Mohon tunggu...
Denis Guritno Sri Sasongko
Denis Guritno Sri Sasongko Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Belajar menulis populer di Komunitas Guru Menulis dengan beberapa publikasi. Pada 2020, menyelesaikan Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Indraprasta PGRI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menteri Yohana: Stop "Konten Terlarang", Stop HP, (Apa Buka) Wartel Saja?

17 Februari 2016   23:06 Diperbarui: 18 Februari 2016   07:43 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kelas biola | dok pribadi"][/caption]

Hurray... Happy Valentine. Eh, nggak nyambung ya. Yah, selamat merayakanlah. Oh kelupaan, pada perayaan kemarin juga diselenggarakan Deklarasi bertajuk 'Akhiri Kekerasan Perempuan dan Anak Serta Stop Perdagangan Orang' di Plaza Barat Gelora Bung Karno, Jln. Asia Afrika.

Sadar atau tidak, kekerasan terhadap perempuan dan anak memang sangat memprihatinkan. Tak bisa dibayangkan anak seusia PNF, Angeline, atau yang terakhir J yang meregang nyawa di Depok beberapa waktu lalu. Pelaku tak jarang orang terdekat. Singkatnya, kekerasan, pelecehan seksual, dan pembunuhan jadi keprihatinan bersama. Minimal, dari sering munculnya berita kekerasan di media, cukuplah jadi indikasi awal adanya peningkatan kasus.

Namun, saya sedikit terkejut lagi bingung dengan yang diungkapkan Ibu Yohana Yambisse. Menurutnya, tak sedikit kasus kekerasan berawal dari situs yang bisa diakses melalui ponsel. Alhasil, beliau mengimbau agar pihak sekolah membuat peraturan yang melarang pelajar membawa ponsel ke sekolah. Baginya, peraturan ini cukup efektif menjauhkan anak dari hal-hal negatif, seperti kekerasan dan pornografi. Bahkan, Yohana pun menegaskan, "Nanti kami akan membuat peraturan ini, agar anak usia sekolah tidak membawa handphone ke sekolah. Anak-anak hanya boleh menggunakan handphone dua jam sehari," ujar Yohana. (http://touch.metrotvnews.com/read/2016/02/14/483873)

Sampai di sini, saya menghentikan kunyahan sate ayam yang sudah masuk mulut saya, sedikit mengerinyitkan dahi. Mikir. Lalu ngunyah suapan terakhir sate ayam yang saya beli di depan kompleks tadi. Nanggung. Suapan terakhir. "Bisa-bisanya punya ide membuat regulasi megang hp hanya 2 jam sehari?” Saya gagal paham.

Bu, ibu... Jadi guru itu gampang-gampang susah. Di sekolah saya, sudah mendahului aturan itu Bu. Setiap anak masuk sekolah, hp atau tablet langsung dititipkan di pos satpam. Mereka baru boleh menggunakannya setelah jam sekolah. Tapi jangan salah ya bu. Larangan ini bukan tanpa masalah. Anak-anak sudah banyak juga yang kritis. Kalau anak nggak boleh pegang hape, gurunya juga dong. Haha... Ingat kan bu pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. "Kasih contoh dong pak." celetuk murid saya. Nah bu, saya harus gimana? Tapi itulah konsep adil menurut anak-anak. Dilarang ya sudah, tapi semua harus sama. Sama-sama ndak pegang hp.

Belum kalau bicara soal pembelajaran bu. Saya ngajar musik. Mau nggak mau, suka nggak suka, anak didik saya bersentuhan dengan gadget. Sering saya meminta anak-anak mencari, melihat, dan belajar dalam kelompok. Minimal, saya tidak perlu berceloteh menggurui terus. Anak-anak saya pun senang kalau aktif dan mencari tahu. Saya tinggal memberi stimulus dan materi yang perlu dikerjakan. Dan materi itu pun tak jauh dari youtube, cpdl, musescore, dan freescores.com. Semua memanfaatkan gadget Bu.

Ibu yang baik, mungkin ibu perlu sesekali refreshing dengan membaca buku Filsafat Teknologi. Berat memang. Tapi, untuk orang sekaliber ibu, buku ini cocok memperluas khasanah semantik dan pemahaman ibu. Singkatnya begini Bu. Anda akan berkenalan dengan filsuf Jerman. Heidegger namanya. Kurang lebih bisa diringkas demikian, berhadapan dengan teknologi, manusia sudah masuk dalam situasi "terbingkai". Suka tak suka, orang tidak akan pernah bisa lepas dari teknologi sekalipun itu yang sederhana. Jangankan soal hp. Ke kantor pun sekarang ibu nggak pakai mobil buatan Flintstone kan? Ingat kan ya Bu, mobil yang harus digowes pakai kaki itu? Atau jangan mobil deh, ibu  mandi saja sekarang sudah pakai gayung. Gayung itu saja sudah teknologi sederhana. Lha kembali soal hp, apa ya mungkin anak-anak ini nggak pegang hp? Setengah jam nggak bbm, WA, snap chat, selfie rasanya mau perang dunia ke-3. Lha ini kok malah dilarang. Apa ibu mau pelajaran musik saya isi dengan cara klasikal? Di era saya, masih sempat saya temui memperkenalkan not balok dengan tulisan tangan. Lha sekarang kan ada program Sibelius. Belum lagi ada program yang terintegrasi di iPad. Bisa dengar nadanya lagi kalau fals. Anak-anak ini sudah melek internet bu.

Lha kalau pelajaran musik, lalu anak-anak saya bawa ke lapangan. "Anak-anak, kita ke lapangan ya. Kita meditasi sambil mendengar suara harmoni alam. Dengarkan kicau burung." Hushhaaaa.... Sembari menghembuskan nafas. Ibu, ibu... Di saat sekolah perlu menggalakkan pendidikan berbasis ICT, ibu mau membatasi. Lemes saya.

Ibu yang baik, saya sungguh sadar masifnya efek negatif gadget. Tapi,  Apa iya guru dan orang tua harus terus mengawasi anak kita ini 22 jam untuk memastikan mereka tidak melihat konten-konten terlarang? 2 jam bisa jadi mereka brutal lho. Selfie, bbm, WA... Kalau perlu kabur dari rumah. Saya ndak habis pikir. Ada pelarangan, tapi anak-anak bisa nyanyi "mau bilang cinta, tapi kutak...." Astaga ibu, yang bahaya juga ada sinetron-sinetron high rating itu lho.

Menurut saya ibu juga lucu. Ibu berinisiatif melarang. Kasihan pabrik hp bu. Nanti ada berapa ribu buruh yang diPHK. Online shop omsetnya berkurang. Dagangan hp jadi beralih dagang voucher listrik karena voucher hp nggak laku. Lha gimana mau laku, HP tidak diproduksi. Era telepon rumah berjaya lagi. Nah, sampai di sini, mbok ya sekalian ditawarkan deklarasi pendirian kembali wartel-wartel yang tutup. Dengan dibukanya wartel di sekolah, masalah dengan orang tua beres tentunya. Ibu tentunya malas kan mendengar protes dari pihak sekolah dan orang tua?

Ibu yang baik, kita itu sudah lelah  dengan masalah dunia pendidikan di Indonesia. Baca berita kan bu? Lima guru honorer meninggal dunia pasca demo kemarin. Guru ya bu. Nggak kepikiran kan soal kami yang harus berjuang pakai demo segala.  Satu lagi beban yang tak tertanggung olehmu, kau bebankan di pundak kami. Ibu, ibu... Kalau bercanda mbok ya yang serius.

Ibu, soal konten terlarang adalah soal sosial budaya. Regulasi adalah soal pan opticon. Soal pengawasan. Soal pembinaan. Rasanya bisa dipakai cara-cara lain yang lebih efektif. Saya jadi ingat kuliah sosiologi dari dr. Ery Seda. Ia mengatakan bahwa soal perilaku menyimpang, selalu perlu internalisasi nilai-nilai dan pengetahuan yang memadai. Maka, buat dong program sosialisasi masif, kumpulkan anak-anak dan orang tua. Jangan ajari tapi bagikan keteladananmu. Lha ini kok malah pengen ngasinin lautan. Lautan sudah asin bu. Ngapain dikasih garam? Pepatah jawa mengatakan ojo nguyahi segoro. Sia-sia bu.

Masalah anak dan perempuan kompleks bu. Makanya perlu kajian yang bijak dan fokus, tanpa menyisakan masalah baru.
Tapi ya itu tadi. Aku mah apah atuh. Jika tetap diberlakukan, sekolah kami sudah menerapkan. Moga-moga, kelas musik saya tidak jadi kelas lebay karena masuk angin keseringan meditasi dengar suara harmoni alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun