Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adi Meliyati Tameno: Guru Disayang, (Bukan) Guru Ditendang

10 Maret 2016   10:16 Diperbarui: 10 Maret 2016   10:37 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Adi Meliyati Tameno di kediamannya (kupang.tribunnews.com)"][/caption] 

Kisah mengharukan seminggu ini tidak terlalu menarik dalam benak saya untuk saya renungkan dan saya tulis di Kompasiana. Mengapa? Karena potret pendidikan di daerah itu kurang lebih pernah saya alami dari SD Kelas 2 hingga SMP Kelas 3. Kala itu, saya tinggal di daerah dekat perbatasan Timor Timur dan NTT. Tepatnya, di Kecamatan Zumalai, Kabupaten Covalima.

Bagi saya, potret pendidikan di luar pulau Jawa yang pernah saya alami sedikit banyak membuat saya maklum untuk beberapa kasus yang terjadi di daerah itu. Namun, tentunya lain dulu, lain pula sekarang. Kasus bu Adi Meliyati Tameno, seorang guru  honorer yang mengajar kelas 1 dan 2 di SDN Oefafi, Kecamatan Kupang TImur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mau tak mau menggugah benak saya. Ada yang tidak beres dengan diberikannya sanksi pemecatan sepihak dari atasannya. Belum lagi, hanya karena mengirim SMS dan menanyakan gaji yang seharusnya menjadi hak bu guru tersebut, bu Adi Meliyati Tameno harus menghadapi tuntutan pidana atas pelaporan dugaan pencemaran nama baik. Segitu gampangnya? 

Untuk ukuran guru honorer, saya bisa paham bahwa gaji yang diberikan tidak seberapa, Rp. 250.000. Itu pun diberikan tiga bulan sekali. Asumsinya, perkiraan saya adalah siklus PTJ atau LPJ Dana BOS yang biasanya tri wulanan. Padahal, biaya operasional tentunya jalan setiap hari aktif sekolah.

Tentunya upah ini jika dibandingkan dengan Upah Minimum Propinsi NTT tidak ada apa-apanya. Seharusnya seorang pekerja, apa pun itu pekerjaannya, mendapatkan upah di atas 1 juta, untuk standar bisa dikatakan layak. Meski tidak dapat dibandingkan di kota besar, upah sekian ini menjadi standar diterimakannya gaji seorang pekerja. (bisa dikoreksi kalau saya salah, karena ini pendapat pribadi saya). 

Nah, tentunya jauh panggang dari api. Jangankan di luar Jawa. Di Jawa sendiri pun, upah segitu ada yang diberikan pada seorang guru honorer atau wiyata bakti. Tak sebanding memang dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan dari pihak sekolah atau instansi terkait. Belum lagi, kalau pembicaraan kita di jenjang SD, sangat jauh dari standar yang seharusnya diberikan. Kadang bisa dipikirkan, antara gaji yang diterima oleh seorang guru honorer belumlah cukup menutup biaya proses pendidikan yang selama ini telah dienyam masing-masing hingga ke jenjang perguruan tinggi. 

Kembali kepada kasus Ibu Adi Meliyati Tameno tadi. Sebelum berangkat, saya pun sempat melihat ibu ini dihadirkan dalam segmen kedua Apa Kabar Indonesia Pagi, 10 Maret 2016. Kalau memang benar kejadiannya adalah tidak dibayarkannya upah selama tiga tahun. Asumsinya kalau masing-masing triwulan mendapat Rp. 750.000, berarti ibu ini mendapat 9 juta. Belum lagi, dari gaji yang telat dibayar itu, ibu ini harus menjual es mambo. Uang yang didapat kemudian dipakai untuk membeli ATK, bahkan untuk anak. Pertanyaan saya jadinya adalah ke mana dana BOS yang diberikan selama ini mengalir? Apalagi dalam kisahnya, sejak menjabat sebagai Kepala Sekolah pada 2013, Daniel Oktovianus Sinlae tidak pernah melakukan pembayaran honor dan insentif guru honorer. Pun, ditambahkan Aritus Benu, Bendahara Sekolah tersebut, bahwa setiap tiga bulan, SDN Oefafi menerima Rp. 17,5 juta untuk pembayaran gaji dan honor. Asumsi saya, berarti dalam satu tahun, SD tersebut memperoleh Rp. 70 juta. Lha untuk uang sebanyak ini, larinya kemana saja? Kan aneh kalau menurut keterangan lisan yang direlease ada segmen kedua ini ada kendala pencairan dana. Hari gini bro, cairin dana susah? Bukan jaman tahun 90-an kale....

Dari release Pos Kupang, diperoleh keterangan dari Adi Meliyati Tameno sebagai berikut: (sumber: Disini )

* 2009: Adi Meliyati Tameno jadi guru honor di SDN Oefafi dengan gaji Rp 250 ribur per bulan.

* 2009-2010: Honor lancar dibayar setiap bulan

* 2011-2012: Honor tidak dibayar saban bulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun