artikel berikut ini adalah lanjutan dari artikel sebelum The Missing Link adalah NOL : #1
The Missing Link adalah NOL : #2
Penting tidaknya belajar Sains dan Teknologi
Jika demikian adanya, bahwa ilmu pengetahuan itu wajib berjalan dengan bertuhan, sedangkan ilmu pengetahuan saat ini berjalan dan berkembang untuk membuktikan bahwa alam semesta ini terjadi dengan sendirinya, tanpa ada campur tahan sang pencipta. Apakah itu artinya ilmu pengetahuan itu tidak penting? Apakah sains dan teknologi saat ini boleh ditinggalkan? Ataukah mempelajari ilmu pengetahuan itu hukumnya justru haram? Karena mempelajarinya justru menjauhkan kita dari Tuhan.Â
Apakah ilmu sains dan teknologi ini adalah sebuah fitnah atau menjadi sumber fitnah? Eits..! tunggu sebentar, jangan buru-buru memvonis haram atau terlarang! Mari kita lakukan pelan-pelan, karena mengharamkan sesuatu yang tidak ada hukum atasnya dimungkinkan menjadi sumber dosa besar. Maka mari kita lakukan dengan hati-hati, karena kita tidak mau membuat tambang dosa besar, yang dosanya terus mengalir meskipun jasad ini telat dimatikan, hancur luluh kembali menjadi tanah.Â
Begitu pula sebaliknya, mewajibkan sesuatu yang tidak ada nash atau rujukannya juga memungkinan menjadi tambang dosa juga. Maka kita butuh menimbang dengan berbagai macam timbangan, kita butuh mengukur dengan berbagai alat ukur. Hal ini kita lakukan sebagai bentuk kehati-hatian, dan untuk mendapatkan hasil yang lebih presisi dari penimbangan dan pengukuran yang sudah pernah dilakukan oleh pendahulu kita, karena siapapun tidak mau membuat galian tambang yang hasilnya hanya dosa belaka. Meskipun kita tahu bahwa ampunan tuhan itu seluas langit dan bumi.
Setelah tahu bahwa sains dan teknologi wajib bertuhan, karena tidak ada bukti rumus mekanika yang mampu menjelaskan kehendak dari partikel atau atom untuk mulai bergerak. Seperti rumus yang sudah dijelaskan di atas, yaitu rumus mekanika satu untuk semua, baik melalui turunan ataupun integral dari rumus itu. Lalu apa manfaatnya kita mempelajari ilmu sains dan teknologi, jika keburukan saja yang kita dapat dari mempelajari ilmu sains dan teknologi. Keburukan maksudnya adalah membuat diri kita jauh dari bertuhan.
Ada sebuah berita dari Tuhan, yang mengabarkan bahwa "Nabi Adam alaihi salam, manusia yang diciptakan langsung oleh Allah subhanahu wa ta'ala dari tanah, diperintahkan memberitahu kepada malaikat nama-nama semua benda yang sudah diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian Nabi Adam alaihi salam menyebutkan semua nama benda--benda itu." apakah berita ini hanyalah sekedar berita tentang peristiwa yang terjadi pada Nabi Adam alahi salam, atau bahkan berita ini hanyalah sekedar dongeng belaka?Â
Apakah perintah untuk menyebutkan nama-nama benda hanya untuk Nabi Adam alaihi salam semata? Atau perintah untuk menyebutkan nama-nama benda semuanya juga sampai pada kita sebagai anak turun dari Nabi Adam alaihi salam. Bukankah kita terlahir tanpa mengingat sesuatu apapun? Bukankah kita terlahir tanpa membawa papan nama? Nama yang kita pakai saat ini adalah pemberian dari orang tua kita. Kita hanya  menyebutkan nama-nama benda sesuai apa yang diajarkan oleh orang tua kita. Sedangkan nama semua benda ini adalah ilmu pengetahuan. Akankah kita tetap antipati terhadap ilmu pengetahuan, sains dan teknologi?Â
Berita selanjutnya, setelah Nabi Adam menyebutkan nama semua benda yang telah diciptakan Allah subhanahu wa ta'ala, kemudian Allah perintahkah seluruh malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam alaihi salam. Sebuah imbalan berupa derajat yang tinggi bagi yang menguasai ilmu pengetahuan dengan ditundukkan padanya malaikat untuk menurutinya.Â
Mungkin ada baiknya kita menimbang -- nimbang lagi dalam bersikap terhadap ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Jangan sampai anggapan kita keliru tentang tidak pentingnya ilmu sains dan teknologi, dengan merasa cukup beriman saja kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dengan shalat, puasa, zakat, dan haji serta tarikat-tarikat yang kita jalankan. Penting bagi kita mengingat kembali tentang berita yang disampaikan Allah subhanahu wa ta'ala kepada malaikat bahwa "Akan diturunkan wakil Allah di muka bumi".
Ketika para malaikat disampaikan berita bahwa "Allah akan menurunkan wakilNya di muka bumi." maka para malaikat itu membantah atau menyanggah dengan mengatakan bahwa "Ia (khalifah / wakil / Nabi Adam dan turunnya (umat manusia)) hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi".Â
Dengan alasan bahwa selama ini para malaikat telah bertasbih dan bertahmid (mensucikan dan mengagung / memuji) Allah subhanahu wa ta'ala. Akankah kita bersikap meniru para malaikat yang merasa cukup dengan shalat, puasa, zakat, haji serta tarekat peribadatan yang kita kerjakan tanpa mengetahui nama-nama benda yang telah Allah subhanahu wa ta'ala ciptakan di jagat raya ini? Padahal kita juga diberitakan bahwa semua tasbih, tahmid para malaikat itu tidak ada artinya di sisi Allah ketika Ia menolak untuk sujud kepada Nabi Adam alaihi salam. Bahkan penolakan itu membuat statusnya sebagai malaikat berganti menjadi iblis ditambah disiapkan tempat di neraka. Sedangkan bagi Nabi Adam alaihi salam, dengan mampu menyebutkan nama-nama semua benda itu, mendapatkan imbalan / balasan / ganjaran dengan diperintahkan malaikat untuk sujud kepadanya dan juga diijinkan untuk tinggal di surga.
Hilangnya nilai tasbih dan tahmid Iblis
Sesungguhnya apa yang terjadi pada peristiwa di atas. Kemana hilangnya nilai tasbih, tahmid, sujud atau ibadah malaikat yang telah dikerjakannya? Mengapa para malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam alaihi salam hanya karena Nabi Adam mampu menyebutkan nama-nama benda seluruhnya? Karena pengetahuan akan nama-nama benda seluruhnya menjadi faktor penilaian atas ibadah yang Nabi Adam alaihi salam kerjakan. Perumpamaanya seperti ini:Â
Kembali ke kasus the missing link, Kita umpamakan Allah subhanahu wa ta'ala adalah koki, sedangkan jagat raya adalah meja saji, matahari, planet, bulan, bintang dan seterusnya adalah menu sajian. Ketika Allah menyajikan menu pertama, para malaikat bertasbih, lalu menu kedua para malaikat bertahmid, kemudian menu ketiga para malaikat sujud. Kemudian Nabi Adam alaihi salam didatangkan dan diperintahkan untuk menyebutkan nama-nama sajian yang ada di meja saji, maka Nabi Adam menyebutkan semuanya "Ubi Bakar, Ubi Goreng, Ubi Rebus, Tape, Rondo Royal, Jemblem, Lemet, Klepon, Gethuk, Gathot, Oyek, Thiwul." Maka mulai saat itu nilai tasbih tahmid, dan sujudnya Nabi Adam alaihi salam bernilai dua belas, bandingkan dengan perolehan malaikat yang hanya satu tasbih, satu tahmid, dan satu sujud. Hal ini karena ketidaktahuan para malaikat akan nama-nama benda, sehingga menganggap semua sama.Â
Dari perumpamaan di atas, kita bisa tahu dampak  dari menguasai ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengtahuan yang kita kuasai menjadi faktor pelipat gandaan dari ibadah yang kita lakukan. Ilmu pengetahuan yang kita kuasai meningkatkan dejarat kita dihadapan Allah subhanahu wa ta'ala dan dihadapan manusia.Â
Dengan mengingat berita dari Allah subhanahu wa ta'ala di atas, kemudian menimbang dampak dari menguasai ilmu pengetahuan begitu besar. Maka Aku tidak mau menganggap berita ini hanya sebuah dongeng belaka, atau perintah menyebutkan nama -- nama sudah selesai sampai pada Nabi Adam saja. Bagiku perintah menyebutkan nama-nama benda adalah perintah untuk menguasai ilmu pengetahuan dan Aku harus melaksanakannya karena sungguh Aku datang tanpa mengingat sesuatu apapun. Walaupun Aku telat menyadarinya diusiaku saat ini.
Ada sebuah tanda yang mendasari keputusanku itu. Mengapa perintah menyebutkan nama-nama benda itu masih menjadi perintah bagiku, dan Aku merasa harus / wajib melakukannya. Karena Dia, Allah subhanahu wa ta'ala menyapaku dan memanggilku dengan sebutan "Wahai anak Adam". Panggilan untukku dan untuk seluruh umat manusia di bumi ini, termasuk kamu, dan kita semua. Dan fakta bahwa Aku terlahir tanpa membawa papan nama, atau mengingat sesuatu nama apapun. Maka Aku menganggap apa yang diperintahkan kepada Bapakku Adam alaihi salam, juga menjadi perintah bagiku untuk mengingat sebanyak-banyaknya nama-nama di dunia ini. Itu artinya juga mengusai ilmu sebanyak mungkin, dan akan Aku lakukan sampai waktuku habis di dunia ini.
Tabel Ilustrasi dampak dari  orang menguasai ilmu pengetahuan saat ini dan nanti.
Dibalik berita tentang Iblis yang tidak mau bersuduh pada Nabi Adam
Dari berita diatas tentang malaikat yang tidak mau sujud kepada Adam alaihi salam, yang kemudian dijuluki Iblis. Saya akan menuliskan sesuatu tentang Iblis yang tidak dituliskan dalam berita di atas, tetapi menurut saya itu ada. Â Sebelum itu, saya berikan contoh berlogika dari berita yang tertulis.
Contoh kalimat berita (ini berita yang berarti fakta, bukan pendapat, bukan gossip.)
"Ibu sedang pergi ke pasar."
Ada fakta yang bisa kita turunkan / kita tarik / kita logikakan dari berita di atas. Contohnya
"Saat ini Ibu sedang tidak ada di rumah."
"Ibu tidak ada di dapur."
"Ibu tidak sedang memasak."
Kalimat di atas adalah contoh dari penurunan / logika dari kalimat berita pertama bahwa "Ibu sedang pergi ke pasar." Dan hasil penurunan di atas juga sebuah fakta yang memang adanya, tapi tidak perlu dituliskan dalam pemberitaan pertama. Hal seperti ini cukup bisa dipahami, atau bisa kita ambil atau kita tarik ketika kita berlogika atau berfikir akan kalimat berita pertama. Penurunan berita seperti ini kadang diperlukan supaya kita bisa mengukur, atau memperkirakan bahwa kita sudah pada posisi dan kondisi yang tepat.
Kita kembali ke berita tentang Iblis di atas, sesuatu yang bisa kita turunkan dari berita tentang Iblis di atas adalah
Bahwa sampai saat ini, Iblis dihukumi kafir (tertutup) bukan karena tidak bertuhan. Iblis dihukum kafir hanya karena ia ingkar akan kuasa Tuhan.
Berita lain menyebutkan bahwa alasan Iblis enggan sujud kepada Adam alaihi salam karena menganggap dirinya lebih baik dari Adam alaihi salam disebabkan asal Iblis diciptakan dari api sedangkan Adam Alaihi salam dari tanah. Iblis beranggapan bahwa dirinya lebih baik dari Adam alaihi salam dan enggan meninjau ulang anggapannya itu.Â
Iblis menutup pendapatnya sendiri dan menurutnya itulah yang benar, enggan pula melihat atau meninjau ulang pendapatnya dari sisi lain (Iblis mengira dirinya benar, dan menuntut dibenarkan oleh Tuhannya lalu keberadaan Adam alaihi salam adalah sebuah kesalahan). Iblis telah bertuhan dengan Tuhan yang benar, Iblis mengira Tuhan telah cukup dengan tasbih (mensucikanNya) dan tahmid (memujiNya) dari Iblis saja. Iblis begitu bangga dengan tasbih dan tahmidnya, kemudian juga bangga dengan asal usul penciptaan dirinya, dan mengira Tuhan telah cukup dengan itu. Dan ketika Tuhannya menguji dengan sesuatu yang menurutnya lebih rendah, Iblis menutup diri, dan bertahan dengan pendapatnya sendiri (kafir akan kuasa Tuhan).
Bahwa sekalipun kita telah bertuhan dengan Tuhan yang benar, bukan berarti kita menjadi pemilik kebenaran itu. Jangan terbalik logika, Tuhanlah pemilik bumi, langit dan seisinya, bukan Tuhan milik kita yang menyaksikan / membenarkan keberadaan Tuhan. Ini adalah peringatan yang sangat keras bagi Kita yang telah mengakui keberadaan Tuhan. Bahwa bertuhan itu adalah terbuka, terbuka pada pendapat yang kita yakini kebenarannya, terbuka pada cara kita menjalankan syariat dari Tuhan, terbuka bahwa Tuhan diatas segala sesuatu, terbuka bahwa Tuhan kuasa atas segala sesuatu.Â
Terhadap cara kita bertuhan, cara kita beribadah kepada Tuhan (syariat), kita hanya menjalani sesuatu yang kita yakini, tetapi kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk sama dengan kita. Kita juga tidak perlu melakukan semua jenis pilihan dalam bersyariat, karena kita hanya satu, tidak bisa membelah diri, tidak bisa melakukan semua pilihan dalam beribadah, maka kita pilih yang dekat dengan kita, yang kita sukai dan yang paling kita mampu untuk melakukannya. Seumpama menuju Tuhan itu harus melewati gunung, sedang jalur mendaki gunung ada empat jalur, kita tidak harus melewati keempatnya bersamaan, karena kita tidak bisa membelah diri, atau melompat dari satu jalur ke jalur yang lain. Kita cukup ikuti jalur yang paling dekat dengan kita, tanpa harus memaksa orang lain lewat di jalur yang sama dengan kita, tidak perlu pula syirik / iri dan menyalahkan orang lain yang melewati tiga jalur yang berbeda dengan kita, toh pada akhirnya puncaknya juga hanya satu.
Mari kita ulangi lagi penurunan dari berita tentang Iblis
"Iblis tidak pernah menutup diri dari bertuhan."
"Iblis tidak pernah kafir dalam bertuhan."
"Iblis telah bertuhan dengan Tuhan yang benar."Â
Terhadap diri kita sendiri, sudahkah kita bertuhan? Apakah Tuhan yang kita yakini adalah Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan yang menciptakan bumi, langit dan seisinya? Yaitu Tuhan yang sama yang telah menciptakan Iblis. Untuk kita yang masih ragu akan Tuhan, bahkan menutup diri dari bertuhan, sudahkah kita mampu merumuskan rumus mekanika di atas yang dengannya atau dengan turunan rumus itu ataupun integral rumus itu kita bisa tahu kapan mulainya alam semesta ini? Kapan sebuah sub atom, proton, neutron, dan elektron memiliki kehendak, kemudian memutuskan untuk jadi apa dia?Â
Kapan atom-atom itu mulai bergerak dan memutuskan untuk menjadi senyawa? Kapan senyawa-senyawa itu memutuskan untuk membentuk organ? Kapan organ-orang itu memutuskan untuk menjadi individu? Kapan hidup itu dimulai? Rumus itu tidak ada, tidak akan pernah ada, tidak akan pernah ada yang mampu menotasikannya, maka sainstek / ilmu pengetahuan saat ini wajib bertuhan. Aneh saja bagi manusia yang memutuskan untuk tidak bertuhan / atheis / agnothis, padahal ia hanya menemukan dirinya tiba-tiba sudah ada dan hidup didunia ini. Ia juga tidak mampu menjelaskan bagaimana ia yang asalnya mati, kemudian hidup, kemudian mati lagi, kemudian hidup lagi! Siapakah zat yang hidup dan memberi kehidupan? Aneh saja, dan sangat aneh.Â
Mencoba Mengindra ke Tuhan
Sudah pasti ada sesuatu di sana yang memulai segalanya, Dia itu hidup dan tetap hidup. Dia itulah Tuhan. Jika kemudian untuk percaya Tuhan itu ada, kita mensyaratkan Dia (Tuhan) itu harus kasat mata atau bisa kita indra dengan satu atau kelima indra kita. Mari saya temani mengukur kemampuan indra kita, dan ijinkan saya sampaikan sudut pandang saya dalam menggunakan panca indra. Saya akan mengambil satu indra dari kelima indra yang jangkaunnya paling jauh. Misalkan indra perasa / lidah hanya akan mendeteksi sesuatu yang menyentuhnya yaitu lidah yang berarti sesuatu itu harus masuk kedalam mulut kita. Â
Kemudian indra peraba, hanya mampu mendeteksi yang sesuatu yang mampu kita sentuh, dengan tangan, kulit. Indra penciuman, sudah cukup mampu meremot / mentele sesuatu yang diindranya asalkan ada media yang mengalirkannya sampai ke hidung. Kemudian indra pendengaran, telinga sudah cukup bisa mendeteksi sesuatu yang jaraknya cukup jauh, dengan syarat suara yang dideteksi cukup keras untuk didengar.Â
Pilihan terakhirnya adalah penglihatan, ini bisa mendeteksi sesuatu yang cukup jauh sampai pada kita bisa melihat sesuatu tapi kita tidak bisa mendengar bunyinya, tentu saja tidak tahu aroma, tekstur dan rasanya. Baik kita akan menggunakan mata untuk mengindra Tuhan supaya kita bisa yakin bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Mari kita perkirakan jarak terjauh jangkauan mata. Misalkan jarak pandangan kita ke cakrawala / horizon adalah sejauh 400 km, maka kita buat sebuah lingkaran dengan diameter tersebut. Kemudian lingkaran itu kita bandingankan dengan seluruh permukaan bumi, seberapa perbandingan antara jarak pandang kita ke horizon dibandingkan dengan permukaan bumi? Berikut ini saya buatkan gambar perbandingan tersebut.
Gambar perbandingan jarak padang dengan permukaan bumi.
Dari data ilustrasi di atas, satu titik biru adalah perkiraan jangkauan mata melihat ke arah horizon atau cakrawala, diperlukan sekitar 5.500 titik biru untuk menutup seluruh area permukaan bumi. Dalam arti lain, kita hanya melihat 1 dari 5.500 area yang ada, bahkan dalam kenyataanya ada banyak batasan yang mengganggu penglihatan mata kita. Kenyataannya kita mampu melihat radius 50 Km ke cakrawala merupakan kondisi yang sangat baik, yang artinya perkiraan di atas bisa semakin kecil lagi. Perbandingannya, Kita bisa melihat 1 area dari 14.400 area, sekitar 0,007% saja.
Penggambaran atau ilustrasi di atas sama hal dengan ilmu dan pengetahuan kita, segala sesuatu yang kita ketahui, tidak lebih banyak, tidak lebih besar dari ketidaktahuan kita. Semua ilmu pengetahuan kita sangat kecil dibandingkan dengan ketidaktahuan kita. Segala sesuatu yang tidak ketahui sama halnya dengan gaib atau tidak tampak atau tidak tahu. Itu baru perbandingan denga permukaan bumi, belum perbandingan dengan jagat raya. Rasanya perbandingan antara hal yang kita ketahui dengan jagat raya, satu per desilliun (1033) itu terlalu besar, menurut perhitungan saya bahkan lebih kecil dari itu.Â
Saya kira sudah lebih dari cukup data perbandingan antara sesuatu yang kasat mata dengan keseluruhan semesta. Kita untuk bisa percaya, percaya sampai benar-benar yakin, sangat yakin bahwa di luar batas jangkauan mata kita jauh lebih banyak, jauh lebih besar daripada semua hal yang mampu kita lihat. Ini artinya untuk yakin bahwa ada hal-hal  lain di luar sana maka indra kita tidak dibutuhkan. Sesuatu yang kita perlukan adalah membebaskan akal kita supaya tidak terpenjara dalam indra. Akal kita bisa bebas menerka, melogika bahwa di luar batas jangkauan indra ada juga yang serupa dengan itu dan itu lebih besar dari apa yang mampu kita lihat, dengar, sentuh, cium ataupun rasa.
Mari kita lihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan / berprilaku? Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berperilaku bahwa hanya sesuatu yang bisa teramati, terukur dengan alat ataupun tanpa alat yang bisa dipercaya dan diyakini itu ada. Selain dari itu maka dikatakan tidak saintifik, tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Ilmu pengetahuan saat ini mendoktrin kita hanya yang teramati, terukur oleh kelima indra atau dengan alatlah yang bisa diyakini ada. Ilmu pengetahuan saat ini secara halus memerintahkan kita untuk memenjarakan / mengisolasi akal kita, selain yang tidak teramati oleh indra ataupun dengan alat maka sesuatu itu tidak perlu dipercaya apalagi sampai diyakini, sesuatu itu tidak ada. Diamlah sebentar dan fikirkan itu semua, apakah kita juga sudah beranggapan seperti itu?Â
Tuhan itu tidak tampak, bisa jadi Tuhan tidak ada! Bisa jadi kita percaya Tuhan ada tapi belum sampai yakin, karena masih bertanya mengapa Tuhan tidak tampak oleh mata? Berhentilah! Berhenti sejenak, dan bebaskan akalmu, jangan penjarakan akalmu dengan batas indra!Â
Biarkan akalmu bebas, berlogika, ada sesuatu di luar batas indra. Hal itu kita percaya dan kita sangat yakin itu ada. Jangan kita pejarakan akal kita seperti cara kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tetap berilmu, berpengetahuan, dan menggunakan teknologi tapi dengan cara terbuka, bukan terisolasi dan terpenjara oleh indra. Sebagian besar dari kita mungkin telah terbuka dalam berilmu, berpengetahuan, dan mahir dalam menggunakan teknologi.Â
Mudah bagi kita percaya bahwa di luar batas penglihatan kita, setelah cakrawala, di balik tembok, di belakang gunung, di balik itu semua ada sesuatu. Setelah cakrawa kita percaya ada pulau lain, ada laut lain, ada samudra lain. Di balik tembok kita percaya ada ruangan lain, ada tanah lapang, ada gedung lain.Â
Di belakang gunung kita percaya di sana ada desa lain, ada danau, ada sungai, ada pulau, bahkan ada gunung lain. Tetapi ketika mendengar kata Tuhan, otak Kita seperti mentok, logika kita terjadi short / hubungan pendek, akal kita langsung terpenjara dalam batas indra, cara nalar kita langsung bekerja seperti syarat ilmiah, bahwa syarat sesuatu itu bisa dikatakan ada, sesuatu bisa diyakini harus bisa diamati, dan diukur dan satuan-satuan tertentu. Â Begitulah selama ini sangkaan kita terhadap Tuhan, tidak terasa kebiasaan kita berfikir ilmiah, pengajaran berfikir ilmiah yang kita terima, pengajaran berfikir ilmiah yang kita ajarkan, seringkali membuat short logika, short nalar, short akal, tanpa kita sadari. Hal ini sering kali membuat kita jadi manusia setengah, kadang bertuhan, kadang memutus hubungan dengan Tuhan dengan sengaja.Â
"Di dunia kita bebas melakukan apapun dengan cara kita, di akhirat urusan nanti. Ibadah sebatas pintu rumah ibadah, untuk hidup di dunia adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, menguasai sumber daya sebanyak mungkin, memperbudak manusia lain, berkuasa selama mungkin.".Â
Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita sebagai mahluk yang hidup tertutup di kolong langit dan berjalan di atas bumi dengan keangkuhan tanpa kita sadari. Sebagian besar waktu kita hidup sebagai mahluk tertutup / kafir / cover / terputus dari bertuhan. Sekalipun aku ingatkan bahwa "Kita tidak bisa lepas satu detik pun, seperseribu detik pun dari Tuhan karena seketika itu kita hilang tanpa arti." Tetap saja akal ini menggeletik dan menegasi, menolak, seluruh badan serasa berteriak ini sangat perih, dan kita tidak suka.
