Kelompok anti vaksin sebenarnya sudah ada sejak pertama kali vaksin diperkenalkan. Namun pergerakannya terbatas, tidak ada sarana untuk menyampaikan pendapat dan merangkul orang-orang di luar sana yang sepemikiran.
Saat ini penyabaran klaim-klaim yang memperkuat anti vaksin dapat dengan mudah disebarluaskan lewat situs web, blog, dan media sosial. Kita bisa dengan mudah memperoleh informasi hanya beberapa kali klik dan mengetikkan kata kunci di mesin pencari.
Siapa saja bisa membuat konten, baik ahli ataupun penipu. Informasi yang disampaikan pun bisa jadi opini atau fakta, sulit dibedakan. Kontrol konten jauh lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan media massa tradisional.
Dalam sebuah video humor di Youtube berjudul If Google Was a Guy, diceritakan seorang wanita mencari informasi kepada Google yang dipersonifikasi menjadi seorang kantoran.Â
Si wanita mencari informasi tentang vaksin yang dapat menyebabkan autisme. Google kemudian berkata bahwa ia punya sejuta bukti tentang vaksin yang tidak menyebabkan autisme dan satu konten yang menyatakan sebaliknya. Sambil tersenyum, wanita tersebut beranjak dari kursi, mengambil berkas dari Google, dan berkata, "I knew it!".
4. Dalih kasih sayang orang tua
Orang tua sudah sewajarnya menyayangi anaknya lebih dari apapun. Ornag tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak, tidak ingin membuat mereka sakit dan menderita. Rasa kasih sayang ini pula yang membuat orang tua enggan memberikan vaksin kepada anaknya.
Mendapati cerita yang sama dari tetangga atau teman dekat, orang tua bersikukuh tidak memberikan vaksin kepada anak. Mereka berdalih, "kalau mau dibuat sehat, kenapa anak malah dibuat sakit?".
Vaksin terbuat dari substansi penyakit (bakteri, virus, dll) yang telah dilemahkan atau dimatikan sehingga tidak dapat berkembang di dalam tubuh manusia, namun cukup untuk membuat antibodi bekerja. Pemberian vaksin akan membuat antibodi anak siap lebih awal sehingga menurunkan resiko terkena penyakit.