Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Refleksi dalam Film Budi Pekerti, Apa Itu?

29 November 2023   23:31 Diperbarui: 29 November 2023   23:53 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang istimewa dari Hari Guru tahun ini. Kami, satu yayasan, diajak untuk menonton film #BudiPekerti, film besutan Wregas Bhanuteja. Raphael Wregas Bhanuteja lengkapnya. Film ini kudengar pertama kali dari Podhub Bung Deddy Corbuzier. Kala itu, Prilly diundang sebagai bintang tamu, mengenakan kaos Andragogy Budi Pekerti. Prilly menjelaskan mengapa mengenakan kaos itu dan proses produksi filmnya. Saya berpikir tidak akan sempat menonton film ini karena seingat saya, film ini diikutsertakan dalam lomba. Kalau tidak salah ingat, film ini ikut dalam Toronto International Film Festival. Tidak di Indonesia tentunya. Silakan tonton dalam tayangan berikut: 


Sedikit Cerita tentang Filmnya

Latar belakang film ini, kental dengan suasana Yogyakarta waktu pandemi melanda. Budi Pekerti menceritakan tentang seorang guru paruh baya yang terkena perundungan di dunia maya karena perselisihan dengan salah satu pembeli kue Putu legendaris, Putu Mbok Rahayu.  Video kemarahannya menjadi viral.  Video tersebut pun mendapat komentar negatif karena sikap Bu Prani dinilai tidak mencerminkan jati diri seorang guru.

Dampak video viral itu berimbas pada keluarga Bu Prani. Segala tindakan dan perlakuan dari masing-masing anggota keluarga pun mulai dinilai dan dicari-cari kesalahannya. Itulah alasannya mengapa menjadi kehidupan Bu Prani dan keluarga tidak tenang karena apapun yang dilakukan mereka nanti akan selalu dipandang salah di mata masyarakat dan publik. Pengaruh negatif yang timbul dari viralnya video tersebut juga membuat bu Prani memutuskan mengundurkan diri dari sekolahnya. 

Apa yang mengesankan? 

Di balik rangkaian cerita film ini, ada satu kata yang mengusik saya. Refleksi. Berulang kali, Bu Prani menyampaikan itu. Tambahan pula, dalam potongan video yang diposting pak ST Kartono, Guru Bahasa di Kolese De Britto Yogyakarta, menampilkan sang sutradara yang menjelaskan mengapa kata tersebut berulang kali disampaikan dalam film. 

Refleksi, secara sederhana, dapat dijelaskan sebagai sebuah kegiatan atau tindakan mengarahkan kembali.  Akar kata refleksi dalam bahasa Latin (Reflexio, Reflectere, Reflexi, Reflexus) ingin menegaskan bahwa tindakan ini pada prinsipnya adalah untuk mengajak kita melihat kembali apa yang kita buat, kita katakan, kita pikirkan, kita rasakan, dan apa saja yang terjadi dalam diri kita. Dari setiap peristiwa hidup yang kita alami, kita diajak untuk menyadari maknanya bagi hidup kita.

Nah, jika ditempatkan dalam konteks film ini, satu hal yang mengesankan saya ada pada judulnya. Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah Andragogy. Kalau mendengar istilah ini, tentu tak asing kata pedagogi dan heutagogi. Untuk saat ini, tidak dibahas keduanya. Tentang andragogy sendiri, sederhananya dapat dipahami sebagai seni pengetahuan untuk membimbing orang dewasa belajar. Dalam andragogy, keterlibatan orang dewasa dalam proses pembelajaran jauh lebih besar, karena sejak awal harus diadakan diagnosis kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta melaksanakannya secara bersama-sama. 

Dalam konteks ini, kegiatan refleksi yang dikenalkan sedari dini bertujuan untuk membiasakan anak-anak agar memeroleh pelajaran bermakna dari rangkaian kegiatan pembelajaran yang mereka alami, baik sebagai pribadi maupun secara klasikal. Tak heran, dalam kurikulum merdeka, refleksi pembelajaran pun mendapat tempat tersendiri. Tradisi yang bagi saya pribadi terkesan sangat Ignatian. 

Saya sendiri mengalami bagaimana proses refleksi ini ditanamkan. Karena saya tinggal di asrama, kegiatan yang biasanya dilaksanakan di malam hari sebelum istirahat adalah menulis refleksi. Kami menyiapkan satu buku dan seminggu sekali, tulisan kami dikumpulkan pada frater atau romo pamong.

Tentu saja tidak mudah. Saya ingat, karena kadang kala jenuh melanda, Jumat malam sebelum buku refleksi dikumpulkan, saya menulis ala kadarnya. Bahkan, sering pengalaman satu minggu saya "rapel" di hari Jumat tersebut. Akibatnya, tentu miskin makna. Tulisan saya tidak ada faedahnya meski tetap dibaca juga. Dari pengalaman inilah, saya bisa memahami bahwa refleksi perlu ditempatkan dalam konteks pembentukan (formatio). Anak-anak, secara pribadi maupun sebagai komunitas, diundang untuk mampu menggunakan akal budi dan daya pikirnya untuk mengambil jarak pada pengalaman hidupnya, melihat kembali, dan bersikap kritis atas apa yang sudah dialami masing-masing di hari tersebut. Itulah sebabnya, proses inilah yang perlu dilatih agar makin menjadi matang dan proporsional. Di sinilah peran orang dewasa diperlukan untuk menangkap pembelajaran bermakna yang sedang atau sudah dialami. 

Bisa karena terbiasa

Pertanyaan selanjut, apakah kita perlu mengerinyitkan dahi untuk sampai pada kedalaman atau mengambil pembelajaran bermakna dari rangkaian peristiwa hidup hari tersebut? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Iya, karena untuk sampai pada pembiasaan, daya pikir perlu dilatih dan diasah. Ibarat pisau tumpul, jika diasah tentu akan semakin tajam. Tidak, karena sekalipun dalam peristiwa sederhana, kita dapat memeroleh makna atau peneguhan bagi hidup kita. Bisa jadi, bukan sesuatu yang baru, tetapi keyakinan kita semakin diperkuat dari peristiwa hidup yang kita alami. 

Dalam satu sesi Ignatiopedia, saya terkesan pada satu sesi sharing pembiasaan refleksi yang dibagikan untuk kami. Saya tulis kembali refleksi seorang seminaris sebagai berikut: 

Hari ini saat mengecek cucian saya, saya merasa sangat senang sebab selimut saya sudah kering. Dari dua hari yang lalu, saya tidur tanpa selimut karena hanya bawa satu. Alhasil, saya sangat kedinginan setiap terbangun di tengah malam. 

Semester ini, saya memang sengaja membawa sedikit sekali pakaian dan keperluan lainnya. Saya ingat bahwa di Seminari, saya diajak untuk hidup ugahari. Tak lain, dengan cara memilih jumlah pakaian yang harus dibawa. Dari hidup ugahari dalam memilih pakaian, saya belajar banyak hal. Hal yang paling saya syukuri adalah saya jadi sadar barang apa yang saya punyai saat ini, dan bila tidak di lemari, saya tahu di mana baju saya. 

Hal ini berguna sebab melatih saya untuk tahu dan mengenal barang-barang saya. Oleh karena itu, saya akan melanjutkan kebiasaan ugahari ini. Terima kasih Tuhan. 

Sederhana kan? Cucian dan hidup ugahari. Di tengah serbuan media sosial, logika yang dibangun adalah menjadi viral maka aku ada, viral ergo sum. Oleh sebab itu, untuk sampai pada kesadaran hidup ugahari, nyatanya memang perlu dibangun agar sedari dini terbiasa untuk peduli dan memiliki rasa menjadi bagian dari satu masyarakat (sense of belonging. Istilah lain yang sangat saya sukai dalam bahasa Italia adalah il senso di appartenenza.) Bagaimana membangunnya? Tak berlebihan jika jawabannya ada pada kebiasaan untuk meluangkan waktu dan melakukan refleksi."Thek....!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun