Cerpen "Langit Makin Mendung" karya Kipanjikusmin menggambarkan kritik sosial dalam dua hal utama: kritik terhadap pemerintahan orde lama dan kritik terhadap masyarakat. Lingkungan sosial pengarang mempengaruhi kritik terhadap pemerintah, karena cerita mencerminkan konteks sosial, budaya, dan politik yang mempengaruhi pengarang dalam menciptakan karya sastra.Â
Selain itu, kritik terhadap masyarakat dalam cerita ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan politik yang ada di Indonesia pada saat penulisan.Â
Kisah ini mencerminkan kritik penulis terhadap kekacauan pemerintah dan kehidupan sehari-hari masyarakat, menyoroti masalah-masalah sosial yang lazim terjadi pada rezim orde lama. Konteks sosial, budaya, dan politik pada masa itu sangat mempengaruhi penggambaran kritik sosial pengarang dalam cerpen "Langit Makin Mendung".Â
Kisah tersebut mencerminkan realitas sosial dan budaya Indonesia pada masa rezim orde lama, dimana terdapat permasalahan korupsi pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan, dan kesenjangan sosial. Kritik penulis terhadap kekacauan pemerintah dan keseharian masyarakat dalam cerita dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan politik yang ada di Indonesia pada saat penulisan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh saudari Resti Nurfaidah yang berjudul KRITIK ADJIDARMA DALAM EMPAT CERPEN: TENTANG GENDER DAN KELIYANAN, penelitian ini menjelaskan bahwa Kritik sosial Ajidarma hadir sebagai wujud kepekaan tinggi dalam membaca situasi dan kondisi lingkungan dan negeri ini.Â
Pengetahuan yang luas dan kepiawaian dalam merangkai kata, membuat Ajidarma mampu melahirkan karya sarat pesan dengan kemasan yang sangat indah. Kritik sosial yang muncul dalam keempat cerpen berikut: "Pelajaran Mengarang", "Sepotong senja untuk Pacarku", "Telinga", dan "Maria" terarah pada dua fokus berikut, yaitu gender dan keliyanan.Â
Konflik gender terjadi karena karena kehilangan. Konflik tersebut seolah tidak pernah terselesaikan karena tokoh perempuan tidak pernah diberikan lahan untuk mengembangkan pola pikirnya dan berlatih menuntaskan penyelesaian konfliknya. Konflik gender dalam penelitian mengarah pada inferioritas. Hal itu menyebabkan tokoh perempuan mengalami keterbatasan dalam pola pikir dan penyelesaian konflik.Â
Keliyanan terjadi karena dikotomi perempuan dan laki-laki. Tokoh perempuan di-liyan-kan atas eksistensi laki-laki. Keliyanan perempuan menyebabkan tersudutnya mereka pada marginalitas. Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada cerpen "Maria", tokoh Antonio di-liyan-kan oleh keluarganya sendiri yang notabene terdiri dari para perempuan.
METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Bogdan (1982:2) mengemukakan bahwa metode kualitatif adalah metode penelitian yang bersifat alamiah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, dari orang, perilaku, atau data-data lainnya yang dapat diamati. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerpen Langit Makin Mendung yang yang terdapat dalam kumpulan cerpen Langit Makin Mendung Karya kipanjikusmin. Penyajian data dalam penelitian ini berbentuk data kualitatif yang berupa kata-kata, kalimat, dan paragraf dalam cerpen Langit Makin Mendung yang mengandung informasi berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. Data-data tersebut diambil dengan cara membaca, mencermati, menyalin, dan mengumpulkan sesuai klasifikasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
PEMBAHASAN
1. Konteks Sosial Cerpen Langit Makin Mendung
Sebuah karya sastra tidak mungkin muncul begitu saja, pasti ada hal yang melatar belakangi sebuah karya sastra tercipta. Faktor sosial, dan budaya masyarakat merupakan hal yang mempengaruhi sebuah karya sastra. Menurut Swingewood dan Laurenson (1972:13) karya sastra merupakan cermin masyarakat. Dengan demikian, karya sastra tidak akan terlepas dari kondisi sosial suatu masyarakat pada saat karya tersebut muncul. Berdasarkan uraian tersebut cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang dituliskan tahun 1968, saat itu kondisi sosial Indonesia baru saja rezim orde lama. Saat zaman orde lama seperti yang kita ketahui banyak terjadi pelencengan terhadap kekuasaan, seperti pejabat yang melakukan kesalahan akan tetapi merasa dirinya tidak bersalah. Dan sentralisasi kekuasaan sehingga menimbulkan ketimpangan sosial.
2. Kritik Sosial dalam Cerpen Langit Makin Mendung
a.Kritik terhadap Rezim Orde Lama
"Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis cari kamar sewa) Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan mabuk anggur malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan Anjing!"
Pada kutipan tersebut digambarkan nasib-nasib pengemis betul-betul tidak diperhatikan oleh pemerintah pada masa orde lama. Mereka (para pengemis di luar pagar) mengutuki nasibnya yang buruk dan menanyakan mengapa terlahir sebagai manusia.
"Di depan toko buku 'Remaja' suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin--. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana."
Pada kutipan tersebut Kipanjikusmin ingin menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah dan supremasi hukum yang tidak dapat dipercaya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya orang main hakim sendiri, tanpa diselesaikan lewat persidangan.
b.Kritik Sosial
"Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang --lagi palang merah-- kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kmar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot."
Dalam kutipan tersebut Kipanjikusmin seakan-akan mengkritisi masyarakat yang mementingkan nafsu birahi dan tentu saja tidak memikiran efek setelahnya bagaimana. Masyarakat kecil hanya tahu enaknya saja.
PENUTUP
Permasalahan kemasyarakatan yang banyak terjadi pada masa pemerintahan orde lama, seperti sentralisasi kekuasaan dan ketimpangan sosial, tercermin dalam cerita ini, menonjolkan sudut pandang penulis terhadap realitas sosial dan budaya pada masa itu. Penggambaran pengarang mengenai kritik sosial dalam cerita merupakan cerminan konteks sosial, budaya, dan politik yang mempengaruhi pengarang dalam menciptakan karya sastra tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H