Saat membaca kembali The Art of Thinking Clearly karya Rolf Dobelli, ada salah satu bab menarik perhatian saya. Pembahasan singkat soal paradoks pilihan rasanya relevan dengan kondisi kita saat ini.
Apakah kita pernah merasa bingung dan kerepotan dengan tersedianya berbagai pilihan dalam kehidupan kita sehari-hari? Tentunya pernah.
Tapi apakah belakangan ini kita rasanya semakin dibuat bingung karena pilihan makin beragam.
Waktu kecil dulu, saat daerah asal saya belum seramai sekarang, jika ingin membeli makan malam di luar, hanya ada beberapa pilihan.
Mudah sekali menentukan makanan apa yang hendak dibeli. Kalau tidak soto, ayam goreng, ya sate. Jika ingin yang selain lauk, ada roti bakar yang penjualnya nongkrong hampir setiap hari di dekat alun-alun kota.
Sekarang, banyak sekali pilihan makanan di sekitar sana. Mulai dari martabak, nasi goreng, nasi kuning, seblak, dan lain sebagainya. Saya seringkali dibuat bingung mau memilih yang mana. Tidak jarang akhirnya malah mengurungkan niat untuk membeli karena bingung. Terlalu banyak pilihan yang tersedia.
Kira-kira itulah ilustrasi singkat paradoks pilihan.
Paradoks pilihan pertama kali dipopulerkan oleh Barry Schwartz dalam bukunya yang berjudul The Paradox of Choice -- Why More is Less. Dalam buku tersebut Schwartz mengulas banyaknya pilihan rupanya malah memberikan kerugian psikologis bagi kita.
Schwartz mengutip sebuah penelitian di sebuah supermarket yang mendirikan bilik tempat pelanggan dapat mencicipi selai. Â Disediakan 24 jeni selai yang dapat dicoba dengan gratis, dan jika pelanggan suka mereka dapat membelinya dengan potongan harga. Sebagai perbandingan, pada hari kedua disediakan 6 jenis pilihan selai saja.
Hasilnya? Ternyata penjualan di hari kedua mencapai 10 kali lebih banyak dari hari pertama. Percobaan ini diulang kembali dengan menawarkan produk yang berbeda. Hasilnya selalu sama.