Mohon tunggu...
Denni M Rajagukguk Raj
Denni M Rajagukguk Raj Mohon Tunggu... -

MEDAN

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagamanakah Hukum di Indonesia? Nenek Asyani vs Angelina Sondakh dan yang lainnya

14 Maret 2015   01:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin emosi ini ga bisa terpendam lagi melihat kondisi hukum di negara ini. Bukan maksud hati menjelekkan hukum yang ada di negara ini  dan bukan maksud utuk melawan hukum/Undang undang.
Tapi, selama ini saya perhatikan hukum di negara ini seperti dipermainkan atau bahkan di perjual belikan. Coba kita perhatikan kasus yang baru baru ini terjadi tentang nenek Asyani yang terancam hukuman penjara selama 5 tahun dengan kasus pencuriantujuh gelondong kayu milik PT. Perhutani dengan diameter hingga 100 senti meter.
(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150312224521-20-38810/cerita-pilu-nenek-asiani-yang-terancam-penjara-lima-tahun/)
Memang betul kalau ada pelanggaran, pasti ada sanskinya....... Tapi coba kita bandingkan dengan para pejabat yang korup. Para pejabat itukan juga mencuri..... mencuri uang rakyat hingga milyaran rupiah. Mmemang bukan semua pejabat korup tapi karna kebanyakan para pejabat yang korup jadi tercoreng juga pejabat2 yang bersih.
Kalau kita perhatikan pejabat pejabat yang korupsi milyaran hukuman penjaranya hanya 6 tahun.
Contohnya,

1. Korupsi, Mantan Kadisdik Labuhan Batu Divonis Bui 6 Tahun (http://news.liputan6.com/read/2182672/korupsi-mantan-kadisdik-labuhan-batu-divonis-bui-6-tahun)

Terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, mantan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Labuhan Batu, Jamaren Ginting divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Medan. Ia dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan korupsi dan menyelewengkan pajak sebesar Rp 2,4 miliar pada Tahun Anggaran (TA) 2008.

"Menyatakan terdakwa Jamaren Ginting secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana yang diatur dan diancam dalam dakwaan pertama subsider JPU," ujar Robert selaku ketua majelis hakim, Kamis (26/2/2015).

Selain menghukum 6 tahun penjara, Jamaren juga dibebankan dengan denda sebesar Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Bukan hanya itu, Jamaren juga dikenakan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti (UP) Rp 1.579.171.305. Jika terpidana tidak dapat membayar, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang JPU.

"Jika terdakwa tidak memiliki harta benda, maka terpidana akan dipenjara selama 2 tahun," kata majelis hakim.

Jamaren dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Putusan majelis ini lebih rendah dari tuntutan JPU pada sidang sebelumya. JPU Haikal sebelumnya menuntut Jamaren dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 350 juta subsider 1 tahun penjara. Selain itu, JPU juga menuntut Jamaren supaya membayar uang pengganti Rp 2,4 miliar dan jika tidak dapat membayar, maka harta bendanya disita oleh jaksa untuk dilelang. Namun, jika harta bendanya tidak mencukupi, maka dikenakan pidana penjara 4 tahun.

Mendengar putusan tersebut, terpidana melalui kuasa hukumnya, Dahsyat Tarigan menyatakan 'pikir-pikir' terlebih dahulu. Begitu juga dengan JPU, Haikal. Usai persidangan, Jameran mengatakan mengungkapkan bahwa pihaknya tidak mengetahui jika pajak tersebut tidak disetorkan Halomoan yang saat itu merupakan Bendaharanya di Dinas Pendidikan Labuhan Batu.

"Kenapa saya yang harus bertanggungjawab, padahal saya tidak mengetahui uang itu tidak disetornya," ucapnya kepada wartawan.

Jamaren bersama Halomoan Harahap disebut tidak menyetorkan pajak sebesar Rp 2,4 miliar ke kas negara. Dana itu merupakan potongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 pegawai negeri sipil (PNS) di Disdik Labuhanbatu mulai Januari-Desember 2008. (Riz)

2. Dari 4,5 Tahun, MA Perberat Vonis Angie Jadi 12 Tahun (http://nasional.kompas.com/read/2013/11/21/0742539/Dari.4.5.Tahun.MA.Perberat.Vonis.Angie.Jadi.12.Tahun)


JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Agung memperberat hukuman mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh alias Angie, terkait kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Mantan Puteri Indonesia itu divonis 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta dari vonis sebelumnya 4 tahun 6 bulan. Selain itu, seperti dikutip Harian Kompas, Kamis (21/11/2013), majelis kasasi juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp 27,4 miliar). Sebelumnya, baik Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maupun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tidak menjatuhkan pidana uang pengganti.
Putusan tersebut diberikan oleh majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan Mohammad Askin, Rabu (20/11/2013). Angie dijerat Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. MA membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Angie melanggar Pasal 11 UU itu.
Menurut majelis kasasi, Angie dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
”Terdakwa aktif meminta imbalan uang atau fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Disepakati 5 persen. Dan (fee) ini harus sudah harus diberikan kepada terdakwa 50 persen pada saat pembahasan anggaran dan 50 persen (sisanya) ketika DIPA turun. Itu aktifnya dia (terdakwa) untuk membedakan antara Pasal 11 dan Pasal 12 a," ungkap Artidjo kepada Kompas.
Menurut Artidjo, majelis kasasi juga mempertimbangkan peran Angie aktif memprakarsai pertemuan dan memperkenalkan Mindo dengan Haris Iskandar, sekretaris pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional untuk mempermudah penggiringan anggaran Kemendiknas.
”Terdakwa juga beberapa kali melakukan komunikasi dengan Mindo tentang tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran dan penyerahan imbalan uang atau fee. Terdakwa lalu mendapat imbalan dari uang fee Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS,” ujarnya.
Pembeda putusan
Salah satu yang membedakan putusan MA dengan putusan sebelumnya adalah terkait uang pengganti. Artidjo menilai, pengadilan tingkat pertama dan banding terkesan seolah enggan menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti dengan alasan uang yang diterima Angie berasal dari swasta dan bukan dari keuangan negara.
”Itu salah. Karena Pasal 17 UU Pemberantasan Tipikor jelas-jelas menyebutkan terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 18 UU yang sama. Jadi bisa dijatuhi hukuman uang pengganti,” ujar Artidjo.
Kuasa hukum Angelina Sondakh, Teuku Nasrullah, saat dihubungi, mengaku belum mendengar putusan. Ia belum dapat berkomentar dan akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan kliennya.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengapresiasi vonis kasasi yang dijatuhkan MA. Menurutnya, vonis kasasi MA terhadap Angie mencerminkan ketajaman rasa kepekaan dan keadilan sosial. Terlebih lagi, katanya, vonis tersebut diputuskan di tengah-tengah pusaran pemikiran hukum para penegak hukum yang masih bermazhab ultrakonservatif positivistik dan tandus dari roh keadilan, seperti tecermin dalam rendahnya beberapa vonis terdakwa korupsi.

Itu merupakan dua dari sekian banyak pejabat pemerintah yang korupsi/ mencuri uang rakyat.
coba kita lihat perbandingannya....
1. Kasus nenek asyani...
- hukuman penjara selama 5 tahun
- kasus pencuriantujuh gelondong kayu milik PT. Perhutani dengan diameter hingga 100 senti meter.

2. Mantan Kadisdik Labuhan Batu.
- 6 tahun penjara dengan denda sebesar Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan

- menyelewengkan pajak sebesar Rp 2,4 miliar pada Tahun Anggaran (TA) 2008.

3.  MA Perberat Vonis Angie Jadi 12 Tahun
- 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta
- korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga
- terbukti menerima uang sebesar Rp 2,5 milliar dan 1,2 juta dolar Amerika dari PT Group Permai atas kesanggupannya menggiring proyek di sejumlah Perguruan Tinggi. (http://www.voaindonesia.com/content/angelina-sondakh-divonis-4-5-tahun-penjara/1581294.html)
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/12/121220_angelina_sondakh_tuntutan


Setelah diperhatikan dari 3 contoh kasus di atas, lebih baik yang korupsi itu dimiskinkan seperti yang pernah di wacanakan dulu dan juga kalu bisa di hukum mati (tembak mati seperti para tersangka kasus narkoba). Mungkin masyarakat lebih banyak yang setuju kalau para koruptor itu di tembak mati ataupun dibuat cacat. Mmeang kalau kita perhatikan dari segi sosial budaya, kalau itu melanggar norma. Tapi ada baiknya dibuat sebuah hukuman yang membuat para koruptor jera, bukan malah asyik2 di penjara dilengkapi dengan fasilitas mewah.
Sebagai contoh, Sebagai contoh narapidana kasus korupsi Bob Hasan. Ia ditahan di lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Fasilitas yang diberikan kepada Bob antara lain ruangan ber-AC, dan kamar mandi yang nyaman. Menurut sipir atau petugas penjara, fasilitas yang diberikan untuk Bob itu merupakan paket biasa. Yang luar biasa, Bob mendapatkan fasilitas helikopter untuk bepergian keluar Nusa Kambangan. Menurut informasi, helikopter ini digunakan Bob untuk menemui keluarga dan rekan binisnya di Jakarta. (http://www.tempo.co/read/news/2010/01/11/063218482/Inilah-Para-Pesakitan-yang-Tetap-Hidup-Mewah-di-Penjara).

Koruptor Tetap Istimewa di Penjara
http://nasional.kompas.com/read/2013/05/20/10033126/Koruptor.Tetap.Istimewa.di.Penjara

Saya berharap kedepannya, para koruptor itu di miskinkan ataupun di hukum mati. jangan jadi para koruptor itu bisa beli hukum. Jadi kalau masyarakat kecil ini yang harus di penjara dengan kasus sepele. Kalau bisa dana hasil korupsi yang disita negara itu di buat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, membangun panti asuhan atau mendirikan/ renovasi tempat2 publik.

Ada baiknya hukum di Indonesia itu seimbang tidak membeda bedakan mana yang miskin mana yang kaya. mana anak pejabat mana rakyat biasa... Semuanya harus sama di mata hukum...


http://devitarapunya.blogspot.com/2015/03/nenek-asyani-vs-angelina-sondakh.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun