Teknologi ponsel pintar atau smartphone terus berkembang hingga sekarang. Berkat kecanggihannya, banyak hal yang bisa kita lakukan hanya dengan menggunakan sentuhan jemari di layar.
"Pakai smartphone itu, serasa dunia dalam genggaman," ucap salah satu kawan saya saat pertama kali menggunakan smartphone sekitar 10 tahun silam.
Betul yang ia katakan. Kita dapat dengan mudah mengakses berita, terhubung dengan kerabat yang jauh lewat aplikasi perpesanan, berbagi dokumen, hingga layanan keuangan dari benda kecil bernama smartphone. Semuanya serba praktis, mudah, dan cepat.
Namun di balik segala keunggulannya, teknologi smartphone juga memberikan dampak buruk bagi para penggunanya.
Kita mungkin sadar, setelah dimulainya era smartphone, rebahan sambil menatap layar smartphone jadi salah satu rutinitas harian. Tidak perlu bergerak pun, banyak urusan yang bisa diselesaikan dengan smartphone.
Pada kasus yang lebih ekstrim, paparan berlebih terhadap smartphone bahkan menyebabkan kecanduan internet, berkurangnya daya konsentrasi, gangguan tidur, hingga masalah kesehatan mental.
Dumbphone
Beberapa orang ada yang berhasil dalam mengatasi dampak buruk smartphone. Ada yang hanya memasang aplikasi yang penting-penting saja, hingga membatasi waktu bersama smartphone-nya.
Namun, sebagian orang menangani masalah tersebut dengan mundur selangkah, ke kondisi dimana semua belum serba terhubung seperti sekarang. Mereka menggunakan dumbphone, ponsel yang hanya memiliki fitur-fitur dasar, seperti berkirim pesan, telepon, kalender, dan pengaturan alarm.
Dumphone adalah kebalikan dari smartphone. Ponsel bodoh, begitu kira-kira. Jika smartphone bisa melakukan banyak hal, maka dumbphone adalah kebalikannya, dan memang tidak dirancang untuk serba bisa.
Dumbphone sama dengan ponsel Nokia jadul atau ponsel lipat di era awal 2000-an Layar hitam putih, fitur seadanya, dan mungkin punya kamera yang biasa-biasa saja. Hiburannya pun mungkin hanya sebatas main game sederhana seperti Snake, Bantumi, dan Bounce.