Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adi Meliyati Tameno: Guru Disayang, (Bukan) Guru Ditendang

10 Maret 2016   10:16 Diperbarui: 10 Maret 2016   10:37 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* 2013: Meliyati minta honor di bendahara tapi tidak dibayarkan.

* 2014: Ada masalah interen sekolah. Salah satunya Banwas nyatakan SPJ Kepala Sekolah (Kasek) SDN Oefafi Daniel Sinlae tidak sah.

* 22 Desember 2015: Meliyati SMS bendahara (Isi SMS Meliyati: 'bendahara dan kasek cairkan dana bos bagi pake uang natal sedangkan saya disuruh kerja' . Dibalas bendahara; 'ibu pung SMS saya teruskan ke kasek'. Meliyati: 'mau pi mana sa SMS na silahkan'

* 18 Januari 2016: Daniel pecat Meliyati karena SMS itu

* Akhir Februari 2016: Meliyati diperiksa aparat Polres Kupang sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Daniel.

* 2 Maret 2016: Kepala SDN Oefafi diganti. Guru-guru minta Meliyati masuk kerja lagi seperti biasa.

* 3 Maret 2016: Meliyati mengajar para murid SDN Oefafi meski dia belum dipekerjakan lagi atau tidak oleh kepala sekolah yang baru.

Nah, seturut keterangan kronologi di atas, dan dari logika saya, untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 250.000 itu saya pikir bukanlah hal yang sulit. Saya rasa menjadi guru itu pekerjaan yang mulia. Meski didengungkan sekolah gratis, tentunya orang tua murid pun akan terbuka matanya kalau diterangkan dengan baik bahwa sekolah membutuhkan uluran dana kalau toh memang terkendala keuangan yang "katanya" diberikan triwulanan tersebut. Saya sendiri tidak setuju dengan adagium bahwa sekolah itu gratis. Di mana-mana sekolah itu bayar. Minimal bayarin uang jajan anaknya. Maka, kalau demi pendidikan anak, orang tua manapun pastinya akan dengan sigap membantu sekolah. Tidak ada yang keberatan tentunya jika sekolah cukup transparan. 

Pertanyaan saya kembali terusik dengan soal SPJ tadi. Memang, agak membingungkan kalau toh dana BOS yang dicairkan triwulanan, sementara setiap bulan operasional sekolah harus jalan. Untuk menggaji guru honorer, atau operasional lain, dicarikan dulu dana talangan. Sepengetahuan say, di sekolah, ada yang namanya dana komite yang dikumpulkan swadaya. Tentunya ada bendahara sendiri. Di sinilah peran komite yang bisa menggerakkan orang tua untuk urun rembug demi kebaikan putra-putrinya yang bersekolah di tempat itu. Persoalannya tentu kalau tidak teliti, jadinya gali lobang tutup lobang. Ditalangi dulu baru kemudian ditutup begitu dana BOS cair.

Tak heran saya kalau sebagaimana dituturkan bu Adi Meliyati ditemukan adanya "SPJ Abal-Abal" oleh Bawas. Bagi saya, ini sudah dugaan miring larinya Dana BOS tidak pada tempatnya. Saya berasumsi kalau 70juta itu satu tahun. Dalam tiga tahun tentunya ada 210 juta. Uang yang tidak sedikit untuk SDN Oefafi tentunya. Kemana uang ini? Mengapa harus memakan hak guru honorer? Apakah tidak pernah ada audit? 

Saran saya, kalau toh memang benar ditemukan ada penyimpangan, proses itu. Jangan malah soal SMS si ibu yang dipermasalahkan. Gaduh hanya karena SMS. Untuk kasus yang justru lebih besar malahan rapat tertutup, tidak ada ekspos. Untuk kepala sekolah, sebagai pemimpin, maupun sebagai team leader di sekolah itu, saya merasa tindakannya sungguh tak pantas. Tak pantas karena perannya adalah guru yang diperbantukan untuk tugas sebagai kepala sekolah. Seharusnya, selain mengayomi hak masing-masing guru dalam timnya, juga menjadi contoh yang baik di tengah masyarakat. Di sana, sudah sepantasnya ada transparansi, termasuk di dalamnya soal keuangan. Kalau tiga tahun tidak terdeteksi di tengah masyarakat, saya berpikir ada yang aneh juga di sekolah itu. Mengapa tiga tahun bisa berjalan mulus tanpa adanya protes sana-sini. Justru inilah yang bagi saya mengganggu pikiran saya menyaksikan ekspos Ibu Adi Meliyati Tameno pada Apa Kabar Indonesia Pagi, pagi tadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun