Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist, Dosen

Geologist, Dosen | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Target Hidup dan Persepsi "Ideal" Media Sosial

28 April 2021   17:46 Diperbarui: 3 Mei 2021   18:15 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media sosial membuat stres. (sumber: Highwaystarz-Photography via kompas.com)

Tidak ada definisi yang pasti soal target hidup. Meski begitu, sepertinya kita sepakat bahwa target hidup bisa diartikan sebagai hal-hal penting dan ideal yang ingin kita raih dalam jangka waktu dekat atau pun kelak jika masih panjang umur didapat.

Hal-hal penting dan ideal ini sifatnya sangat relatif. Bagi sebagian orang, memiliki hunian impian dan kendaraan mentereng sebelum berkeluarga adalah hal penting untuk menjalani kehidupan mereka. 

Sebagian lagi tidak muluk-muluk soal kepemilikan benda dan hanya fokus pada kepuasan batin sebagai target utama. Terlepas dari latar belakang dan kriterianya, setiap manusia tentunya punya target hidup yang ingin dicapai.

Selain faktor internal dalam pikiran manusia itu sendiri, faktor eksternal juga berpengaruh terhadap persepsi kita tentang target hidup. Faktor eksternal ini bisa berupa orang-orang terdekat, lingkungan pekerjaan, dan lain-lain. 

Misalnya seseorang yang kerap berada di lingkungan yang memandang kebebasan finansial sebagai target hidup lama-kelamaan akan memiliki pandangan yang serupa.

Seiring dengan perkembangan zaman, faktor eksternal ini kemudian berkembang. Stimulus tidak lagi hanya datang dari tukar pendapat dan wejangan orang-orang sekitar. Media sosial kini ikut memainkan peran dalam membentuk konsep seseorang tentang target hidup.

Sekitar tiga milliar orang, sekitar 40% populasi dunia, menggunakan media sosial. Menurut sejumlah laporan, kita menghabiskan rata-rata dua jam setiap hari untuk membagikan, menyukai, menulis cuitan dan memperbaharui perangkat ini. Artinya ada jutaan konten yang dibagikan setiap jamnya.

Beragam foto, video, dan cuitan sering dilontarkan di dunia maya. Dari banyaknya konten yang bertebaran di jagat media sosial, orang-orang seringkali membagikan momen-momen terbaik dalam hidup mereka dan mendefinisikannya sebagai pencapaian-pencapaian gemilang dalam memenuhi target hidup.

Umum kita jumpai para pesohor media sosial membagikan aktivitas harian mereka, momen liburan, hingga kemesraan dengan pasangan di media sosial. Yang juga jadi tren belakangan adalah pamer bentuk tubuh ideal, ramping, dan berotot lengkap dengan setelan pakaian ketat. 

Photo by Lisa from Pexels
Photo by Lisa from Pexels
Semuanya tampak biasa bagi para pesohor, akan tetapi efeknya jadi berbeda bagi pengguna media sosial kebanyakan. Sadar atau tidak visual menarik media sosial mengubah persepsi soal hidup ideal dan mempengaruhi kesehatan mental kita.

Lembaga asal Inggris, Royal Society for Public Health (RSPH), melakukan survey terhadap 1.479 responden anak-anak muda usia 14 hingga 24 tahun mengenai efek media sosial terhadap kondisi kejiwaan mereka. 

Berdasarkan hasil survey Instagram dinyatakan sebagai yang paling dampaknya bagi kesehatan mental, diikuti platform lain seperti Snapchat, Facebook, Twitter dan Youtube.

Mari kita ambil Instagram sebagai salah satu contoh.

Seperti telah kita ketahui, Instagram menawarkan tempat bagi siapa saja untuk berbagi beragam hal, bahkan hingga yang sifatnya pribadi sekalipun. 

Platform ini juga melanggengkan para penggunanya untuk senantiasa mengunggah bermacam-macam konten sesempurna mungkin sebagai representasi kehidupan ideal. 

Tampilan yang nyaris tanpa cela tersebut mendorong sebagian anak muda untuk menirunya dan memandang keberhasilan para pesohor sebagai target hidup yang harus dicapai.

Media sosial juga ternyata bisa memberikan dampak sebaliknya yang tidak kalah buruk. Foto dan video momen spesial orang-orang yang kita kenal di media sosial juga kerap menjadi pemicu rasa iri dan minder dalam diri penggunanya. 

Dengan melihat suguhan konten-konten tersebut, secara tidak langsung muncul perasaan membanding-bandingkan kehidupan kita dengan orang lain. 

Alih-alih terpacu dan menjadikannya sebagai tantangan, kita malah merasa putus asa dan menganggap kehidupan kita tidak semenyenangkan orang lain.

Jika menilik kembali ke dalam definisi di awal, kehidupan digital media sosial berpotensi mengaburkan poin-poin fundamental dalam target hidup. Ia mengaburkan apa yang penting dan realistis bagi diri kita dan menggantikannya dengan model ideal yang seolah wajib kita tiru. 

Tentu saja media sosial juga memiliki pengaruh positif jika digunakan dengan baik. Media sosial bisa jadi sumber inspirasi dalam mengembangkan diri menuju target hidup yang diidam-idamkan. 

Pondasi yang kuat tentang pemahaman diri adalah kunci memegang kendali derasnya arus informasi masa kini.

Referensi: Satu, Dua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun