihak yang ingin melindungi pasar masing-masing. Indonesia sebagai negara pengekspor dan Uni Eropa sebagai negara importir dengan kebutuhan yang tinggi. Kemudian setelah keluarnya resolusi yang ditawarkan oleh WTO, sedikit dapat meredam Uni Eropa dalam kasus larangan ekspor sawit Indonesia ini. Karena apabila Uni Eropa tidak mematuhi tawaran resolusi yang diberikan oleh WTO, bisa mengakibatkan citra Uni Eropa menjadi buruk.