Mohon tunggu...
Dennisa Rizky Yudhistira
Dennisa Rizky Yudhistira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi di Universitas Komputer Indonesia

Saya adalah penggemar buku dan film. Saya menikmati berbagai genre, dari fiksi, horror hingga drama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sudut Pandang Baru dari Cerita Jaka Tarub, Bidadari yang Tinggal

10 Oktober 2024   02:40 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:50 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah kamu cerita Nawang Wulan yang selendangnya dicuri Jaka Tarub dalam cerita legenda mereka? Ketika Nawang Wulan pergi mencari selendangnya yang hilang entah kemana, orang-orang percaya bahwa para saudarinya pergi meninggalkannya dan kembali ke kahyangan sebelum akhirnya ia bertemu dengan Jaka Tarub dan jatuh cinta padanya hingga pada akhirnya Nawang Wulan tetap kembali ke kahyangan setelahnya.

Tapi apa benar hanya berakhir begitu saja?

Lantas, bagaimana jika kakak tertua dari 7 bidadari justru berkorban untuk membantu Nawang Wulan mencari selendangnya dan memutuskan untuk tetap tinggal di Bumi? 

Beginilah cerita Nawang Wangi, dengan perasaan bersalah dan tanggung jawabnya ia memutuskan tinggal di Bumi dan menjaga adik bungsunya dari rumitnya kehidupan di dunia manusia.

*****

Bulan bersinar cerah saat para bidadari turun dari kahyangan untuk mandi di telaga pada malam hari yang dingin itu. Angin semilir menerpa dedaunan saat Nawang Wangi, kakak tertua dari 7 bidadari, menapakkan kakinya di salah satu batu di pinggir telaga. Matanya menjadi cerah ketika ia menyadari betapa indahnya pemandangan telaga di malam hari.

“Kak, telaganya sangat indah. Untunglah aku ikut kesini untuk melihat ini semua,” ujar Nawang Wulan, si adik bungsu. 7 bidadari mandi di telaga tersebut dengan senang hati di bawah terang bulan. Suara tawa mereka itulah yang menarik perhatian Jaka Tarub hingga akhirnya ia mencuri salah satu selendang yang ditemukannya, milik Nawang Wulan.

Sesaat setelah mereka selesai mandi di telaga, Nawang Wulan panik saat menyadari selendangnya hilang. Nawang Wangi pun membantu Nawang Wulan untuk mencari selendang adiknya itu, tapi mereka tidak kunjung menemukannya. Bidadari lainnya bahkan ikut panik dan terbang kembali ke langit dengan selendang mereka. Nawang Wulan menangis saat melihat para kakaknya sudah kembali ke kahyangan dan meninggalkannya sendirian di dunia manusia.

Tapi yang tidak diketahui Nawang Wulan adalah fakta bahwa Nawang Wangi tetap tinggal di Bumi bahkan hingga ia bertemu dengan Jaka Tarub dan jatuh cinta padanya.

Sebagai kakak tertua, Nawang Wangi memutuskan untuk tetap tinggal dengan perasaan bersalah dan bertanggung jawab atas hilangnya selendang adik bungsunya, merasa bahwa ia tidak melindungi adiknya dengan baik. 

Setiap harinya, Nawang Wangi turun dari langit untuk mengawasi keseharian Nawang Wulan, memastikan bahwa hidupnya aman serta bahagia dan sekaligus ikut terus mencari keberadaan selendangnya yang hilang.

Setelah bertahun-tahun terus kembali ke dunia manusia, Nawang Wangi mulai merasa hatinya tidak tenang. Terutama ketika ia melihat betapa bahagianya Nawang Wulan bersama Jaka Tarub di dunia manusia. Ia ingin merasakan dan mengalami hal yang serupa.

Suatu hari saat berjalan-jalan, Nawang Wangi melihat seorang nenek tua duduk di atas batu di pinggir telaga. Wanita tua itu sedang memintal benang dari kapas dengan teliti. Entah kenapa hal itu menarik perhatian Nawang Wangi sebelum ia beranjak lebih dekat.