Mari kita lihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berjalan / berprilaku? Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berperilaku bahwa hanya sesuatu yang bisa teramati, terukur dengan alat ataupun tanpa alat yang bisa dipercaya dan diyakini itu ada. Selain dari itu maka dikatakan tidak saintifik, tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Ilmu pengetahuan saat ini mendoktrin kita hanya yang teramati, terukur oleh kelima indra atau dengan alatlah yang bisa diyakini ada.Â
Ilmu pengetahuan saat ini secara halus memerintahkan kita untuk memenjarakan / mengisolasi akal kita, selain yang tidak teramati oleh indra ataupun dengan alat maka sesuatu itu tidak perlu dipercaya apalagi sampai diyakini, sesuatu itu tidak ada. Diamlah sebentar dan fikirkan itu semua, apakah kita juga sudah beranggapan seperti itu? Tuhan itu tidak tampak, bisa jadi Tuhan tidak ada! Bisa jadi kita percaya Tuhan ada tapi belum sampai yakin, karena masih bertanya mengapa Tuhan tidak tampak oleh mata?Â
Berhentilah! Berhenti sejenak, dan bebaskan akalmu, jangan penjarakan akalmu dengan batas indra! Biarkan akalmu bebas, berlogika, ada sesuatu di luar batas indra. Hal itu kita percaya dan kita sangat yakin itu ada. Jangan kita pejarakan akal kita seperti cara kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tetap berilmu, berpengetahuan, dan menggunakan teknologi tapi dengan cara terbuka, bukan terisolasi dan terpenjara oleh indra. Sebagian besar dari kita mungkin telah terbuka dalam berilmu, berpengetahuan, dan mahir dalam menggunakan teknologi.
Mudah bagi kita percaya bahwa di luar batas penglihatan kita, setelah cakrawala, di balik tembok, di belakang gunung, di balik itu semua ada sesuatu. Setelah cakrawa kita percaya ada pulau lain, ada laut lain, ada samudra lain. Di balik tembok kita percaya ada ruangan lain, ada tanah lapang, ada gedung lain. Di belakang gunung kita percaya di sana ada desa lain, ada danau, ada sungai, ada pulau, bahkan ada gunung lain.Â
Tetapi ketika mendengar kata Tuhan, otak Kita seperti mentok, logika kita terjadi short / hubungan pendek, akal kita langsung terpenjara dalam batas indra, cara nalar kita langsung bekerja seperti syarat ilmiah, bahwa syarat sesuatu itu bisa dikatakan ada, sesuatu bisa diyakini harus bisa diamati, dan diukur dan satuan-satuan tertentu. Â Begitulah selama ini sangkaan kita terhadap Tuhan, tidak terasa kebiasaan kita berfikir ilmiah, pengajaran berfikir ilmiah yang kita terima, pengajaran berfikir ilmiah yang kita ajarkan, seringkali membuat short logika, short nalar, short akal, tanpa kita sadari. Hal ini sering kali membuat kita jadi manusia setengah, kadang bertuhan, kadang memutus hubungan dengan Tuhan dengan sengaja.Â
"Di dunia kita bebas melakukan apapun dengan cara kita, di akhirat urusan nanti. Ibadah sebatas pintu rumah ibadah, untuk hidup di dunia adalah mencari laba sebanyak-banyaknya, menguasai sumber daya sebanyak mungkin, memperbudak manusia lain, berkuasa selama mungkin.".
Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita sebagai mahluk yang hidup tertutup di kolong langit dan berjalan di atas bumi dengan keangkuhan tanpa kita sadari. Sebagian besar waktu kita hidup sebagai mahluk tertutup / kafir / cover / terputus dari bertuhan. Sekalipun aku ingatkan bahwa "Kita tidak bisa lepas satu detik pun, seperseribu detik pun dari Tuhan karena seketika itu kita hilang tanpa arti." Tetap saja akal ini menggeletik dan menegasi, menolak, seluruh badan serasa berteriak ini sangat perih, dan kita tidak suka.
Tetap saja ada pertanyaan, selalu ada pertanyaan, "Jika Tuhan benar-benar ada, mengapa kita tidak mendengar kalamNya?" padahal telinga yang kita pakai hanya bisa mendengar pembicaraan sebatas ruangan saja. Sekalipun mudah bagi kita percaya dan yakin jika, di balik tembok ruangan kita, di sebelah rumah kita, ada tetangga kita yang mungkin juga bercakap-cakap, bersenda gurau. Di lingkungan sekitar kita, di kampung kita, di kota kita, di kota-kota seluruh dunia dipenuhi dengan manusia yang berinteraksi, bercakap-cakap, berkomunikasi, ada juga dari jenis binatang yang mengaum, bernyanyi, bersiul, berkokok, mendesis. Ada suara gemericik air, tiupan anging, guntur menggelegar, hujan mengguyur, ombak menggulung-gulung lalu pecah.Â
Kita percaya semua itu ada, kita yakin sangat yakin itu ada, dan kita tidak perlu mendengar langsung untuk percaya, panca indra tidak diperlukan untuk membuat kita percaya ada suara di sana, ada bunyi di sana. Kita tidak perlu menjadi saksi bahwa semua suara itu ada untuk percaya dan yakin, ketahuilah bahwa kesaksian itu membawa konsekuensi untuk dipertanggung-jawabkan. Saya ulangi untuk percaya bahwa Tuhan itu ada, panca indra tidak dibutuhkan, panca indra dibutuhkan untuk mengenali sesama mahluk / ciptaan. Kita hanya perlu membebaskan akal, dengan tidak memenjarakannya, mengisolasinya dalam batas jangkauan indra. Kita dan semesta ini nyata ada, tentu saja harus dimulai dari ada. Kosong / nol / tidak ada, tidak akan pernah bisa membuat sesuatu yang nyata adanya. Tidaklah adil jika syarat mengenal Tuhan harus diterima rangsangnya oleh indra kita yang kemampuannya pengindraanya terbatas.
0 x 0 , 0 : 0, 0 + 0, 0 - 0, kosong / hampa / nol, tidak akan pernah bisa membuat ada. Semua di dunia ini nyata adanya, tidak mungkin dimulai dari sesuatu yang hanyal / abstrak / dimulai dari yang tidak ada.0 x 0, 0 : 0, 0 + 0, 0 - 0, mati, sesuatu yang mati tidak akan pernah memulai, tidak bergerak, tidak akan menjadi hidup, maka segala kehidupan ini dimulai dari Sang Maha Hidup, dan akan kembali ke Sang Maha Hidup.
Mustahil segala sesuatu yang ada ini tanpa ada yang memulai, mustahil segala sesuatu yang hidup ini dimulai dari hal yang mati. Mustahil segala sesuatau yang nyata ini dimulai dari hal abstark / hayal / maya. Maka apa yang memulai segala suatu ini, itulah Tuhan. Hukum / asas atas segala sesuatu yang nyata adanya adalah ada yang membuat / mencipta itu wajib, begitupula hukum atas adanya Tuhan menjadi wajib. Itulah Tuhan yang disembah oleh iblis, Tuhan yang mencipta iblis. Tuhan yang mencipta semesta / jagat raya. Lalu seperti apakah Tuhan itu? Siapakah Tuhan itu? Dimanakah Tuhan itu? Bagaimanakah Tuhan itu?
Satu hal yang pasti, Tuhan itu hidup, tetap hidup, selalu hidup. Tuhan itu Maha Hidup, karena semua yang hidup harus berasal dari yang hidup. lalu seperti apakah Tuhan itu? Jawabannya tidak tahu, di luar jangkauan indra, tak terbatas, tak terhingga. Tentu saja jawaban "tidak tahu" tidak akan membuat kita puas.Â
Tapi "tidak tahu" adalah jawaban yang jujur, dan kejujuran adalah syarat utama untuk percaya, kejujuran adalah syarat untuk bisa iman, kejujuran adalah syarat untuk bisa yakin, benar yakin, sungguh sangat yakin. Semua pertanyaan tentang Tuhan mengenai bentuk, suara, warna, apapun itu yang merujuk, mengerucut, sampai pada sosok, maka jawaban yang paling benar, jawaban yang paling jujur adalah "tidak tahu / ghaib". Jika ada jawaban yang sampai ada pengambaran, pencitraan, sosok, warna, suara, bentuk, apapun itu, maka tinggalkanlah Tuhan seperti yang digambarkan, dicitrakan itu, karena itu hanyalah hayal belaka, dan dorongan nafsu dalam bertuhan.
Tuhan yang tak terbatas, tak hingga, mustahil bisa dijangkau oleh indra manusia yang kemampuannya terbatas, sekeras apapun kita meretas batas indra yang kita temui dari hasil retasan itu hanyalah mahluk (ciptaan), sehebat apapun kita membayangkan Tuhan, gambar / citra hasilnya cuma hayal saja. Maka jujurlah dalam menjawab, sidiklah dalam berlaku, tentu saja jawaban itu tidak tahu / ghaib. Ya itulah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang wajib bagi kita bertuhan padaNya, Dialah yang Tuhan yang nyata, wujud, wajib ada, yang tak terbatas, tak terindra, tak tergambarkan, tak tercitra.
Tuhan yang tak hingga, tentu saja mustahil bagi kita untuk menggambarkan, mengilustrasikan, karena tidak satupun dari indra kita yang kemampuannya terbatas, mampu mengindra sesuatu yang tak terbatas, takhingga. Terkait syarat kamu untuk percaya dan yakin bahwa Tuhan harus bisa dilihat atau terindra oleh salah satu indra kita, coba renungkan hal berikut ini.Â
Jika syarat itu harus terlihat, maka Tuhan yang kita lihat itu menjadi tidak adil bagi saudara kita yang tuna netra. Padahal Tuhan itu yang seharusnya adil menjadi tidak adil lagi. Tuhan yang seharusnya Maha Adil, sempurna adilnya, menjadi cela, celah, krowok, karena syarat yang kita berikan. Maka untuk yakin Tuhan itu ada, kita hanya perlu membebaskan akal dari penjara batasan indra, dan mempertimbangkan, membatalkan syarat yang kita ajukan itu.
Ini adalah shortcut pencarian Tuhan
Lalu siapakah Tuhan itu? Dialah Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Dialah Allah yang satu, Dialah Allah, Tuhan yang mengenalkan diriNya pada Muhammad bin Abdullah. Dialah Allah Tuhan yang diperkenalkan Muhammad bin Abdullah kepada kita. Lalu benarkah Tuhan yang benar itu bernama Allah? Tuhan sang pencipta adalah segala sesuatu yang tak terbatas, tak terkira, tak terjangkau oleh semua indra manusia. Maka tidak ada satupun manusia di bumi ini yang bisa memastikan bahwa Tuhan yang benar itu bernama Allah.Â
Semua perangkat indra manusia hanya bekerja pada batasan tertentu, batas bawah dan batas atas. Sekalipun manusia meretas batas itu, Allah yang tak terhingga mustahil bisa terjangkau dalam batasan indra manusia meskipun batas itu telah diretas. Jadi, tidak ada satupun manusia di bumi ini yang memiliki kapasitas, kuantitas, kapabilitas, kompetensi, kualifikasi, kapabiliti, atau apapun itu istilah untuk menyebut kemampuan untuk memastikan bahwa memang benar Tuhan itu bernama Allah! Karena mustahil bagi manusia dengan perangkat yang bekerja terbatas (indra) memastikan sesuatu yang tak hingga, tak terkira, tak terjangkau.
Manusia dengan indra terbatas, mustahil bisa memastikan, mustahil bisa mengidentifikasi, bahwa benar Tuhan itu bernama Allah. Semua pencarian manusia tentang asal-usul dunia dan seisinya akan berujung pada Sang Pencipta (Tuhan), lalu pada sifat yang melekat pada Tuhan. Tuhan itu Maha Awal (pertama), Tuhan itu Maha Kuasa, Tuhan itu Maha Perkasa, Tuhan itu Maha Pengasih, Tuhan itu Maha Hidup, Tuhan itu Maha Menghidupkan, Tuhan itu Maha Penyayang, Tuhan itu Maha Adil, Tuhan itu Maha Raja (Penguasa Menguasai), Tuhan itu Maha Akhir (terakhir), dan semua sifat Tuhan yang melebur menjadi satu dengan gelarNya.Â
Dan manusia dengan akalnya, akal yang bebas, yang keluar dari isolasi indra, akal yang keluar dari penjara indra, hanya bisa sampai pada batas "Bahwa segala sesuatu ini nyata adanya, disebabkan oleh sesuatu yang nyata, yaitu Tuhan Sang Pencipta." Sang Pencipta itu memiliki sifat seperti ini, ataupun gelarnya seperti ini. Maka penyebutan sifat dan gelar ini bisa berbeda-beda disetiap bangsa dan bahasa. Sang Hyang Widhi (Yang Maha Tunggal), San Hyang Taya (Yang Maha Takterkira, Takterhingga), Thian Yuan (Yang Maha Esa, Maha Besar), dan sebagainya penyebutan sifat dan gelar Tuhan, boleh berbeda setiap bangsa dan bahasa.Â
Dengan kaidah bahwa Tuhan itu Maha Besar, takterkira, takterhingga, takterbayangkan, maka Tuhan itu tidak boleh berhenti pada sosok, rupa, citra, bayangan tertentu. Maka kita wajib meninggalkan Tuhan yang tersosok pada tokoh tertentu, kita tidak boleh bertuhan pada rupa tertentu, kita tidak boleh bertuhan yang tercitra dalam indra, kita tidak boleh bertuhan dengan bayangan / khayalan tertentu. Kita wajib meninggalkan Tuhan-Tuhan yang berupa tokoh manusia, hewan, gabungan manusia dan hewan. Karena Tuhan yang takterkira, takterhingga, hanya Tuhan sajalah yang bisa mengenalkan diriNya pada Nabi dan RasulNya. Dialah Allah, Tuhan yang mengenalkan diriNya pada Nabi Adam 'alaihi salam.Â
Dialah Allah, nama Sang Pencipta yang dikenalkan, dituturkan oleh Nabi Adam 'alaihi salam, ke nabi-nabi selanjutnya, sekaligus turunannya sampai ke Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasalam. Kita tidak memiliki pilihan lain selain percaya pada Nabi Muhammad shallallahu 'alahi wasalam, bahwa Tuhan itu bernama Allah, karena semua sifat pada Tuhan, semua gelar pada Tuhan, semua sebutan terbaik pada Tuhan, ada pada Tuhan yang dikenalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasalam. Hanya Allah sajalah yang bisa mengenalkan diriNya pada Nabi dan RasulNya, dan kita umat manusia hanya bisa percaya.Â
Dan apa yang disampaikan oleh Rasullullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasalam, tentang Allah Subhanahu Wata'ala, terperinci dalam kitab Al-Qur'anul Karim adalah bukti nyata bahwa "Hanya Allah sajalah yang bisa mengenalkan diriNya pada manusia, dan Al-Qur'an adalah bukti bahwa Muhammad bin Abdullah benar-benar utusanNya." Karena kita tidak bisa meyakini itu jika hanya sebatas klaim, harus bukti terbukukan (kitab) yang nyata terperinci.
Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Maafkan saya jika harus memotong jalur pencarian, pengidentifikasian Tuhan pada Rasullullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasalam karena memang mustahil memastikan nama Tuhan kecuali Tuhan sendiri yang mengenalkan diriNya pada manusia pilihanNya. Dialah Allah, nama Tuhan Sang Pencipta yang mengenalkan diriNya pada Nabi Adam 'alahi salam. Dialah Allah nama Tuhan yang dikenalkan Nabi Adam 'alaihi salam ke anak turunnya. Dialah Allah yang mengenalkan diriNya ke Nabi-nabiNya, Rasul-rasulNya. Dialah Allah yang dikenalkan Rasul-rasulNya ke umatnya. Hanya saja nenek moyang kita segan, merasa tak pantas, merasa tak sopan untuk menyebutnya langsung. Maka yang sampai kepada kita adalah gelar, dan sifat yang melekat padaNya. Dan sebutkanlah namaNya "Allah Allah Allah" langsung untuk meretas batas indra, merobohkan batasan indra, mengikis keraguan dan menyingkat waktu. Itu tidak mengapa, tidaklah apa-apa, karena Allah itu Maha Memaafkan juga Maha mengampuni.
Tidak ada pilihan lain dalam bertuhan, kita hanya bisa bertuhan hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Terkait dengan persaksian kita kepada Allah, dengan 2 kalimat syahadat / persaksian, persaksian itu tidak menjadikan Allah itu adalah milik kita. Allah Subhanahu Wata'ala itu adalah pemilik langit, bumi dan seisinya. Dialah Allah pemilik jagat raya / semesta ini, jangan terbalik logika. Jangan pernah menyangka bahwa dengan persaksian ini, menjadikan Allah milik kita. Jangan pernah mengira bahwa Allah menjadi hak orang yang membuat kesaksian padaNya.
Telah benar kita menyatakan persaksian kita dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat, tetapi tidak benar jika kita menjadi pemilik kebenaran itu. Ketika kita menjadi saksi bagi orang lain yang menyatakan kesaksiannya akan "Tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.", kita tidak punya hak, kuasa ataupun wewenang untuk memutuskan bahwa persaksian itu syah atau batal. Karena batas pengetahuan kita  atas kesaksian orang lain hanya sampai pada apa yang kita dengar dan apa yang kita lihat, maka hal itu tidak bisa digunakan untuk mengesahkan atau membatalkan kesaksian orang lain, sekalipun dalam mengucapkan persaksiannya orang tersebut tidak begitu lancar, fasih, tetap saja hal itu tidak sampai pada batalnya persaksian tersebut. Syah atau batalnya kesaksian seseorang hanya hak Allah saja. Seluruh jagat raya ini adalah milik Allah Subhanahu Wata'ala.
Bumi dan langit dengan segala isinya adalah milik Allah, dan kebenaran mutlak hanyalah milikNya. Maka bagi kita yang telah menyatakan dua kalimat persaksian jangan terbalik logika, dan juga menyempitkan makna bahwa "Allah adalah milik orang-orang yang memberi / melakukan persaksian.". Jangan pula mempersempit makna bahwa kasih sayang Allah hanya boleh diberikan kepada mereka sujud kepadaNya saja. Jangan pula merasa bahwa kebenaran hanya untuk mereka yang telah memberikan persaksian.Â
Jangan pula meminta pembenaran dari Allah tentang semua perbuatan kita. Jangan pula memaksakan kebenaran walaupun itu berdasarkan dalil, jangan pula meminta pembenaran dengan dalil-dalil. "Laa ilaha illallah" adalah kalimat yang mutlak benar, tidak peduli siapapun yang mengucapkan kalimat itu, maka kalimat itu meleburkan, subyek yang mengucapkan itu. Maka tidak boleh seorangpun mengklaim kepemilikan kalimat itu, tidak boleh ada orang, kelompok orang, perkumpulan, firqah, tarikat, yayasan, badan, oraganisasi apapun itu sebutannya yang mengklaim bahwa syah atau batalnya kalimat persaksian atapu kalimat "Laa ilaha illallah" hanya dari tarikatnya, kelompoknya, organisasinya, badannya.Â
Maka tidak boleh ada istilah "Allahku, Allahmu, Allah kita, Allah mereka". Allah adalah pemilik bumi langit dan seisinya, maka istilah "Allahku, Allahmu, Allah kita, Allah mereka" BATAL / BATIL / SALAH untuk digunakan jika nama Allah itu disamakan artinya dengan Tuhan, God, Gusti, dan lain sebagainya sebutan untuk Tuhan. Karena hal itu bisa bermakna ada banyak Tuhan, sedangkanÂ
Tuhan itu satu yaitu Allah subhanahu wata'ala saja. Adapun ketika berdo'a kita menggunakan kata sapaan "Ya Tuhanku, Wahai Tuhan kami" maka kata sapaan itu bukan berarti milik, akan kata sapaan itu menunjukkan kehambaan, ketaatan, ketundukkan, kelemahan, ketakwaan dari hambaNya. Kata sapaan "Ya Tuhanku, Ya Tuhan kami" adalah cara dari hambaNya untuk mendekatkan diri, tunduk dan penuh harap, bukan untuk mengklaim kepemilikan akan Tuhan. Bukan pula untuk mempersempit kasih sayang Tuhan hanya untuk dirinya atau kaumnya atau kelompoknya saja. Karena hal seperti itulah Iblis menganggap Tuhan adalah miliknya, merasa benar dan menuntut dibenarkan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Janganlah sampai kita menempati kedudukan Iblis, dengan beranggapan bahwa Allah adalah milik orang-orang yang bersujud kepadaNya, Allah hanya boleh sayang kepada orang yang memberikan kesaksian atasNya. Menjauhlah dari maqam / tempat / kedudukan Iblis. Jangan pernah berharap, bahkan meminta bahwa "Allah subhanahu wata'ala yang menciptakan langit bumi dan seisinya dengan semua suku, ras, manusia dan jin" untuk berpilih kasih terhadap ciptaanNya yaitu orang-orang yang memberikan kesaksian saja.Â
Jangan pernah meminta kepada Allah yang Maha Pengasih untuk berpilih kasih. Bertuhanlah hanya kepada Allah subhanahu wata'ala saja tanpa menyekutukan sedikitpun, tetaplah berserah diri menjadi muslim dan tetaplah terbuka terhadap segala sesuatu kemungkinan. Karena Tuhan kita adalah Allah subhanahu wata'ala yang berkuasa atas segala sesuatu, juga berkuasa melakukan segala sesuatu. Selalulah waspada untuk tidak menempati maqam / kedudukan Iblis dengan menutup pemikiran, pendapat dan penafsiran. Karena kafir-nya Iblis bukanlah tidak bertuhan tetapi menutup diri, pemikiran dan pendapatnya dari kuasa Alllah subhanahu wata'ala. Tetaplah waspada dan hati-hati terhadap dirimu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H