Bicara tentang literasi, ruangan ini mungkin terlalu sempit. Tetapi, saya ingin sedikit berbagi tentang kegelisahan saya tentang media. Tulisan ini semoga menginspirasi.Â
Satu kesadaran ketika menulis ini, saya merasa literasi menjadi paradigma pengetahuan yang disematkan dalam hampir semua topik. Uniknya, terminologi ini ruang lingkupnya berdekatan artinya dengan pengetahuan. Misalnya saja, literasi digital artinya pengetahuan tentang hal-hal seputar dunia digital, keamanan transaksi, proteksi, dan penggunaannya dengan bijaksana.Â
Literasi keuangan kurang lebih dapat berarti pengetahuan tentang pengelolaan aset atau kapital sesuai peruntukannya. Di sekolah pun kita mengenali literasi sains dan literasi media. Menurut hemat saya, istilah ini mewakili pemahaman bahwa bicara tentang literasi, kita masuk dalam ruang lingkup pembicaraan yang lebih luas. tidak saja soal melek aksara, tetapi soal praktik holistik yang melibatkan kegiatan berbicara, menulis, membaca, menyimak, memproduksi ide, dan mengkonstruksi makna.Â
Badai Informasi Media DigitalÂ
Sejak pandemi merebak, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi metode pembelajaran di setiap jenjangnya. Jika semula pemakaian gawai dibatasi, PJJ mensyaratkan gawai sebagai satu sarana penyampaian pembelajaran. Tidak saja ponsel, tablet, laptop, atau PC. Di beberapa daerah yang tidak didukung sinyal memadai, handytalkie pun dapat digunakan sebagai sarana penyampaian pembelajaran.
Menariknya, jika sebelumnya Learning Management System (LMS) belum begitu dibutuhkan, mau tidak mau sekarang harus menggunakan LMS agar pembelajaran dapat ditunjang, terukur, efektif, dan efisien. Dalam situasi seperti ini, saya pribadi sepakat bahwa siswa tumbuh dalam lingkungan baru yang dibanjiri aneka stimulus visual.Â
Stimulus visual ini bentuknya dapat beraneka macam. Tidak hanya tayangan YouTube dengan aneka content yang tersedia, lingkungan visual sangat berdekatan dengan games teranyar. Ditambah pula mudahnya akses pada materi digital dalam berbagai bentuk. Beberapa platform menyediakan layanan film dengan berbagai genre.Â
Tentu tak ketinggalan, media sosial dengan semua tawaran fitur yang menggiurkan. Dan kini, materi pembelajaran menjadi salah satu stimulus yang menggunakan media digital. Pernyataan yang perlu ditegaskan adalah media pembelajaran pun perlu disajikan dengan menarik dan dapat dibaca sebagai sarana penyampaian isi pembelajaran.
Jika elemen visual (ilustrasi, gambar, infografis, dan bagan) sudah masuk di dalamnya, media pembelajaran ini berpotensi menjadi sarana yang efektif pula untuk membangun konstruksi pemahaman dan sikap kritis siswa atas badai informasi yang ditawarkan media digital.Â
Dari Power Point ke Power PointÂ
Pertama, maaf jika menyebut merk. Tetapi, mengingat sifatnya sharing, tidak mengapa jika saya menceritakan pengalaman pribadi saya. Mulanya, saya sangat suka dengan Microsoft Power Point. Power Point memudahkan saya untuk menyampaikan ide-ide saya di depan penguji skripsi dan tesis.Â
Tapi belakangan, siswa saya membantu mengenalkan saya pada beberapa media presentasi. Uthak-athik berhadiah, saya mencoba menggunakan prezi, canva, dan visme. Prinsipnya, tentu saja sama. Satu hal yang berubah. Semula presentasi dominasi tulisan yang kaya dengan teks tanpa mengindahkan apakah pembaca mampu melihat, memahami, dan mengerti yang disampaikan. Kini, presentasi menjadi elemen visual dan narasi yang mengindahkan aspek estetika dan mudah dibaca tentunya.Â
Pengalaman yang sama pun saya dapatkan di bangku kuliah. Ketika mendapat tugas kelompok, saya mencoba mendesain materi presentasi sedemikian rupa. Â Selain menampilkan tulisan, saya tambahkan cover bukunya seperti contoh di bawah ini:Â
Bagi sebagian teman kuliah, presentasi di atas dirasa kurang. Sebagian berpandangan bahwa perlu penjelasan apa itu History of Java, siapa penulisnya, ringkasannya seperti apa. Tetapi, bagi dosen dan sebagian teman lain, presentasi di atas cukup membantu pemahaman karena dirasa secara estetis menarik dan terbaca dengan baik.Â
Ternyata, hal itu tidak cukup. PJJ menuntut saya mencari cara bagaimana menyampaikan materi pembelajaran sehingga siswa dapat mengulang kembali penyampaian di kelas. Mulailah saya mengenal OBS, screencast-o-matic, loom, dan bandicam. Setidaknya dengan aplikasi ini, saya bisa menyampaikan presentasi, tidak hanya suara saja, tetapi saya pun terlihat.Â
Untuk pertama kalinya, tentu ini tidak mudah. Namun, situasi membuat saya harus belajar pula untuk menyesuaikan diri. Belakangan, ternyata Microsoft Power Point pun memungkinkan saya mempresentasikan materi pembelajaran sekaligus menampakkan saya yang sedang menjelaskan materi tersebut.Â
Menuju Literasi Visual
Badai informasi visual dan pengalaman yang saya sharingkan tadi setidaknya menjadi refleksi yang menarik. Literasi visual adalah kecakapan yang penting di era digital seperti saat ini. Kecakapan ini adalah keterampilan untuk memahami, mengapresiasi, menginterpretasi, memahami tujuan di balik penciptaan gambar sebagai simbol makna, dan mengomunikasikan gagasan melalui gambar/simbol visual secara baik dengan memperhatikan elemen bentuk, garis, sudut pandang, pewarnaan, dan pencahayaan.Â
Sebagai kecakapan, elemen visual layaknya sistem tata bahasa. Ia memiliki tata bahasa tersendiri yang diwakili oleh elemen bentuk, letak dan warna. Sistem tata bahasa ini tercipta karena gambar berperan sebagai simbol yang menyampaikan makna dari kreator gambar tersebut. Gambar adalah medium komunikasi visual. (Dewayani, 2017:45-46)
Jamak terjadi, ketika menguasai bahasa tulis, gambar menjadi kecakapan mekanis yang dianggap hanya dimiliki oleh mereka yang berbakat. Gambar bukan pertama-tama keterampilan berkomunikasi melalui ekspresi kreatif, melainkan kecakapan seni. Pengalaman saya pun sama. Kemampuan menulis dapat saya pelajari melalui pelajaran di ruang formal dan non formal.Â
Namun, presentasi dengan bahasa visual yang menarik, didukung gambar, diagram, dan infograsi yang tepat, saya pelajari justru dari pengalaman mengenali media yang dipakai untuk presentasi. Bahkan, saya pun diajari oleh beberapa siswa yang lebih dulu mengenali media tersebut. Saya bisa memahami kesulitan saya bahwa bahasa visual yang saya gunakan mulanya sebatas melengkapi presentasi. Dan, yang saya alami itu pun sudah menggugah kemapanan bahasa verbal dan tulisan.Â
Namun, lain halnya bagi siswa. Saya meyakini bahwa siswa sangat akrab dengan media visual-digital. Siswa memiliki berbagai referensi yang berupa gambar bergerak, suara, dan pengalaman interaktif yang terintegrasi. Referensi ini tentu saja menghadirkan pengalaman keterlibatan yang mengasyikkan. Singkatnya, tidak saja aspek kognitif dan afektif, referensi ini memacu aktivitas motorik.Â
Dalam situasi saat ini, tantangan tidak lagi anggapan bahwa media visual-digital tersebut dapat mengancam minat belajar siswa, tetapi menghadirkan materi pembelajaran yang mengintegrasikan ketiga aspek tersebut juga perlu dilatih terus menerus. Itulah sebabnya, saya pribadi meyakini bahwa kelas yang menghadirkan dan memperkaya ragam referensi visual menjadi kelas yang ditunggu, dicari, dan mengasyikkan.Â
Bahasa visual-digital tidak dapat saya hindari. Informasi-informasi yang ada di berbagai media menyajikan gambar, infografis, poster, bahkan audiovisual. Contohlah kalau harus bepergian ke suatu tempat yang belum diketahui, google map menyajikan pencitraan wilayah, jalan tercepat, dan waktu tempuh efektif untuk mencapai tujuan tersebut, lengkap dengan petunjuk audionya.Â
Untuk itulah, saya berpikir bahwa pembelajaran pun kini perlu memberi ruang bagi siswa untuk mampu menyajikan gagasan melalui bahasa visual. Selain menarik, bahasa visual adalah kecakapan yang memungkinkan komunikasi yang efektif. Di ruang inilah, siswa mulai belajar mengenal makna.Â
Tidaklah sulit melatihnya. Aktivitas dapat dimulai dengan membuat catatan mindmapping, peta konsep, infografis, menyajikan penjelasan dengan bagan, tabel, atau grafik. Demikian pula ketika menyimak penjelasan verbal, perlu berlatih pula untuk membiasakan diri membuat peta konsep atau dalam bentuk gambar.Â
Selain menyingkat waktu, informasi yang tersaji dalam bentuk infografis jauh lebih efektif, efisien, dan mudah diingat. Jika dalam pembelajaran ada film pendek yang dipakai sebagai stimulus, sajikanlah pula ide penting dalam film tersebut dengan gambar. Dengan demikian, gerak pembelajaran perlahan mulai masuk dan berada dalam wilayah analisis, evaluasi, dan kreasi. Saya pun masih terus menerus belajar dan melatihnya.Â
Semoga menginspirasi,Â
Kala Pandemi 2020
Bahan Bacaan:
Dewayani, Sofie. (2017). Menghidupkan Literasi di Ruang Kelas. Kanisius: Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H