"Kamu sedang apa disini, Nak?" Nenek itu bertanya saat menyadari kehadiran Nawang Wangi walaupun tanpa mengangkat kepalanya dari pekerjaannya.

Nawang Wangi menjawab jujur, "Aku sedang merenung. Aku datang dari tempat yang jauh, dan aku harus membuat keputusan penting."

Nenek itu berhenti sejenak, mengangkat kepalanya dan menatap Nawang Wangi, seolah tahu bahwa ia bukan sekadar manusia biasa. “Kamu terlihat terbebani. Apa keputusan itu sangat berat bagimu?”

Nawang Wangi mengangguk, merasakan ketenangan yang aneh dalam kehadiran wanita tua ini. “Aku harus memutuskan apakah akan tinggal disini atau kembali ke tempatku berasal. Tapi.. semakin lama aku di sini, semakin sulit bagiku untuk pergi.”

Nenek tua itu tersenyum samar. “Sepertinya kamu sudah menyukai tempat ini ya.” Nenek tua meletakkan benang yang sedang dipintalnya dan menatap ke arah telaga. “Dulu, aku kehilangan suamiku. Kami hidup sederhana di desa ini. Dia seorang petani yang rajin, dan aku selalu mendampinginya bekerja bersama di sawah. Suatu hari, sebuah wabah melanda desa, dan suamiku jatuh sakit. Meski aku merawatnya siang dan malam, ia tidak bisa diselamatkan.”

Suara nenek tua menjadi lebih pelan, tatapannya lembut. “Kehilangan dia adalah hal terberat yang pernah kualami. Rasanya seperti tidak ada lagi alasan untuk terus hidup. Tapi, waktu berlalu. Aku menemukan kekuatan dalam hal-hal kecil dari suara burung di pagi hari, desiran angin hingga akhirnya aku menyadari bahwa meski aku kehilangan seseorang yang kucintai, kebahagiaan itu tetap bisa ditemukan.”

“Kebahagiaan, Nak, tidak datang dari apa yang kita miliki, tetapi bisa berasal dari tempat yang berbeda. Suamiku dulunya menjadi tombak alasan untukku ketika pertama kali bekerja di sawah, dan kemudian membuat aku menjadi semakin bahagia kedepannya..”

Nawang Wangi  terdiam, merenungkan kata-kata nenek tua itu. Selama ini, ia selalu menganggap kebahagiaan adalah sesuatu yang sempurna, sesuatu yang abadi. Atau seperti Nawang Wulan dan Jaka Tarub yang terlihat bahagia dengan keluarga kecil mereka. Namun, nenek ini mengajarkannya bahwa kebahagiaan juga bisa ditemukan dalam keterbatasan, dari manapun dan kapanpun.

“Dunia ini memang tidak sempurna,” lanjut nenek itu. “Tapi justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat hidup lebih bermakna. Setiap kehilangan membawa kita lebih dekat dengan pemahaman bahwa kita tidak harus memiliki segalanya untuk merasakan kebahagiaan.”

Nawang Wangi tersenyum tipis, hatinya terasa lebih ringan. Ia memandangi wajah nenek tua yang penuh keriput itu. “Kau benar. Mungkin aku terlalu lama terfokus pada apa yang benar atau salah, sampai lupa bahwa ada kebebasan dalam setiap pilihan yang kita buat.”

Nenek tua itu mengangguk lembut. “Hidup di dunia ini memang penuh tantangan, tapi di situlah kekuatannya. Kamu tak perlu takut membuat pilihan, Nak. Bahkan bidadari sepertimu pun berhak untuk menemukan kebahagiaan di sini.”

Nawang Wangi terdiam sesaat, menatap jauh ke arah sungai yang mengalir perlahan ketiika wanita tua ini berhasil menebak bahwa aku adalah bidadari. Diantara semua keraguan dan kebingungannya, Nawang Wangi menemukan keputusan yang ia cari. Dunia manusia mungkin penuh dengan keterbatasan, tetapi juga penuh dengan keindahan dan cinta dalam setiap detik yang dilalui dengan sadar dan penuh makna.

Ia tahu, pada akhirnya, ia akan tinggal. Bukan karena ia terpaksa, tetapi karena ia memilihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun