Setelah bertahun-tahun terus kembali ke dunia manusia, Nawang Wangi mulai merasa hatinya tidak tenang. Terutama ketika ia melihat betapa bahagianya Nawang Wulan bersama Jaka Tarub di dunia manusia. Ia ingin merasakan dan mengalami hal yang serupa.
Suatu hari saat berjalan-jalan, Nawang Wangi melihat seorang nenek tua duduk di atas batu di pinggir telaga. Wanita tua itu sedang memintal benang dari kapas dengan teliti. Entah kenapa hal itu menarik perhatian Nawang Wangi sebelum ia beranjak lebih dekat.
"Kamu sedang apa disini, Nak?" Nenek itu bertanya saat menyadari kehadiran Nawang Wangi walaupun tanpa mengangkat kepalanya dari pekerjaannya.
Nawang Wangi menjawab jujur, "Aku sedang merenung. Aku datang dari tempat yang jauh, dan aku harus membuat keputusan penting."
Nenek itu berhenti sejenak, mengangkat kepalanya dan menatap Nawang Wangi, seolah tahu bahwa ia bukan sekadar manusia biasa. “Kamu terlihat terbebani. Apa keputusan itu sangat berat bagimu?”
Nawang Wangi mengangguk, merasakan ketenangan yang aneh dalam kehadiran wanita tua ini. “Aku harus memutuskan apakah akan tinggal disini atau kembali ke tempatku berasal. Tapi.. semakin lama aku di sini, semakin sulit bagiku untuk pergi.”
Nenek tua itu tersenyum samar. “Sepertinya kamu sudah menyukai tempat ini ya.” Nenek tua meletakkan benang yang sedang dipintalnya dan menatap ke arah telaga. “Dulu, aku kehilangan suamiku. Kami hidup sederhana di desa ini. Dia seorang petani yang rajin, dan aku selalu mendampinginya bekerja bersama di sawah. Suatu hari, sebuah wabah melanda desa, dan suamiku jatuh sakit. Meski aku merawatnya siang dan malam, ia tidak bisa diselamatkan.”
Suara nenek tua menjadi lebih pelan, tatapannya lembut. “Kehilangan dia adalah hal terberat yang pernah kualami. Rasanya seperti tidak ada lagi alasan untuk terus hidup. Tapi, waktu berlalu. Aku menemukan kekuatan dalam hal-hal kecil dari suara burung di pagi hari, desiran angin hingga akhirnya aku menyadari bahwa meski aku kehilangan seseorang yang kucintai, kebahagiaan itu tetap bisa ditemukan.”
“Kebahagiaan, Nak, tidak datang dari apa yang kita miliki, tetapi bisa berasal dari tempat yang berbeda. Suamiku dulunya menjadi tombak alasan untukku ketika pertama kali bekerja di sawah, dan kemudian membuat aku menjadi semakin bahagia kedepannya..”
Nawang Wangi terdiam, merenungkan kata-kata nenek tua itu. Selama ini, ia selalu menganggap kebahagiaan adalah sesuatu yang sempurna, sesuatu yang abadi. Atau seperti Nawang Wulan dan Jaka Tarub yang terlihat bahagia dengan keluarga kecil mereka. Namun, nenek ini mengajarkannya bahwa kebahagiaan juga bisa ditemukan dalam keterbatasan, dari manapun dan kapanpun.
“Dunia ini memang tidak sempurna,” lanjut nenek itu. “Tapi justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat hidup lebih bermakna. Setiap kehilangan membawa kita lebih dekat dengan pemahaman bahwa kita tidak harus memiliki segalanya untuk merasakan kebahagiaan.”