Lagi, musikmu itu jazz. Saya tak banyak tahu Joey. Saya awam untuk main jazz. Paling-paling yang asyik di telinga saya adalah karya Dave Koz yang bisa saya mainkan dengan biola. Yah, saya hanya bisa menikmati. Bagi saya, musikmu musik mahal. Mahal beli pianonya, mahal kursusnya, mahal pula tiket masuk ruang konsermu. Makanya, saya cuma bisa keplok-keplok seperti penontonmu. Standing ovation.
Joey, antara kita saja ya. Diem-diem. Jangan bilang-bilang. Dari berita soal gagal tadi, apa ada yang dengan jujur mengulas musikmu? Kalau ada yang mengulas dengan berimbang, tempomu, dinamikamu, artikulasi sentuhan tutsmu, interpretasimu, dan itu ditulis dengan jujur, usahamu bertanding dengan para dedengkot jazz membuat kata gagal itu manis terasa. Lho kok bisa? Karena itu kesuksesan yang tertunda. "Yeay..."
Joey, apa yang saya tulis ini tentunya kalau semua berangkat dari standing point yang sama. Tapi nyatanya tidak lho ya. Ini namanya media framing. Kata gagal bukan soal keseimbangan lawan kata, tapi tetap getir terasa. Kata tersingkir juga jadi kata yang miskin makna. Maklumlah, itu yang menarik mata untuk membaca. Joey, abaikan saja. Untuk anak seusiamu... You are the most talked prodigy child. Ah keren istilah ini. Bahan meme lho Joey. Yang penting sekarang, Joey, nggak usah gunting rambut biar membantumu untuk nutup kupingmu. Keren lho. Terus berkarya, lagi... Tutup kuping sajalah ya.
*selamat malam Joey, salam untuk Tante Nafa Urbach.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H