Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Refleksi dalam Film Budi Pekerti, Apa Itu?

29 November 2023   23:31 Diperbarui: 29 November 2023   23:53 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sendiri mengalami bagaimana proses refleksi ini ditanamkan. Karena saya tinggal di asrama, kegiatan yang biasanya dilaksanakan di malam hari sebelum istirahat adalah menulis refleksi. Kami menyiapkan satu buku dan seminggu sekali, tulisan kami dikumpulkan pada frater atau romo pamong.

Tentu saja tidak mudah. Saya ingat, karena kadang kala jenuh melanda, Jumat malam sebelum buku refleksi dikumpulkan, saya menulis ala kadarnya. Bahkan, sering pengalaman satu minggu saya "rapel" di hari Jumat tersebut. Akibatnya, tentu miskin makna. Tulisan saya tidak ada faedahnya meski tetap dibaca juga. Dari pengalaman inilah, saya bisa memahami bahwa refleksi perlu ditempatkan dalam konteks pembentukan (formatio). Anak-anak, secara pribadi maupun sebagai komunitas, diundang untuk mampu menggunakan akal budi dan daya pikirnya untuk mengambil jarak pada pengalaman hidupnya, melihat kembali, dan bersikap kritis atas apa yang sudah dialami masing-masing di hari tersebut. Itulah sebabnya, proses inilah yang perlu dilatih agar makin menjadi matang dan proporsional. Di sinilah peran orang dewasa diperlukan untuk menangkap pembelajaran bermakna yang sedang atau sudah dialami. 

Bisa karena terbiasa

Pertanyaan selanjut, apakah kita perlu mengerinyitkan dahi untuk sampai pada kedalaman atau mengambil pembelajaran bermakna dari rangkaian peristiwa hidup hari tersebut? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Iya, karena untuk sampai pada pembiasaan, daya pikir perlu dilatih dan diasah. Ibarat pisau tumpul, jika diasah tentu akan semakin tajam. Tidak, karena sekalipun dalam peristiwa sederhana, kita dapat memeroleh makna atau peneguhan bagi hidup kita. Bisa jadi, bukan sesuatu yang baru, tetapi keyakinan kita semakin diperkuat dari peristiwa hidup yang kita alami. 

Dalam satu sesi Ignatiopedia, saya terkesan pada satu sesi sharing pembiasaan refleksi yang dibagikan untuk kami. Saya tulis kembali refleksi seorang seminaris sebagai berikut: 

Hari ini saat mengecek cucian saya, saya merasa sangat senang sebab selimut saya sudah kering. Dari dua hari yang lalu, saya tidur tanpa selimut karena hanya bawa satu. Alhasil, saya sangat kedinginan setiap terbangun di tengah malam. 

Semester ini, saya memang sengaja membawa sedikit sekali pakaian dan keperluan lainnya. Saya ingat bahwa di Seminari, saya diajak untuk hidup ugahari. Tak lain, dengan cara memilih jumlah pakaian yang harus dibawa. Dari hidup ugahari dalam memilih pakaian, saya belajar banyak hal. Hal yang paling saya syukuri adalah saya jadi sadar barang apa yang saya punyai saat ini, dan bila tidak di lemari, saya tahu di mana baju saya. 

Hal ini berguna sebab melatih saya untuk tahu dan mengenal barang-barang saya. Oleh karena itu, saya akan melanjutkan kebiasaan ugahari ini. Terima kasih Tuhan. 

Sederhana kan? Cucian dan hidup ugahari. Di tengah serbuan media sosial, logika yang dibangun adalah menjadi viral maka aku ada, viral ergo sum. Oleh sebab itu, untuk sampai pada kesadaran hidup ugahari, nyatanya memang perlu dibangun agar sedari dini terbiasa untuk peduli dan memiliki rasa menjadi bagian dari satu masyarakat (sense of belonging. Istilah lain yang sangat saya sukai dalam bahasa Italia adalah il senso di appartenenza.) Bagaimana membangunnya? Tak berlebihan jika jawabannya ada pada kebiasaan untuk meluangkan waktu dan melakukan refleksi."Thek....!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun