Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
(Sartono, Pencipta Lagu Hymne Guru)
Ingat lirik lagu di atas? Ya, itu adalah hymne guru yang paling tidak pernah akrab di telinga kita semasa mengenyam pendidikan. Lagu ini adalah buah karya Sartono, seorang guru musik yang mengajar di SMP Katolik St. Bernardus Madiun, Jawa Timur, pada 1980-an. Ia menghembuskan nafas terakhir di RS Daerah Kota Madiun pada 1 November 2015, sekitar pukul 12.50 WIB. Penyebabnya adalah komplikasi gejala stroke, sakit jantung, kencing manis, dan penyumbatan darah di otak.
Kisah sukses lagu ini sebenarnya tak lain adalah menangnya Sartono pada lomba cipta lagu pendidikan di tahun 1980. Kala itu, Sartono mengalahkan ratusan peserta dan dikirim ke Jepang untuk studi banding. Namun siapa sangka, di balik kesuksesannya, syair indah yang ia ciptakan berbalik kepadanya sendiri. Ia purna tugas pada 2002 dengan tetap menyandang gelar, GURU HONORER. Artinya, ia tak punya jaminan apa-apa. Pensiunan pun tidak karena ia bukan PNS. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sartono_(guru)Â )
Â
Tentang Demo Honorer K2
Pagi ini saya terhenyak dengan berita di laman kriminalitas.com. Jelas terpampang judul "Tuntut Jadi PNS, Forum Honorer Geruduk Istana." Miris karena pastinya di situ ada tenaga pendidik. Guru. Tapi itulah kenyataannya. Bicara soal profesi. Yang namanya guru, entah honorer atau PNS, pastinya berperan penting dalam melahirkan generasi yang unggul. Lagi, tak peduli honorer atau PNS, guru tetaplah guru. Kalau tidak, syair lagu pak Sartono pastinya akan kurang indah jika diubah,"Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Guru PNS." Yang honorer, sementara jangan ngiri dulu. (http://kriminalitas.com/tuntut-jadi-pns-forum-honorer-geruduk-istana-negara/) Â
Istilah Honorer K2 sebenarnya banyak padanannya. Paling tidak yang berdekatan adalah tenaga wiyata bakti. Di kalangan instansi pendidikan, honorer K2 ada kalanya dipandang sebagai posisi yang tidak menguntungkan. Selain masalah pengangkatan menjadi masalah yang bertahun-tahun tidak terselesaikan, masa pengabdian ideal sebagai wiyata bakti pun ada kalanya hingga bertahun-tahun tidak juga diangkat. Tak ayal, bila kriteria umur akhirnya tidak memenuhi, hingga pensiun, seorang honorer K2 dapat pensiun tanpa jaminan. Belum kalau bicara soal gaji. Jauh dari yang bisa diperkirakan. Maka, wajarlah kalau ada demo.Â
Tentang Guru Honorer
Bapak dan ibu yang baik, terutama yang ikut demo pagi ini di Istana. Saya sendiri sangat berterimakasih karena aksi bapak dan ibu tak lepas dari mata kamera pagi ini. Saya bangga karena bapak dan ibu memakai seragam PGRI, pun dengan gagah berani turun ke jalan, berpanas-panas, sesekali menimpali teriakan orator. Pasti bapak ibu haus, lelah, dan itu pun mungkin tidak mendapat perhatian seperti yang diharapkan. Jauh-jauh datang dari berbagai tempat di Indonesia. Mungkin pikir keluarga bapak ibu ada tugas penting yang harus dilakukan. Tetapi, pastinya misi untuk demo adalah misi mulia memperjuangkan kepentingan keluarga, dan rekan-rekan pegawai tidak tetap seperti saya ini.Â
Idealnya, yang namanya ke Jakarta itu untuk studi banding, atau paling tidak pulangnya, bisa bawa oleh-oleh untuk keluarga. Tapi apa daya, situasi harus berkata lain. Meski harus membuat "anggaran tambahan" yang entah diambilkan dari mana, yang jelas berangkat ke Jakarta adalah harga mati. Jangan khawatir pak, di sekitaran Istana Negara ada kok yang jual nasi uduk murah sama warung tegal yang bisa menyediakan makan siang. Siapa tahu lelah berdemo, bapak ibu lapar dan sedikit melepas penat dengan segelas es teh.
Oh ya, hampir lupa. Tak jauh dari tempat bapak ibu demo, ada tempat nongkrong yang asyik lho. Tahu ndak hayo? Ah sayang kalau bapak ibu ke Jakarta ndak mampir. Nama Toko Es Krim ini adalah Es Krim Ragusa. Tempat ini bersejarah. Berdiri sejak 1932, ragusa menyajikan es krim bercitarasa gelatto Italia yang tanpa pengawet. Letaknya di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat. Makanya, jangan heran kalau suasananya penuh sesak. Siapa tahu dengan nongkrong selepas demo, sejenak bapak ibu bisa rehat sembari melepas penat. Pastinya, demo itu melelahkan. Meski mendung bergelayut manja, pastinya jakarta tetap panas. Es Ragusa bisa jadi alternatif untuk melegakan dahaga.Â
Mengapa tempat ini bisa jadi alternatif untuk beristirahat? Ah saya hanya kepikiran untuk mensharingkan pengalaman pernah nongkrong di tempat itu. Tempatnya asyik, apalagi kalau ditraktir teman, alias gratis. Hehe... Maaf sedikit bercanda. Soalnya, kalau bicara destinasi lain, di Jakarta memang banyak. Sebut saja, Ancol. Siapa tahu bapak ibu ingin sejenak mandi-mandi di Pantai Marina. Atau Tanah Abang, siapa tahu bapak ibu juga ingin berbelanja sebelum pulang ke rumah. Oh ya, maaf saya lupa. Kita sedang bicara tentang demo tuntutan yang sudah bertahun-tahun menjadi keprihatinan kita ini.Â
Saya pun mengalami pengalaman yang sama lho bapak ibu. Apa para pemangku jabatan ini kok ya tidak sadar juga bahwa nasib kita ini juga di tangan mereka ya? Bayangkan saja, lamanya pendidikan yang harus kita tempuh. Playgroup, TK, SD, SMP, SMA, apalagi Universitas. Hayo, hampir separuh umur kita untuk belajar. Apa mereka juga ndak mikir berapa uang yang kita keluarkan hingga menyelesaikan S1 ya? Eh, ada juga lho yang lulus S2 masih honorer. Apa mereka juga ndak bisa ngitung ya. Mahalnya biaya pendidikan kita dengan imbalan yang kita terima? Jangankan tunjangan. Gaji kita saja kalah dengan mereka yang bekerja di pabrik. Upah kita? Jauhhhhhhh dari UMK.Â
Kalau bicara soal lapangan kerja, sering saya berpikir kok sepertinya menjadi PNS adalah suatu alternatif yang menggiurkan saat ini. Cuma sayang, proses menuju target itu, diangkat menjadi PNS harus melewati seleksi yang ketat. Saya pernah lho bapak ibu, ikutan tes-tes yang diselenggarakan demi diangkat menjadi PNS. Untuk satu posisi yang dibutuhkan, saya harus berebut dengan 855 orang. Sewaktu tes, ada yang masih kinyis-kinyis saingan saya. Lha... saya sudah bekerja lima tahun. Jarang lagi menyentuh buku-buku bahan Ujian Masuk CPNS.
Hampir dipastikan, saya gagal. Dan benar tentunya. Pikir saya, bak pungguk merindukan bulan. Mustahil. Ini juga masalah kita yang tak pernah terselesaikan dengan tuntas. Sana-sini penuh aroma janji. Saya setuju jika penerbitan Perpu tentang Pengangkatan K2 menjadi jalan keluarnya disertai dengan hak dan kewajibannya. Memang harus diusahakan, meski kita pun sadar kalau usaha kita tak semudah membalik telapak tangan.Â
Bicara soal menjadi guru, sebenarnya ini adalah panggilan hidup. Adagium, "jodoh, rejeki, dan maut di tangah Sang Empunya hidup" itu pun saya amini sekarang. Maka, meski sembari mengusahakan diri "layak dan pantas" menjadi PNS, tak ada salahnya membidik peluang yang menghasilkan pundi-pundi uang. Jaman sudah berubah bapak ibu. Bukan lagi masa-masa saya kecil dulu yang jauh dari dunia internet, dunia telepon pintar, dan dunia komunikasi global. Apa yang bapak ibu lakukan, saya pun dalam hitungan detik sudah tahu.Â
Itulah sebabnya, saya sekedar rasan dan menyarankan. Mungkin sembari menemani bapak ibu demo. Bolehlah kiranya mampir sebentar ke tanah abang dan pasar baru. Siapa tahu, sepulang dari Jakarta, bapak ibu berkenan untuk bisnis tas atau garmen. Atau sejenak melangkahkan kaki ke Roxy, Glodok, dan Mangga Dua. Bapak ibu bisa melihat-lihat perkembangan gadget yang terkini. Minimal, bapak ibu bisa membangun relasi baru yang lebih luas.Â
Nah, setelah berbelanja, sejenak mari kita lepas dahaga dengan mencecap manisnya Es Krim Ragusa. Saya di sini pun membuat Coffee Latte dingin. Mari bapak ibu... kita makan siang dulu. Demo juga butuh tenaga. Jangan sampai jauh-jauh ke Jakarta, kita harus sakit dan pingsan karena kepanasan atau pagi tadi belum sarapan
Â
*salam_hangat_dari_saya_sesama_honorer
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI