Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist, Dosen

Geologist, Dosen | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dulu Diperlakukan Berbeda, Kini Saling Menerima

8 April 2021   10:16 Diperbarui: 8 April 2021   18:02 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Victoria Borodinova from Pexels

Saya dilahirkan dikeluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan kami, dua orang anak laki-laki yang hanya terpaut usia 2 tahun. Lucunya meski memiliki wajah yang jauh berbeda, kami kerap dikira anak kembar karena ciri khas berpakaian yang sama: celana pendek dan kaos bergambar super sentai berwarna gelap.

Seingat saya masa kecil kami sangat menyenangkan. Kami cukup kompak dalam hal permainan dan kenakalan, misalnya sama-sama suka menghiasi dinding rumah dengan coretan pensil dan bolpoin, menabrakkkan sepeda roda tiga ke kursi dan meja, dan menjatuhkan diri ke selokan tanpa alasan. Tapi jika ditelaah lagi, mungkin tindakan-tindakan di atas berasal dari saya yang petakilan lalu ditiru adik saya yang lebih kecil, hehe.

Memasuki usia sekolah, perbedaan mulai terlihat jelas di antara kami. Saya yang lebih tertarik dengan kegiatan akademik lebih banyak menghabiskan waktu untuk ‘melahap’ buku-buku pelajaran. Adik saya tidak terlalu suka duduk lama membaca buku karena memiliki kecenderungan pada kegiatan-kegiatan fisik seperti olahraga dan kesenian. Karena masih kecil dan belum mengerti banyak hal, saya kadang merasa cemburu karena ibu lebih ketat mengatur jam belajar kepada saya dibandingkan si bungsu.

Ibu seringkali meminta bantuan saya untuk bekerja di dapur, mulai dari sekedar membalikkan tempe goreng di wajan hingga mengaduk adonan kue dengan mixer.

“Kenapa sih Aa terus yang bantuin di dapur?”, keluh saya kepada Ibu.

Ibu tidak memberikan alasan yang jelas, hanya mencoba menenangkan saya dengan bilang bahwa nanti ia akan meminta bantuan secara bergantian.

Tidak berbeda dengan Ibu, Ayah pun memperlakukan kami dengan cara yang berlainan. Ayah yang hobi bercocok tanam di belakang rumah, lebih sering meminta bantuan adik saya untuk mengambilkan alat berkebun dan menemaninya beraktivitas. Karena merasa di nomor duakan dalam urusan luar ruangan, saya kadang tak acuh saat Ayah memanggil dan meminta bantuan.

Rasa cemburu yang semakin bertambah akhirnya berdampak pada perlakuan saya terhadap adik. Saya sering kali kesal dan memarahinya saat ia menangis atau mencelakakan dirinya sendiri. Kritik saya layangkan saat ia menghabiskan uang jajannya untuk hal-hal yang tidak penting. Saya merasa seperti satu-satunya orang yang harus bersikap dengan benar, sementara adik saya bisa bertindak seenaknya. Saling ejek akhirnya berujung pertengkaran beberapa kali.

Saya bahkan pernah memarahinya di depan orang tua cuma gara-gara ia ketinggalan bus

Beberapa tahun berselang, kami melanjutkan studi ke Semarang, terpisah di kampus kami masing-masing. Adik saya yang berkuliah di Politeknik Ilmu Pelayaran harus berada di asrama selama dua tahun sebelum lanjut magang di perusahaan pilihannya. Kondisi tersebut membuat intensitas pertemuan kami sangat minim. Pada saat itulah saya merasakan ada sesuatu yang hilang. Saya merindukan keberadaannya.

Pada masa-masa itu, saya banyak menimba pengalaman dari berbagai aktivitas di dalam dan di luar kampus. Bertemu banyak orang baru membuat saya jadi lebih legowo dalam perbedaan. Saya yakin itu pula yang adik saya alami.

Perubahan mulai saya rasakan pada hubungan kami. Saya tidak lagi melihat kekurangan adik saya sebagai sebuah kesalahan yang harus diperbaiki, melainkan sebagai keunikan masing-masing individu. Saya malah merasa malu dengan sikap saya di masa lalu. Banyaknya pengalaman yang ia kami peroleh memberikan perubahan pada batas toleransi dalam menyikapi perbedaan karakter. Kami mulai menunjukkan sikap saling menghormati satu sama lain, baik sebagai kakak-adik, maupun sebagai sesama laki-laki dewasa.

Belakangan saya menyadari, perselisihan yang kami alami semasa kecil merupakan hal yang wajar dalam proses perkembangan emosional dan fisik. Saya hanya sedang belajar untuk mengukur dan membandingkan individu lain dengan diri saya sendiri. Keterbatasan wawasan anak-anak belum membawa saya ke level penerimaan dan pemahaman seperti sekarang.

Saya juga akhirnya menyadari bahwa bukan orang tua tidak memilih untuk memperlakukan anak-anak mereka dengan cara berbeda. Mereka hanya menyesuaikan cara bersikap dengan kecenderungan yang ada pada tiap anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun