Hari Guru, ada dua guru yang spesial di hati saya. Pertama, Fr. Albertus Doni Koesoma, SJ dan yang kedua Romo Joannes Madyasusanta, SJ. Beliau berdua adalah guru Bahasa Latin saya semasa SMA dulu. Dan ini adalah cerita tentang mereka.Â
Fr. Albertus Doni Koesoema, SJ dan Tentang Rosa-ae
Setahun sebelum diajar oleh Romo Madya, demikian beliau kami sapa, kami diajar oleh Pak Albertus Doni Koesoema. Kala itu, beliau adalah Frater TOKER (Tahun Orientasi Kerasulan) di SMA kami, SMA Seminari Mertoyudan. Kami memanggilnya Frater Doni. Beliaulah yang membimbing kami untuk membuka lembar demi lembar Elementa Linguae Latinae Liber Primus. Tugas kami ya tentu berjibun. Simak saja kalimat berikut, Puella terram arat (Gadis membajak tanah). Kami diminta untuk menganalisis kalimat tersebut. Sederhananya, tentukan mana yang subjek, mana yang predikat, mana yang objek. Namun, Bahasa Latin ternyata tak semudah itu. Ujian Tengah Semester kami adalah menentukan casus, numerus, dan genus dari masing-masing kata dalam kalimat itu. Contoh, kata Puella pada kalimat Puella terram arat (Casusnya adalah Nominativus/nominatif. Artinya, di bawah kata tersebut, ditulis  N. Numerusnya adalah singularis. Artinya, di bawah kata tersebut, ditulis S. Genusnya adalah Femininum. Artinya, di bawah kata tersebut, ditulis F). Demikian pulalah dengan kata terram, yang asal katanya adalah terra-ae (tanah, bumi). Sementara, arat (membajak) berasal dari kata kerja arare. Puyeng kan?Â
Dalam Bahasa Latin, dikenal deklinasi (declinatio) dan konjugasi (coniugatio). Setiap kata benda memiliki deklinasi tersendiri, kekhasan dan kekecualian. Kata benda pun dibagi menjadi tiga jenis; masculinum, femininum, dan neutrum. Tentu saja, sekali lagi masing-masing dengan kekhasan dan kekecualiannya. Demikian pula, kata kerja. Contohlah kata benda puella-ae (gadis). Kami diwajibkan menghapal tasrif rosa-ae untuk deklinasi pertama. "Rosa, rosae, rosae, rosam, rosa, rosa!" teriak kami memenuhi seluruh kelas ketika diajak Frater Doni menghapal deklinasi. Sampai akhirnya, kami berhasil mengucapkan dengan lancar, puella pulchra est! (Gadis itu cantik!) Dari beliaulah, saya belajar bahwa tips belajar bahasa jangan dibatin, harus dituturkan dan diucapkan. Tentu, pakai suara yang jelas, lantang, dan lugas. Â
Romo Joannes Madyasusanta, SJ dan Kisah Tivus
Selesai Kelas Persiapan Pertama (KPP), saya mulai masuk kelas 1 SMA dengan kurikulum SMA pada umumnya. Kalau sebelumnya, saya belajar Bahasa Latin, Kepribadian, Liturgi, Sejarah Gereja. Beberapa pelajaran masih dilanjutkan ditambah mata pelajaran mengikuti kurikulum pemerintah. Frater Doni yang semula mengajar Bahasa Latin diganti Romo Madya.Â
Pagi itu, langkahnya mantap memasuki kelas. Beliau memperkenalkan diri. Saya ingat beliau sering bercerita tentang pengalamannya belajar filsafat di Poona, India. Di kemudian hari, baru saya tahu bahwa Romo Madya memang malang melintang dalam dunia bahasa. Sebelum di Seminari Mertoyudan, beliau pernah menjadi Ketua Jurusan dan mengampu kuliah Pengantar Linguistik dan Logika di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta.Â
Kalau boleh saya syukuri, Frater Doni meletakkan dasar yang kuat bagi kami untuk mengikuti kelas berikutnya. Dengan Romo Madya, kami mulai membuka buku kedua dan ketiga, Elementa Linguae Latinae Liber Secundus dan Tertius. Kalau sebelumnya kami sudah mengenal puella pulchra est, sekarang kami harus belajar anak kalimat. "Puer qui ibi stat est pater meus." Begitulah Romo Madya mulai mengenalkan kami dengan kalimat kompleks. Â
Memang, tak ada cara lain semasa SMA dulu selain sering-sering menulis kosa kata baru dan menghapalkannya. Dengan menulis, saya belajar sekali. Dengan belajar menghapalkannya, saya belajar dua kali. Maka tak heran, ada saja kertas kecil-kecil yang saya tulisi kosa kata, deklinasi, dan konjugasi. Kertas itu saya bawa ke mana-mana. Frater Doni sering mengingatkan repetitia est mater scientiarum (pengulangan adalah ibu dari pengetahuan-pengetahuan). Maka, Romo Madya pun tak kalah tegas dengan sesanti lain, cum carta et calamo (dengan kertas dan pena). Beliau ingin menegaskan, ya kalau mau mengulang dan memahami penjelasan, catat!Â
Perjumpaan dengan Romo Madya menyisakan satu kisah. Bagi Romo, mungkin ini adalah keusilan kami sebagai remaja. Tetapi bagi kami, muridnya, sebenarnya alasannya sederhana. Kami tidak siap dan selalu deg-degan ketika ditunjuk untuk  menerjemahkan kalimat dalam Bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia.Â
Romo Madya kami kenal sebagai Romo yang disiplin dan tertib. Demikian pulalah dalam mengenal kami atau memastikan kami hadir di kelas beliau. Beliau pun akan memanggil kami dari urutan awal sampai terakhir. Kami berpikiran positif. Pasti, begitu pulalah kalau memberi tugas untuk menerjemahkan kalimat dalam buku Elementa tersebut. Beliau akan menunjuk dari bangku depan sebelah kiri, dekat pintu keluar, sampai urutan paling belakang.Â
Berbekal keyakinan itu, kalau ada sepuluh soal. Kami pasti akan menghitung berurutan. Kami hitung. Oh, Catur dapat nomor satu. Budi nomor dua, Krisna nomor tiga. Artinya, saya akan kebagian nomor empat. Bagi yang rajin, tentu semalam sebelumnya akan menyelesaikan dan menyiapkan diri lebih dulu. Tetapi, kan semuanya tidak begitu. Beberapa dari kami berprinsip, ya kami siapkan sejauh perlu. Simple! Belum lagi kalau malam sebelumnya ada tugas deadline ini dan itu; majalah dinding, lay out Aquila Majalah sekolah, dan lain-lain. Ternyata, Romo Madya menyadari itu. Akhirnya, beliau pun membuat kami kelabakan. Entah siapa yang membisikkan. Tetapi, beliau yang semula runtut dan urut, jadi mulai random. Inilah genealogi kisah Tivus.Â
Sama seperti kelas Frater Doni, tugas kami adalah mengenali kalimat-kalimat. Begitu terus. Tapi di kelas Romo Madya, kalimatnya sudah tidak lagi sederhana. Contohnya, mulai kami kenal Gradus Comparationis; positivus (tingkat setara), comparativus (tingkat yang mengatakan "lebih"), dan superlativus (tingkat yang mengatakan "ter" atau "paling). Dalam kalimat, Romo mengenalkan bentuk sederhananya misalnya domus alta est (rumah itu tinggi). Untuk mengatakan lebih tinggi, Romo membuat kalimat arbor altior est (pohon itu lebih tinggi). Terakhir, untuk mengatakan yang tertinggi, Romo membuat kalimat turris altissima est (menara itu yang tertinggi).Â
Nah, tuntutannya masih sama, yaitu mengenali casus, numerus, dan genus kalimat yang harus kami terjemahkan dari soal dalam buku. Harus diakui, waktu mengajar kami, Romo memang tak lagi berusia belia. Kalau harus menyelesaikan koreksi jawaban kami, Romo jagonya. Teliti! Tapi tidak kalau sudah duduk di meja guru di depan, lengkap dengan semilir angin yang kadang meninabobokan. Ternyata, tanpa disadari kami justru berhasil melatih kemampuan untuk mengecoh pendengaran Romo dengan suara lirih yang kami buat seolah sudah menjawab pertanyaan beliau.Â
"Arbor altior est quam domus nostra. Denis, domus dalam kalimat ini, casusnya apa?"tanya Romo mantap. Biasanya, Romo akan bertanya kalau kami terdiam sejenak mencermati kalimat Latin yang harus kami terjemahkan. Rasa-rasanya, beliau mengerti kalau saya tidak siap.Â
"....tivus Romo!" jawab saya lirih.Â
"Ya, benar! Nominativus!" tegas Romo Madya.Â
Kami sekelas saling pandang. Eh, lha kok berhasil! Di bangku belakang, beberapa teman saya pun menahan tawa. Saya tahu yang dipikirkan mereka. "Kalau berikutnya ditanya... jawab saja tivus!"Â Dalam hati, mungkin Romo sedang capek. Namun, tidak bagi kami yang harus menahan diri untuk tidak tertidur. Kalau sudah ditanya, rasanya adrenalin mengalir deras berbarengan dengan semilir angin yang membuat kami mudah meletakkan kepala di atas meja. Lha kok ini, ada solusi jitu menjawab pertanyaan romo. Tivus! Haha...
Sebenarnya, tips ini pun tidak dipelajari otodidak. Kisah tivus dituturkan turun temurun dari kakak kelas. Beberapa dari kami yakin bahwa cara ini tak lekang oleh waktu. Beberapa dari kami pun memberanikan diri mencobanya, tetapi lama kelamaan, Romo pun tahu. Suatu hari, beliau menyampaikan, "mulai sekarang, jangan menggunakan kata tivus. Sebut, casus pertama sampai keenam." Hahaha.... mateng!"
Tentang Keteladanan Â
Bertahun-tahun kemudian, saya dikenalkan dengan bahasa Italia semasa PraNovisiat dan Novisiat di Bintaro. Mudah rasanya menguasai kalimat-kalimat dalam buku kursus Bahasa Italia yang kami pakai. Begitu pula ketika mengenal bahasa Perancis dalam les privat menjelang selesai kuliah dulu. Namun, karena lama tidak digunakan, lupa tentunya. Tetapi, Bahasa Latin ternyata masih mampu saya ingat dengan baik. Dari sinilah saya sadar bahwa kecermatan tata tulis memberi dasar yang kuat dalam kesadaran tertib berbahasa.Â
Romo Madya tak ubahnya paket lengkap pribadi yang tertib dan disiplin. Pembelajaran di kelas beliau mengakar kuat pada sikap hidup dan teladan keseharian beliau. Sebagai guru, beliau selalu berpenampilan necis dengan balutan batik lengan panjang. Kalau memakai baju biasa, beliau pasti mengenakan lengan panjang yang selalu rapi dimasukkan, lengkap dengan sabuk dan ujungnya tidak pernah digulung. Begitu pula dengan rambutnya yang selalu rapi. Entahlah, mungkin beliau memakai Pomade yang membuat rambutnya rapi dan selalu mengkilap dari pagi hingga ujung hari kami bertemu. Kacamatanya tebal. Sepatu pantofel kulitnya pun mengkilap karena rajin disemir. Dan, beliau pun selalu menjinjing tas kulitnya yang khas. Saat menulis ini, saya berpikir beliau berkeyakinan bahwa penampilan pun dapat  memberi keteladanan sebagai seorang guru, yang digugu dan ditiru.Â
Tentu, tak berlebihan jika saya meyakini, Romo tak ubahnya sedang mempraktikkan pitutur luhur, Ajining Dhiri Ana ing Lathi, Ajining Raga Ana ing Busana. Ucapan memegang peranan penting bagi seseorang karena diyakini harga diri seseorang ditentukan oleh ucapan. Maka, seseorang harus berhati-hati menjaga ucapannya. Demikian pula dengan pakaian yang memegang peranan penting bagi seseorang. Orang dengan busana atau pakaian rapi tentunya menaikkan martabatnya.Â
Satu keteladanan yang tak saya lupakan adalah kerendahan hati dan ketaatan beliau pada pimpinan. Suatu hari, saya pernah mengunjungi kembali Seminari Mertoyudan. Lagi-lagi, beliau menunjukkan kehangatannya sebagai seorang guru yang mengenal saya secara pribadi. Beliau ingat nilai Bahasa Latin saya selalu bagus. Rasa bangga yang beliau tunjukkan tak ubahnya seorang bapak yang bahagia melihat anaknya berhasil.Â
Menjelang purna tugasnya, saya mendengar bahwa beliau tetap ingin melayani di SMA Seminari Mertoyudan. Namun, lagi-lagi ketaatan pada pemimpin membuatnya rela meninggalkan almamater kami menuju Girisonta.Â
Terima kasih Pak Doni dan Romo Madya untuk teladan dan bimbingannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H